WAKIL Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka mengaku tidak suka baca buku. Pengakuan itu terungkap saat Gibran berbincang dengan Najwa Shihab, duta baca Indonesia, dalam peresmian Pojok Baca di Kedai Markobar Makassar pada Oktober 2017. Gibran memang tengah disorot atas jejak digitalnya di masa silam sebelum terjun ke dunia politik. Pengakuan itu sendiri berlangsung saat Gibran masih menjalankan bisnis kuliner martabak Markobar-nya.
Dalam video lawas yang kembali viral itu, Gibran mengatakan lebih suka membaca komik ataupun bacaan yang ringan. Di luar itu, dia lebih suka main gim di konsol Playstation. Seturut pengakuannya lagi, tradisi literasi memang tidak mengakar dalam keluarga putra sulung Presiden Joko Widodo itu.
“Sebenarnya budaya baca buku di rumah saya nggak ada. Ya itu tadi pada baca buku komik, main PS,” kata Gibran yang kemudian disambut gelak tawa oleh Najwa.
Gibran mungkin alpa, para pendiri bangsa membangun konsep negara Republik Indonesia ini dengan gagasan. Entah itu gagasan tentang kemerdekaan, anti-penjajahan, kemanusiaan, dan lain sebagainya. Dan gagasan itu lahir dari tradisi literasi yang mapan, baik itu membaca, menulis, maupun berdiskusi.
Baca juga: Gila Baca Pendiri Bangsa
Sebagai seorang yang sebentar lagi menjadi pejabat publik (RI-2), Gibran tentu amat berbeda dengan pendahulunya, Wakil Presiden RI pertama Mohammad Hatta. Bung Hatta dikenal sebagai seorang yang senang membaca hingga boleh disebut sebagai pecinta buku (bibliofil). Bung Hatta bahkan pernah mengatakan, “Aku bisa hidup di manapun, asal dengan buku.” Ia tidak berlebihan karena menyatakan itu ketika sedang mendekam di Penjara Glodok.
Pada 1934, Bung Hatta dihukum penjara oleh pemerintah kolonial atas aktivitas pergerakannya dalam Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru). Meski berada dalam penjara, ia tetap merasa bebas dengan mengisi waktunya lewat aktivitas membaca. Itulah yang diungkapkan Bung Hatta kepada sahabatnya T.A. Murad, ketua Dewan Pimpinan Pusat PNI Baru. Murad kemudian memuat pengakuan Bung Hatta itu dalam suratkabat Daulat Ra'jat edisi 10 Mei 1934.
“Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, kerena dengan buku aku bebas,” demikian Bung Hatta.
Kecintaan Bung Hatta pada buku telah dipupuk sejak muda. Adalah pamannya, Mat Etek Ayub Rais, seorang penguasaha yang memperkenalkan Hatta kecil pada buku. Dalam otobiografinya, Bung Hatta mengisahkan Mak Etek Ayub membelikannya buku-buku berbahasa Belanda tentang studi ekonomi, yaitu Staathuishoudkune (Ekonomi Politik - 2 jilid) karya ekonom Belanda Nicolaas Gerard Pierson, De Socialisten (Kaum Sosialis - 6 jilid) karya Hendrick Peter Godfried Quack, Het Jaar 2000 (Tahun 2000) karya penulis Amerika Edward Bellamy. Buku-buku itu kelak menjadi penuntun Bung Hatta untuk berkuliah di Economische Hogeschool (sekarang Univerasitas Erasmus) di Rotterdam, Belanda.
Baca juga: Mohammad Hatta di Prancis (1) Perjumpaan Pertama dengan Eropa
Dalam perjalanan hidupnya, Bung Hatta tidak pernah meninggalkan kebiasan membaca buku. Mulai dari kuliah di Belanda, aktivis pergerakan nasional, semasa menjabat wakil presiden, bahkan hingga pensiun. Koleksi bukunya mencapai sepuluh ribu-an buku yang masih tersimpan dalam kondisi baik di perpustakaan pribadi Bung Hatta di kediamannya di Jl. Diponegoro 57, Jakarta Pusat. Rumah itu ditempati Bung Hatta selepas pensiun pada 1956.
Meutia Farida Swasono, putri sulung Bung Hatta, tahu persis bagaimana kebiasaan membaca sang ayah. “Bung Hatta kalau membaca ada jadwalnya,” kata Meutia kepada Historia.id.
Setelah bangun pagi, Bung Hatta menunaikan salat subuh, lalu mandi. Pukul 7 pagi sarapan sambil mendengar siaran Radio Republik Indonesia (RRI). Ketika Meutia dan adiknya Gemala berangkat sekolah, barulah Bung Hatta memulai aktivitasnya membaca buku.
Begitu disiplinnya Bung Hatta pada jadwal membacanya. Pernah sekali waktu, seorang duta besar negara asing datang terlambat dalam sebuah janji bertemu dengan Bung Hatta. Karena sudah memasuki waktu untuk membaca, Bung Hatta enggan menemuinya. Sang duta besar akhirnya terpaksa pulang dan meminta maaf pada keesokan harinya.
“Porsi untuk membaca dan menulis itu sekitar delapan jam atau lebih tentu termasuk membaca Qur'an,” terang Meutia.
Baca juga: Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Buku
Dari koleksi bukunya, terlihat bahwa Bung Hatta melahap buku dari berbegai ragam ilmu pengatahuan. Selain ekonomi, ia juga menggandrungi filsafat, sejarah, hingga politik. Tapi, apa yang dilahapnya dari buku-buku bukan sekadar pemuas bagi dahaganya sendiri terhadap pengetahuan. Pengalaman di negeri Belanda, menurut Meutia, membuat Bung Hatta menyaksikan sendiri bagaimana anak-anak di Belanda seumuran dia bisa punya masa depan terjamin. Sementara itu, anak-anak Indonesia yang dijajah Belanda keadaanya begitu suram karena yang bisa menikmati pendidikan hanya segelintir orang dari kalangan bangsawan atau orang kaya.
“Karena itu Bung Hatta setelah membaca dan belajar, dalam pikirannya kalau Indonesia merdeka 'Saya harus menjadi pemimpin, maka saya harus mengisi kualitas kemampuan saya untuk menjadi pemimpin dan arahnya menjadi negarawan, bukan untuk kekayaan.' Bagaimana prinsip Bung Hatta membuat bangsa Indonesia maju. Kalau kita mau merdeka, kita harus punya keahlian. Itu patut ditiru. Untuk menjadi orang terdidik itu harus membaca,” jelas Meutia.
Hampir semua buku koleksi Bung Hatta, lanjut Meutia, telah dibaca oleh Bung Hatta. Selain itu, Bung Hatta juga punya kebiasaan unik kalau meminjamkan buku. Setelah buku dikembalikan, dia akan menanyakan apa saja dan bagian mana yang sudah dibaca oleh si peminjam. Bung Hatta juga tidak suka mencoret-coret buku, atau sekadar melipat kertas untuk menandai halaman. Bung Hatta akan marah bila melihat bukunya dinodai seperti itu.
Baca juga: Gara-gara Laskar Berulah, Bung Hatta Marah
Tidak sekedar pembaca buku yang lahap, Bung Hatta juga menerbitkan beberapa buku yang ditulisnya sendiri. Antara lain Alam Pikiran Yunani (1935), Demokrasi Kita (1960), Memoir (1979), termasuk risalahnya yang terkenal Mendayung di Atas Dua Karang (1951) yang menjadi dasar politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif.