PERTAMINA nyaris bangkrut pada dekade 1970-an lantaran dililit utang proyek kapal tanker. Angkanya cukup fantastis untuk masa itu dan Pertamina terancam gagal bayar. Karena menyebabkan kerugian negara, sejumlah pimpinan Pertamina diberhentikan. Tak terkelcuali Direktur Utama (Dirut) Pertamina dr. Letjen TNI (Purn.) Ibnu Sutowo, yang sudah sepuluh tahun menjabat, jadi sorotan publik.
Menurut Kompas, 5 Maret 1976, Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Widjojo Nitisastro pada 25 Januari 1975 pernah merinci jumlah utang Pertamina. Pinjaman dalam negeri mencapai Rp47 miliar, pinjaman jangka pendek kepada bank dan perusahaan luar negeri sebesar 1,5 miliar dolar AS (setara Rp.622 miliar). Sementara itu, utang jangka panjang mencapai 800 juta dolar AS atau sekitar Rp.322 miliar.
“Sementara itu, kewajiban pajak Pertamina sendiri dan kewajiban pajak perusahaan-perusahaan minyak lain yang dipercayakan lewat Pertamina yang tidak disetorkan kepada negara berjumlah 999,5 juta dolar AS atau mendekati Rp 415 miliar,” demikian diwartakan Kompas.
Baca juga: Pertamina Digerogoti Korupsi Sejak Dirut Pertama
Atas krisis keuangan Pertamina itu, Ibnu Sutowo diberhentikan secara hormat dari jabatan dirut berdasarkan Keputusan Presiden No.29, 3 Maret 1976. Selain Ibnu, tujuh direktur Pertamina juga mengalami hal yang sama. Mereka adalah Ir. Trisulo (Direktur Eksploitas dan Produksi), Ir. Sudarno Martosewojo (Direktur Pengolahan dan Petrokimia), Drs. Judo Sumbono (Direktur Perbekalan Dalam Negeri), Ir. Wijarso (Direktur Umum), Mayor Jenderal Piet Haryono (Direktur Administrasi dan Keuangan), Drs. Sukotjo (Direktur Perkapalan), dan Mayor Jenderal Soehardiman (Direktur Pelabuhan dan Pemeliharaan Kapal).
Pemberhentian Ibnu dilakukan saat dirinya sedang cuti sakit di luar negeri. Piet Haryono kemudian ditunjuk menggantikan Ibnu sebagai dirut Pertamina. Dalam otobiografinya yang ditulis Ramadhan K.H, Ibnu mengenang pemberhentian dirinya dari Pertamina dengan penuh rasa kecewa.
“Saya tidak punya pikiran untuk seumur hidup jadi Dirut Pertamina. Saya kecewa karena cara penggantian Direktur Utama seperti itu,” ungkapnya dalam Ibnu Sutowo: Saatnya Saya Bercerita.
Baca juga: Foya-foya Bos Pertamina Ibnu Sutowo
Di sisi lain, pencopotan Ibnu Sutowo membuka tabir gelap seputar kepemimpinannya mengurusi Pertamina. Mulai dari isu korupsi, penyelewengan wewenang, transparansi laporan keuangan Pertamina termasuk pengemplangan pajak dan pendapatan Pertamina, hingga gaya hidup sang dirut. Pengaruh dan kekuasaan yang besar sempat melekatkan julukan mentereng pada Ibnu Sutowo sebagai “Si Raja Minyak”. Desas-desus yang bertiup kencang saat itu menyebut Ibnu Sutowo bakal diseret ke meja hijau untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Jenderal Soemitro, mantan Panglima Kopkamtib yang kebetulan baru saja pensiun, termasuk yang menyadari adanya upaya untuk mengadili Ibnu Sutowo. Suara-suara mendesak Ibnu Sutowo diseret ke muka pengadilan berseliweran. Soemitro termasuk tokoh TNI yang menentang wacana untuk memproses Ibnu Sutowo secara hukum.
