LASKAR pejuang di Sumatra Utara terkenal banyak tingkah dan kelakuan eksentrik dalam Perang Kemerdekaan. Mereka bertempur menghadapi Belanda di garis depan namun di belakang saling cakar dengan sesama kelompok laskar. Wakil Presiden Mohammad Hatta sampai dibuat repot berurusan dengan beberapa komandan laskar yang kerap bikin ulah.
Waktu itu pertengahan Juli 1947, Bung Hatta baru saja pulang dari India usai bertemu dengan Perdana Menteri Nehru. Sekembalinya ke Indonesia, Bung Hatta meneruskan perjalanan keliling Sumatra. Di beberapa kota, kedatangan Bung Hatta disambut rakyat dengan penuh semangat untuk mempertahankan kemerdekaan. Mulai dari Pekanbaru, Bukittinggi, kemudian masuk ke Sumatra Utara. Setelah melewati Sibolga pada 21 Juli 1947, terdengarlah kabar bahwa Belanda telah melancarkan agresi militer yang pertama. Kendati tentara Belanda mulai menduduki Sumatra Timur, rombongan Bung Hatta terus melanjutkan perjalanan ke Tarutung hingga Pematang Siantar.
“Tentara yang mengepung Medan, yang panglimanya bernama Hotman Sitompul, berada di daerah Pematang Siantar dan sebagian dari tentaranya berada di sebelah barat Medan. Jumlah tentara Republik Indonesia yang berperang sekitar Medan tidak besar jumlah. Yang banyak di sana ialah laskar-laskar yang tunduk pada tiga atau empat partai politik,” kenang Bung Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi.
Baca juga: Timur Pane Pejuang yang Terbuang
Ketika di Pematang Siantar, Bung Hatta bersua beberapa komandan laskar. Kebanyakan mereka yang mundur dari Pertempuran Medan Area. Saat itulah Bung Hatta mengetahui telah terjadi pertikaian antara dua komandan laskar. Yakni Timur Pane, pemimpin laskar Napindo Naga Terbang dan Sarwono Sastro Sutardjo, pentolan Ksatria Pesindo. Sarwono yang sudah ditangkap bahkan hendak dibunuh oleh Timur Pane. Atas campur tangan Bung Hatta, Timur Pane mengurungkan niatnya. Bung Hatta kemudian memerintahkan Timur Pane ke Tapanuli menghimpun kekuatan untuk persiapan menghadapi tentara Belanda.
Tapi, keadaan di Pematang Siantar makin tidak aman. Dari Letkol Hotman Sitompul, Bunga Hatta diberitahukan posisi pasukan Belanda yang sudah merangsek masuk ke Tebing Tinggi. Itu artinya selangkah lagi mencapai Pematang Siantar. Sehari sebelum Pematang Siantar jatuh, salah seorang komandan laskar melapor kepada Bung Hatta. Secara meyakinkan sang komandan mengatakan kepada Bung Hatta bahwa pasukannya bakal memasuki Kota Medan. Dia pun menjanjikan Bung Hatta bisa terus lanjut ke Medan dan bermalam di Hotel de Boer (sekarang Inna Dharma Deli Hotel). Bung Hatta hanya mengangguk saja menanggapi ocehan si komandan laskar. Sejurus kemudian si komandan ini mengajukan permintaan.
“Suma satu yang kurang, Bapak,” ujarnya.
“Kurang apa yang satu itu?” tanya Bung Hatta.
“Ya, bapak, suma satu…”
“Sebut saja yang satu itu,” desak Bung Hatta.
Baca juga: Bung Hatta dan Rakyat Tapanuli Selatan
Rupanya lidah batak si komandan sukar menyebut huruf “c”. “Suma satu yang dimaksudnya adalah “cuma catu” yang berarti jatah beras. Dengan kata lain, si komandan sedang “memalak” logistik kepada Bung Hatta. Mendengar todongan itu, Bung Hatta hanya mesem.
Sang komandan laskar, seperti dikisahkan Midian Sirait, eks Tentara Pelajar di Tarutung, bernama Matheus Sihombing. Dalam Pertempuran Medan Area, Matheus Sihombing merupakan pemimpin laskar Napindo Alas Utara yang bergerak di area Medan Timur. Dia dikenal dengan julukan “si mitraliur” karena suka meludahi pistolnya untuk menakuti lawan.
