Kegamangan Sukarno Mengganyang Malaysia
Di podium, Bung Karno berseru lantang: ganyang Malaysia! Namun di balik layar, dia mencari solusi damai lewat pintu belakang.
Sekali waktu, Presiden Sukarno mengundang Brigjen Soegih Arto ke Istana Merdeka. Sang tamu istana merupakan duta besar Indonesia untuk Birma yang dikenal baik oleh presiden. Dengan nada kesal Bung Karno menyatakan betapa konfontasi dengan Malaysia telah membawa akibat yang kurang menguntungkan bagi Indonesia.
“Beliau terlihat sangat serius. Jarang saya melihat Bung Karno seperti ini,” kenang Soegih Arto dalam Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Pur.) Soegih Arto.
Kepada Soegih Arto, Sukarno mengeluarkan unek-uneknya. Presiden berkata bahwa konfrontasi dengan Malaysia sangat menguras tenaga pemerintah Indonesia. Sudah saatnya segala usaha harus dilakukan untuk menghentikan konfrontasi secara terhormat. Untuk itu, Sukarno menunjuk Soegih Arto melakukan penjajakan damai lewat "pintu belakang".
Baca juga: Diplomasi Gelap Pembebasan Irian Barat
Misi terhadap Soegih Arto kian menantang lantaran dirinya bukan ditugaskan ke Malaysia, melainkan ke Inggris. Seperti diketahui, Inggris merupakan negara yang mensponsori pembentukan negara Federasi Malaya. Dalam penugasan ke Inggris, Sukarno mengintruksikan dua hal kepada Soegih Arto. Pertama, supaya pemerintah Inggris memberikan indikasi seolah-olah mereka kewalahan dengan konfrontasi itu. Kedua, mengusulkan agar terjalin perundingan antara Inggris dan Indonesia mengenai penghentian konfrontasi. Sukarno menekankan indikasi penyelesaian sengketa harus datang dari Inggris.
Soegih Arto menyebut misi penugasannya ke Inggris sebagai formula Sukarno untuk menyelamatkan citra Indonesia yang terbelit konfrontasi. Sebelum berangkat, Soegih Arto diberikan blangko mandat untuk menjanjikan apa saja kepada pihak Inggris. Andai kata Inggris meminta semua asetnya yang dinasionalisasi, melalui perantaraan Soegih Arto maka pemerintah Indonesia akan menyanggupi. Setelah mafhum dengan tugasnya, Soegih Arto pun permisi dan undur diri. Tidak lupa Bung Karno memberinya sangu untuk ongkos jalan.
Soegih Arto berangkat ke London melalui Paris, Prancis. Ketika singgah di kediaman Atase Militer Indonesia untuk Prancis Kolonel Sumpono Banyuaji, Soegih Arto bertemu dengan Mayjen S. Parman. Soegih Arto agak terkejut mengapa Parman berada di Paris namun segan bertanya lebih lanjut. Soegih Arto kemudian mengetahui bahwa Parman sedang melakukan operasi intelijen untuk tujuan yang sama. Hanya saja, koneksi mereka yang berbeda. Bila Soegih Arto diutus ke Departemen Luar Negeri Inggris, maka Parman punya saluran ke Markas Besar Angkatan Perang.
Baca juga: Misi Rahasia Jenderal S. Parman
Penunjukan Parman tidak lepas dari kapasitasnya sebagai Asisten 1/Intelijen Menpangad. Selain itu, Parman juga pernah menjadi atase militer Indonesia di Inggris sehingga kenal baik dengan beberapa pejabat tinggi di kemiliteran Inggris. Keesokan harinya, Soegih Arto menyaksikan Atase Militer Indonesia untuk Inggris Kolonel Sastraprawira menjemput Parman.
“Rupanya Bung Karno mengutus beberapa orang untuk menjajaki kemungkinan menghentikan konfrontasi, tanpa harus menderita malu,” tutur Soegih Arto.
Dalam otobiografinya yang terbit tahun 1989, Soegih Arto mengakui kalau tidak banyak orang yang mengetahui kisah penugasannya ini. “Cerita ini mungkin sukar dipecayai, karena kejadian-kejadian kemudian, tidak mendukungnya,” kata Soegih Arto. Namun, Sukarno sendiri dalam otobiografinya agaknya menyiratkan memang adanya misi rahasia tersebut.
“Aku tidak ingin membiarkan konfrontasi ini berlarut-larut. Aku menyadari, bahwa kita sekarang tersangkut dalam rentetan reaksi yang tak ada ujungnya dan disatu saat ia harus dihentikan,” kata Sukarno kepada Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat.
Kebenaran cerita misi rahasia Soegih Arto dikaji oleh peneliti politik Hidayat Mukmin dalam disertasinya di Universitas Gadjah Mada. Menurut Hidayat, lobi Soegih Arto ke London merupakan upaya tersembunyi dari Bung Karno untuk mengakhiri konfontasi. “Operasi khusus” Sukarno itu berlangsung pada pertengahan tahun 1964 bersamaan dengan Menpangad Letjen Ahmad Yani menugaskan Mayjen Soeharto menjajaki kemungkinan rujuk dengan Malaysia. Hidayat juga mencatat, pemerintah Indonesia bersedia memberikan kompensasi yang mahal, antara lain pengembalian tanah partikelir milik Inggris di sekitar Ciasem dan Pamanukan yang telah diambil oleh Indonesia.
“Apa yang telah dilakukan Soegih Arto tentunya bukan rekaannya sendiri, karena kenyataannya ia telah melakukan misi itu dan ini merupakan kenyataan sejarah,” kata Hidayat Mukmin dalam disertasinya yang dibukukan TNI Dalam Politik Luar Negeri: Studi Kasus Penyelesaian Konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Baca juga: Kisah Tentara Jadi Diplomat
Operasi intelijen yang dijalankan Mayjen S. Parman pun bukan isapan jempol semata. Sejarawan Universitas Indonesia Linda Sunarti membenarkan adanya usaha-usaha rahasia dari pihak Indonesia untuk menghubungi pihak Inggris (dan juga Malaysia). Sepanjang bulan Oktober 1964, terdapat sekurang-kurangnya sembilan penjajak perdamaian (peace feelers) dari pihak Indonesia yang menjalankan misi penyelesaian konfrontasi.
“Tujuan para peace feelers ini adalah berusaha untuk mengakhiri konfrontasi melalui 'jalan belakang', karena perundingan-perundingan formal yang dilakukan tidak berhasil meredakan konflik, bahkan konflik kedua negara mulai mengarah pada konflik terbuka,” tulis Linda dalam disertasi di Universitas Indonesia berjudul “Penyelesaian Damai Konflik Indonesia Malaysia 1963--1966”.
Bukti-bukti adanya usaha dari militer Indonesia menemui Inggris, kata Linda, tercantum dalam dokumen-dokumen milik Foreign Office (Departemen Hubungan Luar Negeri) di London. Diperkirakan, pengiriman misi-misi rahasia tersebut dipengaruhi oleh kekhawatiran pihak militer Indonesia mengenai kemungkinan Inggris akan melakukan serangan besar-besaran setelah pemilihan umum di Inggris tanggal 15 Oktober 1964.
Bagaimana kelanjutannya misi Soegih Arto maupun penjajak rujuk lainnya? Nantikan di artikel berikutnya. (Bersambung)
Tambahkan komentar
Belum ada komentar