Lantai Penjara Glodok yang dingin lebih tepat menjadi tempat meringkuknya penjahat ketimbang pemusik. Tapi, di tempat hukuman itulah grup musik legendaris Koes Plus pernah ditahan pemerintahan Sukarno. Waktu itu nama band ini masih Koes Bersaudara. Personelnya terdiri dari kakak-beradik: Koestono Koeswoyo (Tonny), Koesnomo Koeswoyo (Nomo), Koesyono Koeswoyo (Yon), dan Koesroyo Koeswoyo (Yok).
“Tahun 1965 sangat mengesankan bagi Koes Bersaudara. Bukan karena kami masuk Penjara Glodok, tapi tentang rencana negara di balik itu,” celetuk Yok sang gitaris dalam Kisah dari Hati: Koes Plus Tonggak Industri Musik Indonesia yang ditulis Ais Suhana.
Di tengah gebyar slogan Trisakti “berkepribadian dalam kebudayaan Indonesia” yang digaungkan Presiden Sukarno, Koes Plus dituding mengusung aliran musik kebarat-baratan. Gaya bermusik mereka sekilas memang mirip dengan musikus pop Barat masa itu seperti Elvis Presley dan The Beatles. Bung Karno menyebutnya musik “ngak ngik ngok”. Sebuah label musik yang tidak mencerminkan kebudayaan Indonesia.
Baca juga: Kegamangan Sukarno Mengganyang Malaysia
Pada 29 Juni 1965, semua personel Koes Bersaudara dijebloskan ke Penjara Glodok. Mereka ditahan usai mengisi konser kecil di kediaman Kolonel (Laut) Oyok Kusno di Jl. Jati Petamburan IIA, Jakarta Barat. Ketika sedang menyanyikan lagu “I Saw Her Standing There” karya The Beatles, tiba-tiba sekelompok massa melempari rumah itu sambil berteriak-teriak, “Ganyang ngak-ngik-ngok, Nekolim-Manikebu.” Mula-mula Tonny, Nomo, Yon, dan Yok diinterogasi di rumah tahanan kejaksaan negeri, selanjutnya dipindah ke Penjara Glodok.
Tapi, penahanan mereka bukan semata-mata karena perkara musik “ngak ngik ngok”. Menurut Yok, pemerintah berencana menyusupkan Koes Bersaudara ke Malaysia dalam rangka misi rahasia sehubungan Operasi Dwikora mengganyang negara Federasi Malaysia. Koes Bersaudara ditugaskan untuk mengintai atau mengintip langsung apakah orang Indonesia di sana atau orang Malaysia sendiri anti kepada Indonesia.
“Karena waktu kita kurang sreg dengan berdirinya Malaysia yang sebelumnya bernama Malaya,” tutur Yok.
Baca juga: Akhiri Ganyang Malaysia Lewat Belakang
Koes Bersaudara, sebut Ais Suhana, sengaja dimasukkan ke penjara untuk mengesankan grup musik itu dicekal pemerintah. Dengan demikian, publik Malaysia tidak menaruh curiga terhadap keberadaan Koes Bersaudara jika dikirim manggung ke Malaysia. Penahanan Koes Bersaudara memang agak sarat kejanggalan.
“Sejatinya. Koes Bersaudara pimpinan Tonny Koeswoyo yang secara pribadi terkenal rasa kebangsaannya, jarang menyanyikan lagu Barat. Mereka justru lebih banyak melantunkan lagu-lagu pop Indonesia karangannya sendiri,” kata Jenderal (Purn.) A.M. Hendropriyono dalam memoarnya SPY SI Sebagian Pengalaman yang Saya Ingat Bagian I: Zaman Revolusi Fisik. Hendropriyono merupakan lulusan Akademi Militer Nasional 1967 yang dikenal sebagai perwira intelijen.
Mantan kepala BIN (2001—2004) ini, dalam memoarnya mengungkap cerita di balik penahanan Koes Bersaudara sekaligus operasi intelijen yang melibatkan mereka. Hendro menyebut Kolonel Oyok Kusno, tuan rumah penyelenggara konser ketika Koes Bersaudara ditahan, sebagai Pak Obok alias Pak Anda. Dia seorang perwira intelijen KOTI, yang dibentuk Bung Karno untuk keperluan mendukung operasi militer mengganyang Malaysia. Pak Obok punya kakak bernama Koesno Achsan Jein, perwira Angkatan Darat yang di masa Presiden Soeharto menjabat asisten personel KASAD berpangkat mayor jenderal.
