ISU dwifungsi militer dalam kehidupan sipil masih jadi momok bagi masyarakat menyusul revisi Undang-Undang TNI. Terbukti dari demonstrasi dan unjuk rasa yang terjadi beberapa waktu belakangan ini menentang revisi UU TNI dan kembalinya dwifungsi. Pengalaman traumatik di masa lalu bukan tanpa alasan.
Selama rezim Orde Baru (Orba) berkuasa, peran sosial-politik militer begitu menonjol ketimbang fungsi sebagai alat pertahanan negara. Terlihat antara lain dari sejumlah posisi-posisi strategis non-militer yang ditempati oleh perwira militer aktif. Mulai dari lurah hingga gubernur, termasuk jabatan direktorat kementerian. Merambahnya militer ke sektor sipil tentu membuka kecenderungan pemerintahan ke arah otoriter. Sebab, militer lebih mengenal komando satu arah daripada dialog yang menjadi sendi bagi negara penganut demokrasi seperti Indonesia.
Tidak hanya bagi publik sipil, tokoh TNI sekaligus penggagas konsep Dwifungsi Jenderal TNI (Purn.) Abdul Haris Nasution sekalipun mengkhawatirkan praktik dwifungsi ABRI di masa itu. Di masa tuanya, Nasution menyaksikan dwifungsi menyimpang dari gagasannya semula. Tentara bukan lagi sebagai pejuang, melainkan hanya memikirkan kariernya supaya selamat dan terjamin.
“Pelaksanaannya kini telah melampaui 'jalan tengah' dalam pidato introduksi 11 November 1958 dulu,” kata Nasution dalam Berita Yudha, 5 Oktober 1997.
Baca juga: Dari Jalan Tengah ke Dwifungsi ABRI
Konsep “Jalan Tengah” yang dimaksud Nasution berasal dari pidatonya saat Dies Natalis pertama Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang. Nasution yang saat itu menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) menegaskan posisi TNI bukan sekadar alat sipil lazimnya di negara Barat dan bukan pula junta militer yang memegang kekuasaan negara. TNI merupakan kekuatan sosial, kekuatan rakyat yang bahu membahu dengan kekuatan lainnya. Gagasan Jalan Tengah inilah yang kemudian melegalkan peran sosial-politik militer hingga melahirkan Dwifungsi ABRI.
Menurut Nasution, Dwifungsi ABRI mulanya tampil secara bertahap untuk menjawab tantangan zaman demi tegaknya kedaulatan negara. Tantangan itu meliputi masa Perang Kemerdekaan menghadapi agresi militer Belanda, pemberontakan dalam negeri pada dekade 1950-an, nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, hingga perjuangan Orba menumpas komunisme di Indonesia. Dwifungsi ABRI terus berlangsung memasuki pemerintahan Orba pimpinan Presiden Soeharto.
Memasuki dekade 1970-an, Nasution sesungguhnya mulai menyadari potensi menyimpang dari peran politik TNI dalam kerangka pelaksanaan dwifungsi. Kegundahan itu dituangkan Nasution dalam buku Kekarjaan ABRI yang terbit pada 1971. Dalam Kekarjaan ABRI, Nasution melihat pengkaryaan tentara terutama di bidang ekonomi mendapat serangan pedas dan kritik tajam sudah sejak masa Orde Lama. Pengkaryaan itu, dari sudut pandang para pengkritik, mengurangi lapangan kerja buruh dan dalam pemerintahan mengurangi atau menutup kemungkinan-kemungkinan terhadap karier pegawai negeri.
“Akibat dari berbagai penyelewengan itu, Nasution melihat mulai munculnya kekecewaan di dalam masyarakat terhadap peran politik tentara. Kekecewaan ini melahirkan tekanan untuk paling sedikit mengurangi peran politik tentara tersebut, kalau belum bisa dihapuskan sama sekali,” catat Salim Said dalam Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi: Perkembangan Pemikiran Politik Militer di Indonesia 1958—2000.
Baca juga: Kritik Terhadap Dwifungsi ABRI
Nasution sendiri pernah menolak “di-dwifungsikan” jelang pensiun pada 1972. Dalam suatu seremoni sederhana di Mabes TNI-AD, Nasution yang saat itu berusia 53 tahun menerima surat pensiunnya di hadapan KSAD Jenderal Umar Wirahadikusumah yang semasa Perang Kemerdekaan pernah bertugas sebagai ajudan Nasution. Dalam kata sambutannya, Umar Wirahadikusumah menyatakan bahwa pimpinan AD akan tetap memperhatikan penghidupan Nasution selepasnya dari dinas kemiliteran. Jaminan penghidupan itu berupa janji menempatkan Nasution sebagai pimpinan di perusahaan negara. Namun, Nasution buru-buru menyela pembicaraan itu agar tidak diteruskan.
“Sejak kapan seorang jenderal lebih dulu memikirkan penghidupannya? Bukankah ribuan bawahan sedang menghadapi masa pensiun dengan suram,” tegur Nasution seperti dikisahkan dalam Berita Yudha, 3 Oktober 1997.
Meski menyaksikan betapa kebablasannya pelaksanaan Dwifungsi ABRI, Nasution tak punya daya. Selepas pensiun dari militer, Nasution menjadi orang pinggiran yang dijauhkan dari pusat kekuasaan. Nasution bahkan menjadi oposisi pemerintah dan termasuk yang mengalami pencekalan sementara buah gagasannya dieksploitasi sedemikian rupa. Di sisi lain, nama Nasution sudah kadung selalu dikaitkan sebagai konseptor utama gagasan Dwifungsi ABRI.
“Saya sebagai pencetus ide itu selalu kena getahnya. Padahal kondisi ABRI diposisikan sekarang ini justru kelanjutan Supersemar. Kopkamtib (Bakorstanas) sebagai lembaga darurat selama ini berkiprah dalam kekuasaan negara,” celetuk Nasution dalam Berita Yudha, 5 Oktober 1997.
Baca juga: Kembali ke Dwifungsi ABRI?
Pada 1993, Nasution pernah berkesempatan menyampaikan unek-uneknya kepada Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung. Kepada jenderal berkumis tebal itu, Nasution menegaskan bahwa publik selalu mengira ABRI yang berada di berbagai posisi sejak dari lurah hingga gubernur, menteri dan lain-lain adalah pengejawantahan konsep Dwifungsi ABRI semula. Akibatnya, Nasution sebagai pencetus ide Dwifungsi kerap jadi pihak yang disalahkan. Seturut perkembangan zaman, menurut Nasution, ada masanya ketika Dwifungsi ABRI tak lagi relevan.
“Tentulah tiada yang abadi kecuali Allah SWT. Soal Dwifungsi, seperti juga terkandung dalam uraian Menhankam di DPR berinduk kepada soal demokrasi (UUD 1945). Ikrar ABRI pada awal Orba, semua lembaga diupayakan Kembali kepada kemurnian pelaksaan UUD 1945,” kata Nasution.