Pada 1958, Kastaf Resimen Hasanuddin Letnan Kolonel (letkol) Andi Muhamad Jusuf mendapat perintah dari KSAD Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution untuk berkunjung ke Manado. Nasution ingin menenangkan para perwira menengah Angkatan Darat yang termasuk golongan anti-komunis namun memimpin tentara di Sulawesi Utara bergerak menentang pusat. Kepada mereka, Nasution menjanjikan akan membuat perubahan di Jakarta dengan membentuk kabinet baru di mana Nasution, Hatta, Sultan serta Wakil KSAD Gatot Subroto sebagai pemegang posisi Kunci.
“Kebinet ini tidak akan (ulangi tidak akan) mengikutsertakan tokoh-tokoh kiri,” kata Nasution, seperti dicatat Audrey Kahin dan George McTurnan Kahin dalam Subversi Sebagai Politik Luar Negeri.
Nasution berjanji kepada para perwira penting di Sulawesi Utara itu untuk menyelanyapkan komunisme juga. Mereka sama-sama resah dengan membesarnya PKI, terlebih setelah Pemilu 1955.
Letkol M. Jusuf berangkat dari Jakarta ke Manado pada 2 Mei 1958. Di Manado M Jusuf akan menemui Letkol Herman Nicolaas Ventje Sumual juga. Sesampainya di sana, Jusuf bertemu dengan para perwira itu.
Pesan Nasution rupanya sudah tidak menarik lagi bagi Sumual dan para perwira lain. Sumual dkk. malah mengajak Jusuf untuk ikut serta dengan mengajak tokoh-tokoh Sulawesi Selatan agar bergerak pula dalam Permesta.
Tak hanya penolakan perwira itu, M Jusuf di Manado juga melihat pemandangan yang agak lain. Di Bandara Mapanget, Jusuf melihat empat pesawat tempur F-51 dan pembom B-26 dengan orang Amerika Serikat dan Taiwan sebagai pilotnya.
“Kalau mereka petualang, mereka adalah petualang paling muda yang pernah saya lihat. Mereka tampak sebagai sekelompok anak muda, seperti yang pernah saya lihat ketika saya mengunjungi West Point,” kata Jusuf kepada atase militer Amerika di Jakarta setelah dia pulang kembali ke Jakarta.
Jusuf melihat kesiapan kawan-kawannya asal Sulawesi Utara itu. Mereka tidak hanya sudah bersiap diri dengan para kombatan mereka, tapi juga sudah mendapat peralatan tempur dari Amerika. Operasi militer itu merupakan bagian dari operasi rahasia CIA di Indonesia dalam era Perang Dingin.
Jusuf meyakini bahwa orang-orang Amerika mengendalikan operasi militer di Sulawesi Utara itu. Terlebih, waktu di Manado Sumual bilang padanya bahwa soal peralatan mereka tinggal meminta saja dari Amerika.
“Para pemberontak tidak takut terhadap serangan udara pemerintah karena lapangan udara di sana kini sudah dilindungi dengan menggunakan meriam-meriam AA-90 mm buatan Amerika Serikat. Saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri,” kata M. Jusuf dalam laporannya.
Perwira Taiwan berpangkat kolonel bahkan sedang melatih pasukan Permesta mengoperasikan meriam-meriam tersebut. Jadi secara mental maupun fisik, Permesta telah siap “mengoreksi” Jakarta.
Sebelum Jusuf datang, rupanya lapangan udara Morotai di Maluku Utara telah diduduki Permesta. Lapangan udara yang besar itu sangat baik bagi posisi Permesta atas masuknya bantuan Amerika. Selain dekat dengan pangkalan Amerika di selatan Jepang, Sulawesi Utara punya banyak kombatan yang mendukung Permesta. Mereka dipimpin Ventje Sumual dkk.
“Di daerah ini, rumput pun sudah Permesta,” kata Sumual dalam biografinya yang disusun Bert Supit dan Benny Matindas, Ventje Sumual-Menatap Hanya Ke Depan.
Setidaknya ada 6.000 tentara TNI aktif yang ikut Permesta di sana. Dengan kesiapan mental maupun fisik, mereka membuat operasi militer yang dilancarkan pemerintah pusat tidak semudah di Sumatra yang –menjadi basis Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia– sukses hanya dalam hitungan bulan.