Masuk Daftar
My Getplus

Mantan Agen CIA Gagal Jadi Duta Besar di Indonesia

Pernah bekerja untuk CIA dan memiliki hubungan baik dengan Presiden Soeharto. Pengusaha ini gagal menjadi duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 30 Nov 2020
Presiden Soeharto dan Presiden Ronald Reagen di Amerika Serikat pada 12 Oktober 1982. (Youtube Reagan Library).

Edward E. Masters telah menyelesaikan tugasnya sebagai duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia pada November 1981. Namun, penggantinya belum juga ditunjuk. Jabatan itu pun kosong selama setahun. Penyebabnya, tiga nama yang diusulkan memicu kontroversi, yaitu Michael Armacost, Morton Abramowitz, dan Kent Bruce Crane. Nama terakhir pernah bertugas di Indonesia.

Crane lahir pada 25 Juli 1935 di North Hornell, New York, Amerika Serikat. Dia menempuh pendidikan tinggi di Dartmouth College dan American University dalam bidang ekonomi internasional.

Crane mulai bertugas di luar negeri pada 1960-an. Dia menjabat sekretaris ketiga bidang politik Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta selama dua tahun (1960–1962). Setelah setahun bekerja di Departemen Luar Negeri, dia ditugaskan ke Afrika. Dia menjabat wakil konsul bidang ekonomi di Konsulat Amerika Serikat di Zanzibar, Tanzania; kemudian menjabat sekretaris kedua bidang politik di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Accra, Ghana.

Advertising
Advertising

Baca juga: Direktur CIA Terburuk dan Presiden Soeharto

Kembali ke Amerika Serikat, Crane bekerja di Komite Nasional Republik sebagai asisten khusus mantan senator George Murphy. Setelah itu, dia menjadi penasihat urusan keamanan nasional (sumber lain: kebijakan luar negeri) untuk Wakil Presiden Amerika Serikat Spiro T. Agnew; kemudian asisten direktur United States Information Agency (USIS) untuk Asia Timur dan Pasifik.

Setelah itu, Crane menjadi asisten administrasi untuk senator Republik Peter Frelinghuysen. Dia kemudian menjabat direktur penelitian yang bertugas mereviu badan-badan intelijen untuk sebuah komisi presiden untuk organisasi pemerintahan.

Ketika tak lagi bekerja di pemerintahan, Crane menjadi presiden Crane Group Ltd., sebuah perusahaan konsultan dan investasi internasional di Washington.

Kandidat Utama

Setelah Michael Armacost dan Morton Abramowitz mendapat penolakan, Crane muncul sebagai kandidat kuat. Selain pernah bertugas di Indonesia, dia juga dekat dengan Presiden Soeharto.

“Penunjukan yang diharapkan sebagai duta besar untuk Indonesia, seorang pengusaha Washington yang menurut pejabat pemerintah memiliki hubungan ‘dekat’ dan ‘khusus’ dengan Presiden Soeharto, memicu kontroversi di Departemen Luar Negeri dan komunitas diplomatik Amerika Serikat,” tulis Michael Getler di washingtonpost.com, 17 September 1982.

Pejabat pemerintahan Ronald Reagan mengatakan, Crane “antre” untuk menjadi duta besar baru untuk Jakarta. Meski keputusan akhir belum dibuat, mereka mengatakan, Crane adalah kandidat utama.

Namun, Crane harus menghadapi kontroversi yang juga disadari Gedung Putih. Para pejabat Dinas Luar Negeri, diplomat, dan koleganya, mengungkapkan kekhawatiran akan dua masalah yang dihadapi Crane.

Michael Getler menyebutkan, pertama, Crane pernah bekerja untuk CIA selama penugasannya di Indonesia dan Afrika. Seorang juru bicara CIA menolak untuk mengonfirmasi atau menyangkal tuduhan itu. Kedua, Crane memiliki urusan bisnis –yang dikembangkannya setelah keluar dari pemerintahan– dan terlibat secara pribadi dengan keluarga presiden, termasuk menangani masalah keuangan. Ini dikhawatirkan menimbulkan konflik kepentingan.

