Akhiri Ganyang Malaysia Lewat Belakang
Sukarno melangsungkan cara senyap untuk menghentikan konfrontasi. Bukan berunding dengan Malaysia melainkan melobi langsung induk semang negara Melayu itu,
Waktu menjabat Konsul Jenderal RI di Singapura, Soegih Arto pernah mengantarkan seorang perempuan ke Jakarta. Nyonya Felice Leon Soh, perempuan paruh baya warga Singapura itu mengaku ingin bertemu Presiden Sukarno. Atas bantuan Menteri Luar Negeri Soebandrio, pertemuan itupun dapat terjalin. Nyonya Felice Leon Soh mengenakan baju Malaya berwarna merah menyolok. Pembicaraan dengan Bung Karno berlangsung selama setengah jam.
“Bagi Nyonya Felice pertemuan dengan Bung Karno merupakan pengalaman yang tidak akan dapat dilupakan selama hayat dikandung badan,” kenang Soegih Arto dalam Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Pur.) Soegih Arto.
Si nyonya rupanya terkagum-kagum dengan pesona Sukarno. "What a great man and he is so charming," kata Leon Soh kepada Soegih Arto. Kesan senada sayangnya tidak berlaku bagi Bung Karno.
Baca juga:
Ketika Soegih Arto hendak pamit, Bung Karno bercanda dalam bahasa Jawa, “Mbok nek gawa wong ki sing enom tur ayu (kalau membawa seseorang, bawalah yang muda dan cantik).” Kendati demikian, Sukarno puas juga dengan pertemuan itu. Dia memerintahkan Soegih Arto untuk selalu berhubungan dengan Nyonya Felice Leon Soh.
Felice Leon Soh adalah wanita pebisnis warga negara Singapura sekaligus politisi yang berasal dari Singapore Partij. Kelak, pada 1964, ketika konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia memanas, Nyonya Felice Leon Soh inilah yang berperan menjadi perantara untuk misi Soegih Arto. Misi rahasia tersebut merupakan perintah Sukarno untuk menghentikan konfrontasi lewat jalur belakang. Sukarno secara senyap mengutus Soegih Arto berunding dengan Kementerian Luar Negeri Kerajaan Inggris.
Menembus Pihak Inggris
Dengan bekal sangu sebesar US$350, Soegih Arto berangkat ke London melalui Paris, Prancis. Di Paris, Ny. Leon Soh telah menanti. Kepadanyalah segala keperluan Soegih Arto akan diurus, termasuk soal saluran diplomatik.
Setibanya di London, tutur Soegih Arto, yang ada hanya seorang Kuasa Usaha. Orang ini pernah bekerja sebagai pengajar bahasa Inggris di Indonesia. Soegih Arto meminta kepadanya dibuatkan teks bahasa Inggris yang akan digunakan sebagai bahan perundingan. Pertemuan itu telah diatur sedemikian rupa oleh Ny. Leon Soh sehingga Soegih Arto tidak perlu buang waktu lebih banyak.
Baca juga: Ongkos Diplomasi $250 dari Bung Karno
Soegih Arto kemudian dipertemukan dengan seseorang bernama Mr. Silver (entah nama sebenarnya atau nama samaran) di salah satu restoran pilihan Ny. Leon Soh. Kejutan terjadi ketika Mr. Silver menertawakan niatan Soegih Arto. Dia mengatakan bahwa Indonesia sudah kelabakan sampai harus meminta-minta Inggris menyelesaikan konfrontasi. Kendati demikian, Mr. Silver berjanji untuk menyampaikan masalah itu kepada atasannya dan akan memberikan jawaban secepatnya.
Sekira 2-3 hari Soegi Arto menanti. Jawaban dari pihak Inggris maupun Mr. Silver tidak kunjung datang. Lantaran kesal, Soegih Arto kembali ke Indonesia. Ini berarti bahwa Inggris telah menolak gagasan Sukarno.
Baca juga: Diplomasi Gelap Pembebasan Irian Barat
Menanggapi misi Soegih Arto tersebut, menurut peneliti politik UGM Hidayat Mukmin, kemungkinan pihak Inggris punya banyak pertimbangan. Bisa jadi Inggris menilai pemerintah Indonesia tidak sungguh-sungguh dengan gagasan penyelesaian konfrontasi. Lobi ini ditafsirkan pula sebagai tanda kapitulasi Indonesia menyerah kalah mengganyang Malaysia.
“Atau Inggris justru ingin memberikan ‘pelajaran’ kepada Indonesia,” tulis Hidayat Mukmin dalam disertasinya yang dibukukan TNI Dalam Politik Luar Negeri: Studi Kasus Penyelesaian Konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Melacak Jejak Sejarah
Versi lebih gamblang mengenai misi Soegih Arto diteliti oleh sejarawan Universitas Indonesia Linda Sunarti dalam disertasinya. Menurut Linda, dalam dokumen Kementerian Luar Negeri Inggris (Foreign Office ) terdapat beberapa keterangan tentang seorang utusan Sukarno yang datang untuk melakukan pembicaraan mengenai kemungkinan mengakhiri konfrontasi. Dalam penelitian Linda terlihat Ny. Leon Soh berperan lebih jauh sebagai penghubung antara Indonesia dan Inggris.
