Masuk Daftar
My Getplus

CIA dan Karikatur Bintang Timur

Diplomat Amerika Serikat ini diduga anggota CIA. Mengumpulkan karikatur politik karya Augustin Sibarani.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 05 Des 2020
Augustin Sibarani (1925-2014), pelukis dan karikaturis terkemuka Indonesia. (kebudayaan.kemdikbud.go.id).

Tampangnya cakap, postur badannya tinggi, dan penampilannya simpatik. Dia memakai pakaian lengkap dengan jas dan dasi. Sikapnya sopan dan bersahabat. Diplomat Amerika Serikat itu bernama Mr. Heyman.

Sementara itu, Augustin Sibarani (1925–2014), pelukis dan karikaturis terkemuka Indonesia, hanya bersepatu sandal, berkemeja agak urakan dan keringatan. Dia datang dengan agak lari-lari dari kantor redaksi Bintang Timur.

Mereka berbincang-bincang di pojok restoran di Jalan Nusantara III, Jakarta. Pembicaraan berlangsung santai, tertawa-tawa, sambil menyantap makanan dan minum bir.

Advertising
Advertising

Heyman bercerita bahwa dirinya veteran perang Eropa. Dia menikah dengan perempuan Jerman, Renate B. Heymann, yang dikenalnya selama masa perang. Dia kemudian menjelaskan panjang lebar tentang kebebasan berpendapat di Amerika Serikat. Dia menyebut karikatur sebagai senjata tajam untuk mengkritik.

Baca juga: Sukarno dan Buku yang Mengguncang CIA

“Saya menyukai kritik Anda. Begitu juga karikatur-karikatur Anda yang dimuat di Bintang Timur. Setiap kali karikatur Anda terbit, saya mengguntingnya sendiri dari koran dan lalu menempelkannya dalam album. Kalau dalam seminggu karikatur Anda tidak terbit, saya akan kecewa,” kata Heyman dalam memoar Augustin Sibarani, Karikatur dan Politik.

“Teruslah membuat karikatur. Saya menyenanginya. Dan agar bertambah pekerjaan saya dengan mengguntingi dan mengumpulkan karikaturmu,” kata Heyman sambil tertawa ketika mereka berpisah di depan restoran.

Any time you can phone me. Agar kita bisa berjumpa seterusnya, dan agar you bisa berkenalan dengan isteri saya dan kita minum bir bersama,” kata Heyman, lantas memberi salam disertai gelak tawa.

Baca juga: Augustin Sibarani dan Gambar Sisingamangaraja XII

Hubungan Sibarani dan Heyman makin akrab. Mereka saling mengunjungi. Heyman dan istrinya mengunjungi rumah Sibarani di kawasan Setiabudi. Rumah Sibarani di Jalan Prambanan dijual untuk membiayai riset lukisan dan penulisan sejarah mengenai Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII. Sebagai balasan, Sibarani dan istrinya mengunjungi rumah Heyman yang asri di bilangan Kebayoran Baru.

Di lain kesempatan, Heyman datang dan membeli lukisan karya Sibarani dengan harga cukup tinggi. Lukisan itu dipajang di kamar tamu rumahnya. Lukisan cat minyak yang lumayan besar itu, menggambarkan seorang perempuan jembel yang menangis di depan batu nisan di kuburan.

“Tapi lukisan cat minyak saya memang jumlahnya tidak banyak lagi, sejak Bung Karno meminta pada saya supaya mengkhusukan diri di bidang karikatur,” kata Sibarani.

Baca juga: Dono dan Karikatur-karikaturnya

Setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, Sibarani tidak pernah lagi bertemu dengan Heyman yang pulang ke Amerika. Sekitar lima tahun setelah Orde Baru berkuasa, temannya datang dari Eropa. Dia membawakan sebuah buku hard cover berukuran kecil seperti kamus, yang berjudul INSIDE CIA. Buku itu dicetak di Jerman Barat. Di dalam buku tersebut tercantum nama-nama anggota CIA yang tersebar di seluruh dunia. Dan yang paling disorot adalah Asia.

“Di Indonesia ada sekitar 200 orang agen CIA yang tersebar di berbagai kota besar. Antara lain Jakarta, Surabaya, Medan, dan lain-lain. di Jakarta saja ada sekitar 20 orang. Saya membaca nama-nama itu satu persatu,” kata Sibarani.

“Sejenak saya terhenyak,” lanjut Sibarani. “Di antara deretan nama tersebut ada nama Heymann. Tapi berbeda dengan Mr. Heyman yang saya kenal, maka Heymann di buku saku tadi ditulis dengan dua huruf n. Saya tidak yakin, kalau itu adalah Heyman yang sama. Heyman dan Heymann jelas berbeda. Soalnya juga adalah, saya tidak pernah tanya, siapa voornaam atau nama depan Heyman ini.”

