NAMA Harun Kabir menjadi nama jalan di tiga kota Jawa Barat: Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. Di Sukabumi, Jl. Kapten Harun Kabir bahkan terkenal sebagai langganan macet karena sejalur menuju pasar induk. Nama itu bahkan sempat dijadikan nama band “Mahaka Band” atau Mayor Harun Kabir Band pada 1990-an, lantaran personelnya berdomisili di Jl. Mayor Harun Kabir, Cianjur.
“Khalayak (warga setempat) pasti mengerti kalau Beliau itu seorang pahlawan. Tetapi, mereka tidak tahu siapa sebenarnya sosok Harun Kabir,” kata jurnalis sejarah Hendi Johari dalam diskusi bukunya, Demi Republik: Perjuangan Kapten Harun Kabir 1942—1947, di Komunitas Temu Sejarah (5/7).
Sejatinya, menurut Hendi, Harun Kabir bukanlah sembarang orang yang namanya ditabalkan jadi nama jalan. Hendi yang lahir dan besar di Cianjur semula juga terbatas pengetahuannya terhadap sosok Harun Kabir. Dari ayahnya, dia hanya mendapat keterangan bahwa Harun Kabir adalah seorang pahlawan tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Keterbatasan informasi itu membuatnya penasaran dan ingin mencari tahu. Barulah ketika menjadi jurnalis, Hendi tertarik untuk menelusuri riwayat perjuangan Harun Kabir.
“Saya yang memiliki akses ke beberapa narasumber sejarah ingin membagikan pengetahuan ini kepada khalayak, terutama teman-teman segenerasi maupun yang lebih muda. Bahwa orang-orang di balik nama jalan itu bukan sekadar ditempel atau dicantum begitu saja. Mereka memiliki latar belakang dan perjalanan hidup yang sangat panjang juga penting sehingga namanya ditahbishkan sebagai nama jalan,” terang Hendi.
Baca juga: Cerita Orang Biasa dalam Perang Kemerdekaan
Sebelum menjadi pejuang kemerdekaan, Harun Kabir berasal dari keluarga menak Sunda. Dia lahir di Kepatihan, Bandung pada 5 Desember 1910. Menjelang pendudukan Jepang, Harun Kabir menjabat sebagai Asisten Residen Bogor. Karena dianggap cakap, Harun Kabir ditunjuk pemerintah militer Jepang sebagai pejabat Departemen Keuangan Karesidenan Bogor.
Meski berasal dari keluarga bangsawan, menurut Mohamad Ali Haroen, salah cucu Harun Kabir, sejak kecil Harun Kabir telah memperlihatkan tanda-tanda pemberontakan terhadap tradisi menak. Dari sang nenek Soekrati (istri Harun Kabir), Ali diceritakan tentang sosok kakeknya yang lebih suka bergaul dengan anak-anak petani.
Pergaulan dengan kawula menumbuhkan pula kebiasaan ala kawula pada diri Harun Kabir. Mulai dari main jepretan, membawa pisau kecil untuk mengarit, tidur di sawah, bersenandung, hingga main suling. Di perkebunan Priangan, dia melihat kuli-kuli perkebunan diperlakukan tidak adil. Menyaksikan pemandangan jomplang antara kehidupan dalam dan luar tembok kepatihan menimbulkan keseimbangan nurani setelah Harun Kabir dewasa. Memasuki masa Indonesia merdeka, Harun Kabir dikenal sebagai pribadi yang merakyat.
“Boleh dikatakan Harun Kabir itu melakukan status suicide atau bunuh diri kelas.” ujar Pak Mohan, panggilan Moehamad Ali Haroen. ”Dia meninggalkan keningratannya, masuk ke dalam laskar untuk berjuang.”
Baca juga: Bunuh Diri Kelas Soegoro Atmoprasodjo
Sewaktu Perang Kemerdekaan, Harun Kabir membentuk barisan laskar yang diberi nama Laskar Ciwaringin 33. Nama itu diambil dari tempat kediaman Harun Kabir di Jl. Ciwaringin 33, Bogor. Markas Laskar Ciwaringin 33 pernah menjadi tempat persembunyian untuk melindungi tokoh Republik seperti Presiden Sukarno dan Tan Malaka, tak lama setelah proklamasi kemerdekaan. Bung Karno bahkan turut menitipkan istrinya Fatmawati, putanya Guntur, dan kedua mertuanya --Hasan Din dan Siti Khadijah-- kepada Harun Kabir.