Baca juga: Soeharto Meminta Bantuan CIA

Majalah Tempo, 23 Oktober 1982, melaporkan, bekas diplomat yang beralih menjadi pengusaha besar ini konon ditawari kursi duta besar oleh Presiden Reagen sendiri dalam suatu pertemuan di Gedung Putih. Pertemuan dan pencalonan itu bocor dan menjadi sensasi besar di koran-koran Amerika Serikat.

“Selain karena konon dia bekas agen CIA, yang disorot pada diri Crane adalah hubungan dagangnya dengan pihak-pihak tertentu di Indonesia,” tulis Tempo.

Antara lain, Tempo menyebut Yani Harjanto (Jantje Liem), seorang pengusaha besar Indonesia yang menanam modal di Amerika Serikat lewat Crane. Salah satu perusahaan yang mereka bentuk adalah Techdirective, yang memproduksi senjata dan peralatan keamanan, misalnya pistol yang disamarkan sebagai pulpen. Perusahaan ini diresmikan pertengahan tahun 1981, dengan Crane sebagai presiden direktur. Ini menimbulkan kekhawatiran dan tentangan.

Hubungan Bisnis

George Junus Aditjondro dalam Korupsi Kepresidenan menyebut bahwa Yani Harjanto berhasil membangun grup Harita, yang memiliki saham tumpang tindih dengan keluarga Soeharto dalam industri perkebunan tebu dan perkayuan.

"Selama dua dekade pertama kediktatoran," tulis Aditjondro, "Yani Harjanto juga menjadi sumber keuangan utama Kent Bruce Crane, seorang bekas anggota CIA yang beralih menjadi pengusaha, di mana grup Crane miliknya terlibat dalam penyediaan senjata-senjata ringan untuk pemerintah Amerika Serikat dan pemerintah lain."

Misalnya, Jeff Gerth melaporkan dalam New York Times, 27 Maret 1986, bahwa pada 28 Maret 1984, Crane bertemu dengan Jenderal Fabian C. Ver, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Filipina, dalam upaya untuk membantu menjual peralatan komunikasi kepada militer Filipina dengan dukungan keuangan dari Amerika Serikat. Meskipun Crane telah mengadakan pertemuan dengan pejabat Gedung Putih dan Pentagon tentang penjualan yang diusulkan, namun kesepakatan itu tidak terjadi.

Baca juga: Pengalaman Mantan Direktur CIA di Indonesia

Menurut Aditjondro, Crane juga menjalin persahabatan dengan Soeharto, dan menolong seorang putranya untuk mendaftar di suatu universitas di Virginia. Yani Harjanto dan keluarganya yang menghabiskan banyak waktu di Amerika Serikat membeli beberapa properti di sana, antara lain di Virginia dan Texas.

“Presiden Ronald Reagen mencalonkan Crane sebagai duta besar Amerika Serikat di Jakarta, namun membatalkannya setelah media mengekspos latar belakang Crane,” tulis Aditjondro.

Tempo menyebut Crane rupanya juga dianggap kurang berbobot oleh pihak Indonesia. Crane pun tersisih. Reagen menunjuk John H. Holdridge sebagai duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia, sebelum Soeharto berkunjung ke Amerika Serikat pada 12 Oktober 1982. Soeharto menerima Holdridge yang mulai menjabat pada 10 Desember 1982.

Holdridge yang saat itu berusia 58 tahun merupakan sinolog lulusan Cornell dan Harvard University. Kariernya sebagian besar di Asia Tenggara dan Timur. Setelah menjabat duta besar di Singapura, dia diangkat sebagai pejabat intelijen untuk Asia Timur. Sejak Mei 1981, dia menjabat asisten menteri luar negeri urusan Asia Timur dan Pasifik.

“Mereka memperoleh orang yang baik,” kata Crane.

TAG

intelijen cia amerika serikat

ARTIKEL TERKAIT

Plus-Minus Belajar Sejarah dengan AI Perjuangan Kapten Harun Kabir Spion Wanita Nazi Dijatuhi Hukuman Mati Mata Hari di Jawa M Jusuf "Jalan-jalan" ke Manado D.I. Pandjaitan dan Aktivis Mahasiswa Indonesia di Jerman Sukarno, Jones, dan Green Sepak Terjang Spion Melayu Adam Malik Sohibnya Bram Tambunan Operasi Monte Carlo, Misi Intelijen Koes Bersaudara