Pada 14 Oktober 1964, Leon Soh menghubungi Sir N. Pritchard dari Kementerian Luar Negeri Inggris. Leon Soh menjelaskan bahwa Indonesia masih berminat menyelesaikan konfrontasi melalui perundingan. Leon Soh kemudian meneruskan pesan Sukarno yang disampaikan kepada Soegih Arto. Sekiranya Inggris membantu Indonesia menyelesaikan konfliknya dengan Indonesia, Sukarno berjanji akan mengembalikan semua aset Inggris yang dinasionalisasi, termasuk ganti rugi.
Baca juga: Kegamangan Sukarno Mengganyang Malaysia
Leon Soh mengemukakan dua alternatif untuk mengakhiri konfrontasi. Pertama, mengadakan pemungutan suara di Sabah dan Serawak, setelah itu Sukarno akan menerima putusan referendum tersebut. Alternatif selanjutnya adalah dengan mengadakan pertemuan puncak antara pimpinan Indonesia, Malaysia, dan Inggris, setelahnya kantor konsulat akan dibuka di masing-masing negara. Sejajar dengan itu, Indonesia akan menarik mundur tentaranya dan mengakhiri konfrontasi.
Bagaimana reaksi pihak Inggris? Dalam catatan arsip Inggris yang dikutip Linda, Pritchard menegaskan bahwa posisinya hanya mendengarkan. Selanjutnya, dia akan melaporkan kepada pemerintahnya dan bila diperlukan akan meminta pertimbangan Malaysia. Kantor Kementerian Luar Negeri Inggris memberitahukan adanya pertemuan antara Leon Soh dan Pritchard kepada Wakil Komisaris Tinggi Malaysia di London. Namun, perdebatan alot justru terjadi di Kementerian Luar Negeri Inggris.
“Kementrian Luar Negeri Inggris ternyata tidak begitu terkesan dengan penampilan Leon Soh, bahkan menilainya sebagai tipikal oportunis,” ungkap Linda dalam disertasinya “Penyelesaian Damai Konflik Indonesia Malaysia 1963--1966”.
Sementara itu tawaran Sukarno mengembalikan aset Inggris dinilai sebagai sebuah tawaran yang naif. Mengenai rencana pertemuan puncak, pihak Inggris menanggapinya sebagai alat untuk membuktikan tuduhan Sukarno bahwa Malaysia adalah boneka Inggris. Apalagi Kementerian Luar Negeri Inggris menerima masukan dari Andrew Gilchrist, duta besar Inggris di Jakarta yang tidak begitu yakin akan ketulusan Sukarno. Pada intinya, pihak Inggris meragukan niat baik pemerintah Indonesia.
Baca juga: Suap di Balik Upaya Pembebasan Irian Barat
Perbincangan inilah yang menyebabkan Soegih Arto menanti jawaban yang tidak kunjung datang. Dalam otobiografinya, Soegih Arto mengakui misinya menuai kegagalan. Malahan dirinya merasa dipermalukan dengan sikap orang Inggris itu. “Usaha saya gagal seperti itu juga kegagalan yang saya alami dalam usaha membeli Irian Barat,” kata Soegih Arto. Pernyataan Soegih Arto, kata Linda, memang diperkuat dengan dokumen-dokumen milik Inggris yang menyatakan adanya utusan Sukarno yang bernama Soegih Arto dan Leon Soh.
Menurut Hidayat Mukmin, kesediaan Sukarno untuk berunding dengan Inggris tidak perlu ditafisrkan sebagai kelemahan. Sebagai ahli politik kawakan, Sukarno sejatinya telah melepaskan balon percobaan. Dengan mengutus Soegih Arto ke London, Sukarno dapat mengetahui siapa sebenarnya yang menjadi penentu dalam Federasi Malaysia. Selain itu, Sukarno ingin menjajaki sejauh mana Inggris bersedia berkompromi.
“Apabila rakyat memang menginginkan rujuk dengan menyelesaikan konfrontasi secara cepat, Sukarno pun telah siap sedia,” ungkap Hidayat.
Di balik seruan garang “ganyang Malaysia”, Sukarno sejatinya ingin menyelesaikan konfrontasi secara terhormat tanpa kehilangan muka. Namun, karena pihak Inggris belum menanggapinya dengan serius, Sukarno mengerahkan saluran-saluran diplomatik non formal yang lain. Sementara itu, tentara yang dipimpin Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani pun mempersiapkan operasi khusus intelijen untuk kepentingan yang sama. Salah satunya adalah misi rahasia Jenderal S. Parman. (Bersambung)
Baca juga: Misi Rahasia Jenderal S. Parman
Tambahkan komentar
Belum ada komentar