Saat itu, Jakarta sebagai ibukota negara semakin tidak kondusif. Bung Karno karena dianggap punya peran penting dalam peristiwa pengibaran Merah Putih di Lapangan Ikada, diburu oleh Kempeitai, aparat intelijen Jepang. Selain itu, Sekutu dan Tentara NICA juga sudah mulai menduduki Jakarta. Gatot Mangkoepradja, rekan Bung Karno di zaman pergerakan, menyarankan Bung Karno berlindung ke Bogor di tempat kediaman Harun Kabir. Sebelumnya, Sukarno dan Harun Kabir sudah pernah bertemu saat ayah Harun Kabir, Raden Abung Kabir, yang seorang pejabat perkebunan bertugas di Blitar, Jawa Timur. Bung Karno pun tak menolak menitipkan istri, anak, dan mertuanya lantaran telah mengenal sosok Harun Kabir.
“Saya ‘curiga’ bahwa jiwa nasionalisme seorang Harun Kabir itu kali pertama ditanamkan oleh Bung Karno, ketika Bung Karno aktif di dunia pergerakan sejak 1920-an,” tandas Hendi.
Baca juga: Harun Kabir, Penyelamat Keluarga Bung Karno
Sebagai seorang pejuang nasionalis yang ikut memerangi Belanda, Harun Kabir tak serta-merta larut ke dalam gejolak revolusi sosial yang membabi buta. Dia tegas menolak ketika pasukannya Laskar Ciwaringin 33 diajak untuk menyerang Depok pimpinan Letnan Margonda. Padahal, Harun Kabir dan Margonda merupakan sahabat karib seperjuangan. Keduanya pun bersimpang jalan. Margonda kemudian bergerak bersama laskar Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) yang cenderung kiri dalam menjalankan revolusi sosial di Depok. Peristiwa “Gedoran Depok” itu mengakibatkan kekejaman terhadap warga Belanda. Banyak orang Belanda dari kalangan sipil termasuk anak-anak dan perempuan menjadi korban dalam aksi tersebut.
Pada 1946, Laskar Ciwaringin 33 dilebur ke dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Divisi Siliwangi mendapuk Harun Kabir sebagai kepala staf Brigade Suryakencana dengan pangkat mayor. Sejurus kemudian, terjadi pembenahan struktur dan organisasi dari Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta. Semua pangkat perwira diturunkan setingkat, maka Harun Kabir pun ikut turun menjadi kapten. Sejak itu, namanya lebih dikenal sebagai Kapten Harun Kabir.
Dalam bukunya, Hendi banyak menggali informasi dari orang-orang terdekat Harun Kabir, mulai anak, cucu-cucu, hingga mantan anak buah Harun Kabir. Dari merekalah diperoleh narasi tentang sosok pribadi dan perjuangan Harun Kabir, sejak dari aktivitas gerilya Harun Kabir yang banyak bergerak di front Bogor hingga pertempuran konvoi di Sukabumi. Di akhir hidupnya, Harun Kabir menjadi buruan tentara Belanda.
Baca juga: Pekik Merdeka di Ladang Huma
Pada subuh 13 November 1947, sepasukan tentara Belanda menemukan gubuk persembunyian Harun Kabir di Kampung Bukit Cioray, Cianjur Selatan. Harun Kabir digelandang bersama dua ajudannya, Letnan Arifin dan Sersan Mayor Soekardi. Saat ketiganya berjalan menuju mobil, tentara Belanda melepaskan serentetan tembakan. Hari itu, Harun Kabir dieksekusi mati. Sebelum diberondong peluru, Harun Kabir masih sempat berseru, “Merdeka!” Sesaat kemudian, Harun Kabir roboh bersimbah darah disaksikan istrinya Soekrati, dan kedua putrinya: Tina (saat itu 12 tahun) dan Hetty (11).
“Harun Kabir dalam pidatonya selalu menyebut Republik Indonesia sebagai tujuan pengabdian hidupnya,” ungkap Hendi, “Sampai titik darah penghabisannya pun, Beliau memberikan nyawanya untuk Republik ini.”