“Saya, yang waktu itu sudah pensiun, berontak. Saya tidak setuju Pak Ibnu diseret ke meja hijau. Saya minta ketemu Pak Domo (Kepala Staf Kopkamtib), (Mayor) Jenderal Benny (Asintel Menhankam dan Kopkamtib), dan (Letnan) Jenderal Ali Said (Jaksa Agung). Saya kemukakan kepada mereka, bahwa semua kebijaksanaan Pak Ibnu itu diketahui oleh Pak Harto,” beber Soemitro dalam memoar Soemitro: dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib.
Baca juga: Permina di Tangan Ibnu Sutowo
Ibnu Sutowo sendiri secara pribadi tidak merasa bertanggung jawab atas krisis Pertamina. Dalam suatu kesempatan di turnamen golf di California, AS, dirinya menerangkan kepada pers bahwa penyebab kesulitan Pertamina bukan karena pinjaman luar negeri. Menurutnya, justru pembatasan-pembatasan pemerintahlah yang menganggu kemampuannya untuk berunding dengan bank-bank dan perusahaan minyak. Ia menambahkan, masalah-masalah yang dihadapi Pertamina diperberat oleh kegawatan yang tidak terduga dari resesi dunia.
“Sebelum pemerintah Indonesia campur tangan, saya bebas untuk melakukan perudingan-perundingan dalam usaha. Saya dapat mengoperasikan Pertamina dengan berhasil. Tetapi sekarang, pembatasan pemerintah membuatnya tidak mungkin lagi,” kata Ibnu dalam Kompas, 16 Fabruari 1977 yang mengutip dari The Asian Wall Street Journal - Hongkong, 14 Februari 1977.
Kendati menolak disalahkan, krisis Pertamina dan Ibnu Sutowo dipersoalkan sampai ke parlemen, termasuk oleh aktivis hukum seperti Adnan Buyung Nasution. Mereka yang kritis mengharapkan tindakan kepada Ibnu Sutowo tidak sekadar dipecat, tetapi juga diseret ke pengadilan. Krisis Pertamina sendiri diselesaikan dengan pembatalan kontrak pembelian kapal tanker. Konsekuensinya, pemerintah Indonesia harus membayar kerugian akibat wanprestasi.
Baca juga: Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan
Kejaksaan Agung akhirnya memeriksa Ibnu Sutowo. Tapi, Ibnu menolak diperiksa di kantor Kejaksaan Agung. Ibnu diperiksa di kediamannya sedangkan beberapa petinggi Pertamina lain di suatu gedung tersendiri di Jl. Thamrin. Ada juga bawahan Ibnu yang ditahan sampai berbulan-bulan, ditempatkan di rumah khusus. Namun, mereka kembali ke rumah masing-masing tanpa kelanjutan apa-apa. Status Ibnu sendiri tak jelas. Bukan tahanan resmi, bukan pula tahanan rumah.
“Ibnu Sutowo hanya diminta untuk tetap di rumah, agar sewaktu-waktu dapat dimintai keterangan,” kata Jaksa Agung Ali Said, dikutip Kompas, 20 Juli 1978.
Menurut Ibnu Sutowo, dirinya dilarang untuk buka-bukaan menyangkut persoalan Pertamina. Pesan untuk tutup mulut itu datang dari kantor kepresidenan Bina Graha melalaui Deputi Sekretaris Kabinet Ismail Saleh. Ibnu sendiri menyangkal tudingan korupsi yang dialamatkan padanya.
“Tambah hari tambah condong keyakinan saya, bahwa saya diberhentikan karena ulah pihak lain, dan jelas karena alasan politik,” kenang Ibnu. “Waktu itu saya sedang berada di posisi puncak. Dan, yang paling gampang untuk menjatuhkan saya, dengan tuduhan korupsi.”
Baca juga: Korupsi Pertamina yang Terus Bermutasi
Pada akhirnya, Ibnu Sutowo tak pernah diproses secara hukum meski krisis Pertamina terbukti menyebabkan kerugian negara. Desakan untuk mengadilinya pun menguap begitu saja. Selepas Ibnu Sutowo, kasus korupsi dalam tubuh Pertamina masih saja terus bermutasi dari masa ke masa.