Masuk Daftar
My Getplus

Mata Hari di Jawa

Sosok “femme fatale” kondang di dunia spionase. Ia belajar budaya tradisional sebagai pelariannya dari suami yang toxic semasa di Jawa.

Oleh: Randy Wirayudha | 27 Apr 2024
Margaretha Geertruida MacLeod belajar tari dan punya nama panggung "Mata Hari" semenjak di Jawa (histoire-image.org)

NEGERI Hindia Belanda (kini Indonesia) masih begitu asing bagi Margaretha Geetruida ‘Griet’ Zelle. Kendati begitu, seiring kapal SS Prinses Amalia berangkat dari Belanda menuju Jawa pada 1 Mei 1897, sosok yang kelak dikenal sebagai Mata Hari itu punya harapan bisa membuka lembaran kehidupan baru di tanah koloni nun jauh dari negerinya.

Berangkat saat usia 21 tahun, Margaretha sudah menjadi ibu muda dengan satu anak, Norman, hasil pernikahannya dengan perwira KNIL Rudolf John MacLeod. Margaretha menerima pinangan Kapten MacLeod demi status. Keluarganya berantakan dan dia sempat jadi anak broken home pasca-ayahnya, Adam Zelle, bangkrut dan menikah lagi.

“Mereka (Margaretha, Rudolf, dan Norman) berangkat dikawal satu detasemen pasukan baru dari Harderwijk yang dikomandoi Rudolf. Meski prosedur, penugasan, dan kondisinya familiar bagi Rudolf, Griet sama sekali tak tahu apa yang akan dijalani,” tulis Pat Shipman dalam Femme Fatale: Love, Lies and the Unknown Life of Mata Hari.

Advertising
Advertising

Baca juga: Manisnya Kekayaan Oopjen dari Pahitnya Perbudakan

Margaretha tiba di pelabuhan Tanjung Priok, Batavia (kini Jakarta) pada 7 Juni 1897. Ia bisa bernapas lega setelah berlayar lima pekan yang kurang menyenangkan karena mabuk laut hingga mengalami demam.

“Saya komplain secara fisik dan moral; teror demam menghantui saya siang dan malam; otak saya mau meledak saking tidak tahan panas, bahkan di malam hari ibarat saya mandi kobaran api,” ungkap Margaretha dikutip Shipman.

Dari Batavia, mereka meneruskan perjalanan ke Ambarawa via Semarang dengan kapal SS Speelman karena Rudolf ditugaskan mengomando pasukan Batalyon ke-8 di Ambarawa. Baru pada 29 Desember 1897, mereka pindah ke Tumpang, Malang mengikuti penugasan Rudolf yang beralih memimpin Batalyon Cadangan ke-1 yang bermarkas di Benteng Van Den Bosch.

“Mereka tinggal di rumah yang indah dengan ruangan-ruangan terbuka, serta beranda depan dan belakang yang luas, cukup untuk Norman bermain ditemani seorang babu. Lalu pada 2 Mei 1898, Gretha melahirkan anak keduanya, seorang putri bernama Jeanne Louise,” tambah Shipman.

Margaretha Geetruida Zelle bersama suaminya mengarungi kehidupan baru ke Hindia Belanda (KITLV/friesmuseum.nl)

Tenggelam dalam Budaya Jawa

Sebagai istri perwira, Margaretha acap mengadakan perayaan dan pesta. Tak dinyana, dari situ masalah dengan suaminya bermula. Suaminya curiga Margaretha selingkuh hanya karena ia banyak dikagumi lelaki, entah sesama orang Eropa maupun Indo.

Sebaliknya, Margaretha juga mencurigai suaminya memelihara gundik sebagaimana kebanyakan lelaki Eropa di negeri koloni.

“Hubungan seks di luar nikah terjadi di mana-mana dan biasanya nyai-nyai jadi simpanan sebagai gundik. Gretha makin lama mengenali para gundik di jalan-jalan di mana lazimnya mereka mengenakan kebaya dan perhiasan-perhiasan emas,” lanjutnya.

Selain memelihara gundik, Rudolf juga sosok pemabuk dan beberapa kali melakukan kekerasan dalam rumah tangga kepada Margaretha. Saat suaminya dipindah tugas ke Medan pada Maret 1899, ia memilih tetap tinggal di Tumpang untuk belajar budaya Jawa guna membunuh keresahannya.

“Margaretha mulai tenggelam dalam gaya hidup Indische. Ia mulai sering mengenakan pakaian tradisional kebaya dan sarung di rumah dan sedikit-sedikit bisa bicara bahasa Melayu,” tulis M. Cohen dalam Performing Otherness: Java and Bali on International Stages, 1905-1952.

Baca juga: Nyai Ontosoroh dan Kisah Pergundikan di Hindia Belanda

Margaretha, lanjut Cohen, mulanya tertarik pada budaya lokal karena sering menjadi tamu undangan pesta dari keluarga elite Jawa, Sumatera, dan Tionghoa. Interaksi itu pun menjadi wahana baginya untuk mempelajari budaya Jawa.

“Dalam banyak sumber ia disebutkan belajar dasar-dasar tari Jawa. Tetapi yang pasti ia memang sering menonton tari ronggeng yang diiringi gamelan. Walau sebagai istri perwira, ia tidak ikut tayuban (menari diiringi gamelan, red.),” imbuh Cohen.

Sejak itulah Margaretha juga mengambil nama panggung, Mata Hari, yang diambil dari sebutan sang surya yang menyinari dunia dari pengawal pagi hingga pengujung senja. Mata Hari digunakannya baik saat menari tarian tradisional maupun saat mengombinasikannya dengan tarian modern dalam opera-opera.

Debut teater Margaretha dilakukan seiring pementasan komedi stambul (berjudul) De Kruisvaaders di Batavia medio 1900. Opera tersebut berlatar abad ke-12 yang menggambarkan konflik antara Raja Richard I dan Sultan Salahuddin al-Ayyubi dalam Perang Salib III (1189-1192).

Mata Hari menyambung hidup sebagai penari erotis hingga jadi wanita simpanan demi tetap berada di circle kalangan elit Eropa (friesmuseum.nl)

Seiring dengannya, pernikahannya pun makin toxic. Berturut-turut Mata Hari mengalami kekecewaan lagi dalam hidupnya. Setelah Norman putranya meninggal akibat tertular sifilis dari orangtuanya, dia mudik ke Amsterdam pada 1902, dan bercerai dari Rudolf yang kemudian mendapatkan hak asuh putrinya.

Mata Hari berusaha hidup mandiri dengan pindah ke Paris, Prancis pada 1903. Ia menyambung hidup menjadi primadona sirkus, model foto telanjang maupun model lukisan nudist, hingga penari erotis.

“Mata Hari mencitrakan identitasnya sebagai penari Jawa, mengklaim memberikan ekspresi otentik akan tarian-tarian suci Jawa dan India, di mana ia tampil dengan kostum minim atau bahkan tidak sama sekali,” ungkap Julie Wheelwright dalam The Fatal Lover: Mata Hari and the Myth of Women in Espionage.

Sebelum Perang Dunia I (1914-1918), Mata Hari acap membius para penontonnya dengan kemolekan tubuhnya. Tak ayal ia acap menerima tawaran menjadi perempuan simpanan beberapa jutawan.

Baca juga: Zakia Penari dari Gurun Pasir

Pesonanya pun tak hanya kondang di seantero Prancis tapi sampai ke Austria dan Jerman berkat media massa yang secara bombastis memberitakan sosoknya. Itu kemudian dimanfaatkan dinas intelijen Prancis Deuxième Bureau ketika perang pecah karena tahu sebelum perang Mata Hari acap menari dan menghibur Pangeran Wilhelm, putra sulung Kaisar Wilhelm II.

“Mata Hari punya kekasih, Kapten Vadim Maslov, perwira militer Pasukan Ekspedisi Rusia yang pada April 1916 terluka di Nivelles. Zelle (Mata Hari) yang warga Belanda dengan status netral dalam perang, hanya diizinkan menjenguknya di rumah sakit militer dengan imbalan menjadi spion yang bekerja untuk Prancis,” tulis Norman Polmer dan Thomas Allen dalam Spy Book: The Encyclopedia of Espionage.

Akan tetapi, Mata Hari kemudian justru dituduh jadi agen ganda. Ia diciduk di Paris pada 13 Februari 1917 dan disidang lima bulan berselang. Ia didakwa menerima suap 20 ribu franc dari seorang diplomat Jerman untuk memata-matai Sekutu.

“Seorang pelacur? Ya, tetapi seorang pengkhianat, tidak pernah!” cetus Mata Hari.

Mata Hari sebelum (kiri) & sesudah ditangkap aparat Prancis (friesmuseum.nl/leidenuniv.nl)

Mata Hari menyangkal ia berkhianat. Uang 20 ribu franc yang ia terima dari diplomat Jerman yang dekat dengannya, aku Mata Hari, sekadar uang ganti rugi karena barang-barang dan kopernya suatu ketika pernah disita aparat Jerman.

Kapten Pierre Bouchardon yang menjadi penyidik sekaligus jaksa tak percaya. Pengadilan kemudian memvonis Mata Hari dengan hukuman mati.

Mata Hari menolak diborgol dan ditutup matanya jelang eksekusi. Di hadapan regu tembak, ia meniupkan ciuman sebelum rentetan tembakan merobohkannya pada 15 Oktober 1917.

Di kemudian hari sejumlah sejarawan yang meriset tentang Mata Hari tak menemukan dokumen yang memastikan apa bukti kuat yang membuat Mata Hari divonis sebagai pengkhianat. Terlebih saat itu pengacara veteran yang membelanya, Édouard Clunet, tak diberikan hak untuk melakukan pemeriksaan silang kepada para saksi secara langsung.

“Prancis mengalami desersi massal menyusul kegagalan Ofensif Nivelle (16 April-9 Mei 1917). Adanya mata-mata Jerman yang tertangkap dan dikambinghitamkan akan membuat pemerintah Prancis tetap stabil. Mata Hari sebenarnya bukan mata-mata penting, ia sekadar seorang janda, perempuan mandiri, warga dari negara netral, perempuan simpanan, dan seorang penarik yang menjadikannya kambing hitam sempurna bagi Prancis yang saat itu sedang kalah perang,” tandas Wheelwright.

Baca juga: Allied dan Kisah Mata-Mata Perempuan di Tengah Perang

TAG

mata mata mata-mata spionase intel intelijen prancis perang-dunia-i perang dunia i seni tari tarian penari

ARTIKEL TERKAIT

Plus-Minus Belajar Sejarah dengan AI Daeng Mangalle dan Konspirasi Melawan Raja Thailand Pangeran Makassar Membela Raja Louis-Prancis Inggris dapat Membakar Lautan Akhir Tragis Sahabat Marie Antoinette Marie Antoinette, Let Them Eat Cake, dan Revolusi Prancis Marie Antoinette, Ratu Prancis yang Mati Tragis Pencemaran Sungai Seine yang Mengkhawatirkan Satu Abad Olimpiade Paris Saat Sungai Seine Berwarna Merah