Siapakah Heymann?

Sibarani menyebut Heyman seorang diplomat yang menjabat direktur departemen politik Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Berarti orang tersebut adalah Henry L. Heymann (dengan dua huruf n).

Heymann lahir di Philadelphia, Amerika Serikat, pada 27 Juni 1920. Dia masuk sekolah swasta, William Penn Charter School dan Hun School. Setelah lulus dari Princeton University pada 1943, dia masuk Angkatan Darat Amerika Serikat. Dalam Perang Dunia II, dia bertugas di artileri lapangan dan komandan baterai di Prancis dan Jerman. Dia meninggalkan militer dengan pangkat kapten pada 1946. Dia mendapat medali untuk keberaniannya di medan perang.

Heymann memutuskan masuk Departemen Luar Negeri. Setelah menunggu lama, akhirnya dia ditempatkan di Konsulat Jenderal Stuttgart dan Hamburg di Jerman (1950–1952) untuk menangani masalah pengungsi. Dia kemudian ditugaskan mengurus masalah imigrasi di Napoli, Italia (1952–1955).

Heymann kembali ke Amerika Serikat untuk mengambil studi Asia Tenggara dengan spesialisasi bahasa Melayu di Cornell University.

“Saya pikir harus spesialisasi dan Malaya akan menjadi tempat yang menarik dan menyenangkan. Ternyata tidak ada bahasa Melayu yang sedang diajarkan. Saya belajar bahasa Indonesia sebagai gantinya. Jadi saya pergi ke Cornell dan menghabiskan satu tahun di Cornell untuk mempelajari studi Asia Tenggara, dan bahasa Indonesia,” kata Heymann dalam wawancaranya yang tersimpan di Library of Congress.

Baca juga: Mantan Agen CIA Gagal Jadi Duta Besar di Indonesia

Pada 1956, Heymann ditugaskan di bagian politik di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. Pekerjaannya mengumpulkan informasi tentang situasi politik. Perkembangan politik sehari-hari dilaporkan melalui telegram. Sedangkan subjek yang lebih luas, seperti pengaruh kaum intelektual terhadap kebijakan Indonesia dan analisis dari berbagai surat kabar, dilaporkan melalui pengiriman.

“Sumber kami adalah pers Indonesia dan kontak pribadi,” kata Heymann. Bisa jadi salah satu kontak Heymann adalah Sibarani yang bekerja di Bintang Timur, surat kabar kiri yang kritis terhadap Amerika Serikat.

Heymann bekerja sebentar di bawah Duta Besar Hugh Cumming, seorang pengagum Presiden Sukarno dan antikolonial. Namun, setelah mengepalai INR (Bureau of Intelligence and Research), badan intelijen di Departemen Luar Negeri yang menyediakan sumber intelijen untuk para diplomat, berbalik arah bahkan menyebut Sukarno adalah orang terburuk di dunia.

Baca juga: Kegagalan Kepala Stasiun CIA di Jakarta

Cumming digantikan John Allison pada Desember 1956. Allison, yang telah membantu Menteri Luar Negeri John Foster Dulles dalam menyelesaikan perjanjian damai dengan Jepang, berharap diangkat menjadi duta besar untuk Jepang, tapi malah dikirim ke Indonesia. Dia tiba sebagai orang yang frustrasi dan tidak bahagia.

Paul F. Gardner dalam 50 Tahun Amerika Serikat-Indonesia, menyebut bahwa salah seorang pejabat politiknya, Henry L. Heymann mengenang, “Sewaktu dia pertama kali tiba, Allison dapat dilihat membawa anjingnya berjalan keliling dengan keadaan jiwa yang tertutup dan rupanya terkekang, seakan dia berada di dalam kepompong.”

Namun, Allison dengan cepat mulai menyukai Indonesia dan orang-orangnya. Dalam memoarnya, tulis Gardner, Allison mengatakan, “Sebelas bulan kemudian ketika kami meninggalkan negara ini, baik istri saya maupun saya sendiri mempunyai rasa hormat yang tinggi dan perasaan kasih yang benar bagi orang-orang Indonesia yang ramah dan bersuara lembut.”

Baca juga: Agen CIA dalam Pemberontakan PRRI/Permesta

Sementara itu, Dulles bersaudara (Menteri Luar Negeri John Foster Dulles dan Direktur CIA Allen Dulles) dan Cumming mengkhawatirkan Indonesia jatuh ke tangan komunis setelah melihat PKI unggul dalam pemilihan lokal di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka juga tidak mempercayai Sukarno.

“Allison mengatakan kepada saya bahwa mereka mulai memikirkan langkah CIA dalam membantu Sumatra dan Sulawesi di mana pemberontakan sedang berkembang melawan pemerintah pusat di Jakarta,” kata Heymann.