Baca juga: Misi Rahasia Jenderal S. Parman
Pertengahan 1965, Pak Obok membangun suatu safe house atau rendezvous (tempat pertemuan) berkedok kelab malam. Tempat hiburan bernama Monte Carlo itu beroperasi di Bangkok, Thailand. Di Monte Carlo inilah Koes Bersaudara direncanakan menjalankan tugasnya sebagai penyanyi sekaligus agen intelijen.
Infiltrasi ke Thailand menggunakan metode kelabu, artinya setengah terbuka menggunakan dokumen legal demi memuluskan operasi intelijen. Akses untuk operasi tersebut terjalin berkat kerja sama politik antara Bung Karno dengan Raja Thailand Bhumibol Adulyadej. Bangkok dipilih sebagai basis operasi menuju Malaysia, karena merupakan medan yang strategis.
Pada bulan-bulan awal dibukanya Monte Carlo, bisnis dan laporan keuangan berjalan lancar. Pak Obok mendapat promosi kenaikan pangkat dari kolonel ke komodor agar memudahkannya berhubungan dengan jajaran perwira tinggi di Thailand. Namun, pada Agustus 1965, laporan keuangan kelab malam tersebut merosot tajam bahkan sampai defisit sebesar 50.000 Baht.
Baca juga: Tentara Thailand Gebuki Sandera Pembajakan Pesawat Garuda Woyla
Pak Obok mensinyalir ada sesuatu yang kurang beres. Ditandai dengan pengunjung Monte Carlo yang didatangi oleh orang yang sama terus-menerus. Kemudian diikuti oleh beberapa pegawai kelab malam yang tiba-tiba mengundurkan diri. Menurut jejaring Pak Obok di Bangkok, pemerintah Thailand mendapat informasi bahwa kelab Monte Carlo adalah tempat berkumpulnya orang-orang komunis Indonesia.
Perang urat syaraf ini membuat para pelanggan Monte Carlo enggan menyambangi lagi hingga akhirnya bangkrut. Kemenangan perang urat syaraf itu, sebut Hendro, direbut oleh Inggris yang berhasil mendudukkan intelijennya sebagai Panglima TNKU (Tentara Nasional Kalimantan Utara) yang semula justru dibentuk militer Indonesia. Misi Pak Obok mengoperasikan safe house Monte Carlo terpaksa harus dihentikan.
“Grup musik band Koes Bersaudara yang sedianya akan digunakan untuk meramaikan dan membangun serta mengembangkan Monte Carlo gagal dihadirkan sejak awal, karena ditahan di penjara Jakarta. Walaupun operasi Monte Carlo semula telah berhasil, namun menjadi tidak berarti karena tidak didukung oleh kemenangan strategi dan perkembangan keadaan politik,” terang Hendropriyono.
Baca juga: Selamat Tinggal Penyanyi Tua
Koes Bersaudara dibebaskan dari Penjara Glodok pada 29 September 1965, sehari sebelum meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S). Andai G30S urung terjadi, Koes Bersaudara hampir pasti dikirimkan ke Malaysia melaksanakan misi rahasia negara.
“Pemberitaan selama ini keliru, Koes Bersaudara waktu itu ternyata dirancang sedemikian rupa sebagai korban karena membawakan lagu-lagu The Beatles,” tandas Yok.
Yok sendiri bersama personel Koes Bersaudara lainnya saat itu belum mengetahui rencana operasi Monte Carlo. Ketidaktahuan itu membuat Tonny, kakak tertua yang memimpin Koes Bersaudara, merasa dikorbankan. Kekecewaan itu dia lampiaskan dalam album To The So Called The Guilties (Untuk yang Disebut Orang-orang Bersalah). Lagu-lagu dalam karya Tonny itu mengisahkan pengalaman Koes Bersaudara selama mendekam dalam penjara.
Baca juga: Tangga Lagu tentang Penjara