SELAMA menjadi mahasiswa di Belanda, Mohammad Hatta beberapa kali mengunjungi Prancis, terutama kota Paris. Apapun yang ia alami, saksikan, dan resapi menjadi satu episode di dalam kehidupannya yang panjang. Episode yang sebenarnya cukup penting bagi perkembangan pemikirannya dan sejarah nasionalisme Indonesia.
Hatta pertama kali pergi ke luar dari Hindia Belanda (Indonesia) pada 3 Agustus 1921 dari pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur). Ia naik kapal "Tambora" dengan tujuan Rotterdam. Saat itu usianya belum genap 19 tahun.
Dalam perjalanannya, kapal “Tambora” singgah di pelabuhan Marseille, Prancis. Saat itu, Marseille adalah persinggahan pertama di Eropa bagi semua kapal yang melalui Terusan Suez menuju Eropa.
Pengalaman Baru
Penumpang kelas satu umumnya turun di pelabuhan Marseille dan melanjutkan sisa perjalanan dengan kereta api, sarana transportasi paling cepat saat itu. Mereka bisa langsung mencapai berbagai kota lainnya di dataran Eropa tanpa harus menghabiskan waktu lebih lama lagi di laut. Perjalanan laut dari Marseille ke Rotterdam masih butuh 4-5 hari lagi.
Hatta naik kapal Tambora sebagai penumpang kelas dua. Ia mencatat "sebanyak tiga perempat penumpang kelas dua memilih jalan laut." Memang, ini lebih murah daripada ongkos kereta. Persinggahan kapal di pelabuhan Marseille ada selama 10 jam. Hatta menghabiskan waktu persinggahan itu dengan keliling kota Marseille selama kira-kira lebih dari enam jam.
Di dalam memoirnya, Hatta menuliskan kesan-kesannya atas Marseille, kota Eropa pertama yang dikunjunginya. Yang paling berkesan adalah kebiasaan orang Prancis "di mana-mana membaca sambil jalan, atau duduk di trem selalu membaca koran."
"Itu pengalaman baru bagiku," demikian kenangnya.
Tentu saja hal itu jarang ia lihat di Hindia Belanda, bahkan di kota Batavia sekalipun. Penduduk kota Marseille tahun 1910 berjumlah sekitar 550 ribu jiwa, sementara di Batavia di tahun 1920 ada sekitar 300 ribu jiwa -dan tentunya juga, di Marseille ada lebih banyak penduduk melek huruf. Hatta langsung mengenali kebiasaan utama warga kosmopolitan. Yaitu, membaca buku di setiap kesempatan.
Pecinta Buku
Sejak muda Hatta pecinta buku. Saat sekolah di Batavia, ia sudah punya dua buku penting: Staathuishoudkunde (Ilmu Pemerintahan) karangan Nikolaas Gerard Pierson dan De socialisten: Personen en stelsels (Sosialisme: Kaum dan Sistemnya) karangan Hendrick Peter Godfried Quack.
Selain itu, yang dibacanya sekaligus sampai selesai adalah sebuah novel karangan Edward Bellamy, seorang sosialis Amerika. Novel berjudul asli Looking Backward (Menoleh ke Belakang) itu dibacanya lewat terjemahan Belanda: Het Jaar 2000 (Tahun 2000). Novel ini laris pada masa itu. Kisahnya tentang pemuda Julian West yang terlelap dan bangun di tahun 2000, 113 tahun sesudahnya, dan menjumpai kondisi ideal masyarakat sosialis. Hatta muda tentu terpikat dengan ide keadilan ekonomi di dalam novel itu. Malah, ia terinspirasi dari novel dystopia ini.