PARLEMEN gempar ketika Wakil Presiden Mohammad Hatta resmi mengundurkan diri dari jabatannya. Tidak hanya di parlemen, berita pengunduran diri Bung Hatta mengisi halaman depan semua suratkabar nasional. Sejak Bung Hatta meletakkan jabatannya pada 1 Desember 1956, kepemimpinan dwitunggal-nya bersama Presiden Sukarno telah pecah kongsi.
“Mulai hari ini RI tak punya wakil presiden. Dr. Mohammad Hatta tetap pada pendiriannya meletakkan jabatan mulai tanggal 1 Desember 1956,” demikian diwartakan Kedaulatan Rakjat, 1 Desember 1956.
Sebelum resmi meletakkan jabatan, wacana pengunduran diri Bung Hatta sejatinya telah bergulir cukup lama. Pada 1955, Bung Hatta telah mengajukan permohonan pengunduran diri. Namun, permohonan itu tidak mendapat tanggapan dari parlemen. Pada 23 November 1956, Bung Hatta kembali menegaskan niatannya untuk mundur dari posisi RI-2. Dalam suratnya kepada parlemen, ia menyatakan masa tugasnya sebagai wakil presiden berakhir pada 1 Desember 1956. Keputusan Bung Hatta amat disayangkan oleh begitu banyak pihak. Di tengah kesenjangan antara daerah dan pusat, sosok Bung Hatta menjadi tumpuan bagi aspirasi masyakat Indonesia di daerah-daerah luar Jawa, khususnya Sumatra.
Baca juga: Belajar Membaca dari Bung Hatta
“Ada satu masa Hatta bukan sebagai orang kedua. Di zaman Perang Kemerdekaan, Indonesia dipimpin oleh dwitunggal Sukarno-Hatta. Jadi satu, walaupun isinya dua orang. Hatta pemimpin yang berkarakter dan selama periode itu menujukkan integritas yang tinggi, baik sebagai seorang pemimpin bangsa dan juga seorang pemimpin negara,” terang sejarawan dan kurator museum Erwin Kusuma dalam siniar “Topsecret: Mundurnya Bung Hatta Sebagai Wakil Presiden” di kanal Youtube ANRI, 4 Desember 2024.
Dari penelusurannya, Erwin mengungkap berbagai persoalan kompleks yang melatari pengunduran diri Bung Hatta. Dalam berbagai kesempatan, Bung Hatta menganggap bahwa Presiden Sukarno melampaui tugasnya sebagai seorang kepala negara. Sukarno misalnya kerap kali mengintervensi hal-hal tertentu dalam jalannya pemerintahan. Sementara itu, sistem pemerintahan parlementer yang diterapkan pada periode 1950-an membatasi kekuasaan presiden sebagai kepala negara. Batasan dwitunggal itu akhirnya mulai terkuras dan merenggang secara perlahan-lahan. Dari hal yang sifatnya kenegaraan sampai hal yang sifatnya pribadi, Hatta dan Sukarno semakin bertentangan.
“Ketika Presiden Sukarno memutuskan untuk menikahi Hartini, Mohammad Hatta termasuk yang mempertanyakan. Apakah langkah Sukarno itu bisa menjaga nama baik Sukarno sebagai seorang presiden dan kepala negara. Itu hal yang sifatnya pribadi,” kata Erwin.
Baca juga: Hartini, First Lady yang Tak Diakui
Menurut Erwin, alasan pengunduran diri Bung Hatta yang dikemukakan secara publik berkenaan dengan terselenggaranya Pemilu 1955. Dari hasil pemilu itu telah terpilih anggota legislatif maupun Konstituante. Para anggota dewan yang baru itulah yang nanti akan memilih presiden dan wakil presiden selanjutnya. Namun, mengutip pendapat Deliar Noor, intelektual Muslim yang menulis biografi politik Bung Hatta, menggejalanya korupsi dalam penyelenggaraan negara turut berkontribusi menyebabkan Bung Hatta muak atas kondisi pemerintahan.
“Karena batasan konstitusinya itu, Hatta tidak mampu menghentikan praktik-praktik korupsi dan penyelewengan dalam penyelenggaraan negara sehingga dia menyatakan mundur dari jabatan wakil presiden. Dan itu sudah dinyatakan sejak 1955,” jelas Erwin.
Harian Kedaulatan Rakjat membeberkan sejumlah penyebab di balik pengunduran diri Bung Hatta. Perkara politik yang dihadapi Hatta saat itu menyangkut grasi yang diberikan kepada Mr. Djody Gondokusumo (Menteri Kehakiman Kabinet Ali I), masalah internal AURI, persoalan Jenderal Mayor Simatupang, lisensi istimewa Mr. Iskaq Tjokroadisurjo (Menteri Perdagangan Kabinet Ali I), hingga Proyek Asahan. Dalam soal-soal penting tersebut, Wapres Hatta telah lama mengeluhkan bahwa dirinya sering tidak dilibatkan untuk berunding di parlemen.
Baca juga: T.B. Simatupang, Jenderal Jenius yang Religius
Dalam pemberian grasi enam bulan untuk Mr. Djody yang tersangkut kasus korupsi, Bung Hatta sama sekali tidak pernah diajak untuk membicarakannya. Mengenai pemecatan Jendral Simatupang, Bung Hatta juga kurang setuju. Menurutnya, apabila kabinet tidak menyukai pribadi Simatupang, hendaknya kedudukan Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) jangan dikorbankan atau dihapuskan. Namun, masukan Bung Hatta itu tidak dihiraukan. Menteri Pertahanan Iwa Kusumasumantri tetap memecat Simatupang dengan hanya menggunakan Peraturan Pemerintah.
Soal Proyek Asahan di Sumatra Utara, menurut Hatta, amat sedikit perhatian yang dicurahkan pemerintah. Padahal, proyek tersebut merupakan salah satu usaha meningkatkan produksi dan meluaskan industri dalam negeri. Beberapa nasihat dan usaha untuk memperbesar anggaran proyek serta menjalankannya dengan sungguh-sungguh ternyata tidak mendapat perhatian sepantasnya.
“Mengenai lisensi istimewa Iskaq dalam Kabinet Ali yang lalu, menurut pendapat Hatta adalah suatu Tindakan yang memorat-matirkan kedudukan ekonomi dan keuangan negara, akan tetap nasihat-nasihat untuk mencegahnya yang diberikan oleh Hatta tidak dilaksanakan,” sebut Kedaulatan Rakjat, 1 Desember 1956.
Baca juga: Empat Partai Ini Terjerat Korupsi
Sepeninggal Bung Hatta, pandangan bernegara yang tadinya utuh dari dwitunggal Sukarno-Hatta, berubah menjadi pandangan yang sifatnya personal terbatas pada diri Sukarno saja. Perubahan yang paling kentara, sambung Erwin, salah satunya dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri. Ciri yang tadinya menjaga komitmen bebas-aktif, menjadi politik luar negeri yang sangat Sukarno sekali.
“Bung Hatta tidak mau turut bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dia tidak bisa langsung memperbaikinya karena itu (terkendala) batasan konstitusional. Jadi dia lebih baik memilih sebagai seorang pemimpin bangsa di luar pengelolaan negara. Itu sikap yang dia ambil,” tutup Erwin.