Allison, menurut Heymann, lebih khawatir Sukarno dengan Demokrasi Terpimpin-nya akan menciptakan kediktatoran. Hubungan Allison dengan Washington pun memburuk. Dia dipindahkan ke Praha, Cekoslowakia.

“Howard Jones, yang di Departemen Luar Negeri telah bekerja dengan CIA untuk membantu pemberontakan menggantikan Allison dan segera menjadi sangat pro-Sukarno. Saya merasa cukup yakin dia melakukan segala upaya agar bantuan CIA untuk pemberontakan dibatalkan,” kata Heymann.

Baca juga: Pilot CIA Allen Pope Ditembak Jatuh di Ambon

Namun, CIA tetap membantu pemberontakan PRRI/Permesta yang berhasil ditumpas oleh pemerintah pusat. Keterlibatan CIA terungkap setelah pilotnya, Allen Lawrence Pope, ditembak jatuh setelah melakukan pengeboman di Ambon pada Mei 1958.

“Dan tentu saja Allen Pope menjadi sasaran karikatur saya dalam Bintang Timur,” kata Sibarani.

Sibarani mengatakan Howard Jones berkali-kali ke Istana Negara berupaya membebaskan Allen Pope. Istrinya datang dari Amerika Serikat dengan mata berlinang memohon kepada Sukarno untuk membebaskan suaminya.

“Bung Karno yang memang lemah terhadap wanita, yang konon tidak tahan melihat linangan air mata perempuan, tiba-tiba menjadi lemah. Allen Pope, si tukang bom itu dibiarkan lolos begitu saja. Allen Pope dikeluarkan dari penjara. Begitulah Bung Karno,” kata Sibarani.

Baca juga: Sukarno Bebaskan Pilot CIA Allen Pope

Heymann menyebut bahwa para pemimpin pemberontak tidak memiliki kemauan untuk berperang dan itulah salah satu alasan CIA mundur. CIA melihatnya tidak ada harapan dan Howard Jones berbalik sepenuhnya menjadi pendukung Sukarno.

Setelah pemberontakan PRRI/Permesta yang didukung CIA gagal, Heymann kembali ke Amerika Serikat. Dia bekerja di INR sebagai analis tentang Indonesia dari 1958 hingga 1961. Setelah itu, dia kembali lagi ke Jakarta sebagai pejabat di bidang politik.

Seminggu setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, Duta Besar Marshall Green, pengganti Howard Jones, menugaskan Heymann sebagai Konsul di Surabaya.

“Kira-kira seminggu sebelum percobaan kudeta (yang dikalahkan oleh kontra-kudeta Soeharto) kami mendengar bahwa pemerintah akan menetapkan Konsul di Surabaya sebagai persona nongrata,” kata Heymann. “Ini tidak mengherankan, USIS (United States Information Agency) dan AID (Agency for International Development) telah ditendang keluar dan perpustakaan USIS telah disita.”

Baca juga: Penumpasan PKI di Surabaya

Konsul itu pergi diam-diam. Heymann menggantikannya tanpa memberi tahu pihak berwenang. Namun, dia tak lama mejabat Konsul dan meninggalkan Surabaya pada Juni 1966 untuk penempatan baru di Singapura dan Malaysia. Setelah itu, dia selama tiga tahun (1967–1970) bekerja di bagian urusan kebudayaan untuk program Asia Tenggara.

Heymann kemudian bertugas di Pusat Operasi Departemen Luar Negeri selama dua tahun (1970–1972). Sempat akan pensiun dan mengambil pendidikan hukum, namun dia kembali bekerja sebagai konservasionis satwa liar hingga tahun 1975. Dia meninggal pada 8 Februari 2007 dalam usia 86 tahun karena kanker paru-paru.

“Bagi saya semua itu tidak merupakan sesuatu yang perlu saya hiraukan atau risihkan lebih lanjut,” kata Sibarani. “Anggota CIA atau tidak, Mr. Heyman adalah seorang yang cukup menyenangkan bagi saya. Dan yang terpenting, dia adalah seorang pengumpul karikatur-karikatur saya. Walaupun hanya reproduksi berupa guntingan-guntingan dari koran Bintang Timur.”

TAG

intelijen cia

ARTIKEL TERKAIT

Plus-Minus Belajar Sejarah dengan AI Perjuangan Kapten Harun Kabir Spion Wanita Nazi Dijatuhi Hukuman Mati Mata Hari di Jawa M Jusuf "Jalan-jalan" ke Manado D.I. Pandjaitan dan Aktivis Mahasiswa Indonesia di Jerman Sukarno, Jones, dan Green Sepak Terjang Spion Melayu Adam Malik Sohibnya Bram Tambunan Operasi Monte Carlo, Misi Intelijen Koes Bersaudara