“Matheus Sihombing tak berhasil mengantar Bung Hatta menginap di Hotel de Boer di Medan, karena terjadi force majeur, justru Pematang Siantar jatuh ke tangan Belanda keesokan harinya. Bung Hatta yang tak jadi menginap di Medan, dibawa melalui darat mengitari Danau Toba melawan arah jarum jam, menyusur sisi utara Danau Toba lalu turun ke selatan di pesisir barat dan meneruskan perjalanan darat itu ke Sumatera Barat,” tutur Midian Sirait dalam Revitalisasi Pancasila: Catatan Tentang Bangsa yang terus Menerus Menanti Perwujudan Keadilan Sosial.
Baca juga: Kapten Matheus Sihombing, Jago Revolusi dari Tapanuli
Menjelang Agresi Militer Belanda II (akhir 1948), Bung Hatta lagi-lagi harus kembali menangani perseteruan pimpinan laskar. Kali ini keributan antara Mayor Bedjo dan Mayor Liberty Malau menjalar jadi pertempuran antara pasukan masing-masing yang bikin geger di Tapanuli. Liberty Malau dan pasukannya berasal dari Tapanuli, sementara Bedjo orang Jawa-Deli dan pasukannya kebanyakan dari Sumatra Timur. Residen Tapanuli mendesak pemerintah pusat agar menaruh perhatian atas keamanan wilayahnya.
Bung Hatta yang sudah merangkap menteri pertahanan itu mengutus perwira dari Divisi Siliwangi Letkol Alex Kawilrang untuk menertibkan situasi di Tapanuli. Namun, Panglima Komandemen Sumatra Jenderal Mayor Suhardjo Hardjowardoyo tidak segera menempatkan Kawilarang pada posnya. Tersulutlah amarah Bung Hatta. Bentrokan antarlaskar di Tapanuli ini bahkan menjadi perang saudara yang menyulut sentimen suku dan agama.
“Mendengar keterangan Letkol Kawilrang itu, timbul lagi jengkel hatiku terhadap Jenderal Mayor Suhardjo. Dikirim kepadanya seorang opsir yang cakap dari tantara Siliwangi untuk memperkuat tentara di Sumatra, tetapi opsir yang cakap itu tidak diberikan tugas yang berarti,” gerutu Bung Hatta dalam otobiografinya.
Baca juga: Mayor Bedjo dan Mayor Liberty Malau Gelut
Pada November 1948, Bung Hatta secara pribadi datang lagi ke Tapanuli demi membereskan perkara Bedjo-Malau. Kapten Islam Salim ditugaskan menyampaikan surat panggilan kepada Alex Kawilarang sekaligus menjemputnya di Tarutung untuk menemui Bung Hatta di Sibolga. Saat itu Kapten Islam Salim menjadi ajudan Kolonel Hidayat Martaatmadja, Wakil I Kepala Staf Angkatan Perang, yang turut menyertai rombongan Bung Hatta.
Dalam perjalanan antara Sibolga dan Tarutung, Kapten Islam Salim dihadang pasukan Liberty Malau. Mereka mengira rombongan Islam Salim anggota pasukan Bedjo. Jengkel karena perjalanannya terhambat, Islam Salim menegur anggota laskar itu. Ketika Belanda mengancam, mengapa para laskar ini saling mengobarkan perang saudara, demikian hardiknya. Namun, Islam Salim, seperti ditutukannya dalam Pengalaman tak Terlupakan: Pejuang Kemerdekaan Sumbar Riau, terkejut mendengar jawaban polos laskar Batak itu.
“Habis bagaimana Bapak! Si Suharzo sudah pemimpin. Si Bezo mau zadi pemimpin pula. Kita mau dizazah oleh orang Zawa,” keluh anak buah Malau. Setelah menenangkan pasukan kecil itu, Kapten Islam dan kawan-kawan dapat meneruskan perjalanan dengan lancar ke Tarutung.
Baca juga: Perang Saudara di Tapanuli
Dalam suatu pertemuan, Bung Hatta menetapkan Alex Kawilarang sebagai komandan Sub Komandemen Tapanuli dan Sumatra Timur. Alex Kawilarang kemudian membagi wilayah operasi para komandan laskar ke dalam sektor-sektor dengan kekuatan pasukan sebatas batalion. Sementara itu, Kolonel Hidayat diangkat menjadi panglima Komandemen Sumatra menggantikan Jenderal Mayor Suhardjo yang kemudian dikembalikan ke Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta sebagai oditur militer.
“Akhirnya aku ucapkan bahwa putusan yang baru diambil itu harus dijalankan segera dengan taat. Sesudah itu aku memberi selamat kepada Kawilarang dengan tugasnya yang baru sebagai Panglima Sumatra Utara dan aku mengharapkan supaya ia melaksanakan tugasnya dengan baik,” kenang Hatta.