HASJIM Ning, pengusaha-sahabat Presiden Sukarno sekaligus keponakan Wapres Moh. Hatta, selalu ingat pribadi Hatta sangat teguh memegang prinsip. Salah satu prinsip yang teguh dipegang Hatta adalah ketidakmauannya menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.
“Misalnya, pada suatu hari di awal tahun 1950, Bung Hatta yang telah begitu lama tidak ketemu dengan ibundanya sudah demikian rindunya. Aku disuruh menjemput ke Sumedang,” kata Hasjim dalam otobiografinya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang.
Bagi Hasjim, permintaan Bung Hatta kurang sesuai dengan adat ketimuran. Hasjim menyarankan Bung Hatta mengirimkan mobil dinasnya untuk menjemput sang ibu jika Bung Hatta tak punya waktu. Dengan menunjukkan bakti kepada ibunya begitu, Hasjim yakin sang ibu pasti bangga.
“Tidak bisa. Pakai saja mobil Hasjim,” jawab Bung Hatta. “Mobil itu bukan kepunyaanku. Mobil itu milik negara.”
Baca juga: Bung Hatta dan Jenderal Ngaret
Hasjim yang bingung dengan sikap pamannya itu pun mau-tak mau menurutinya. Kebingungan itu pula yang dirasakan Hasjim ketika suatu kali menemui Bung Hatta dan menjelaskan keinginannya untuk berderma.
“Oom,” kata Hasjim, “perusahaanku ingin menyumbang, karena memperoleh untung lumayan tahun ini. Siapa menurut Oom yang perlu dibantu?”
“Hasjim tentu lebih tahu. Kasihkan padanya,” jawab Bung Hatta singkat dan datar.
“Baik juga kalau ada yang Oom calonkan,” kata Hasjim terus mengejar.
“Coba Hasjim tanya Margono!”
Hasjim lalu menemui Margono Djojohadikusumo, pendiri Bank Negara Indonesia (BNI) sekaligus ayah ekonom Soemitro Djojohadikusumo, yang dimaksud Hatta. Margono merupakan pendiri sekaligus ketua Yayasan Bung Hatta, yayasan yang bergerak di bidang perpustakaan. Kepada Margono, Hasjim menceritakan soal pembicaraannya dengan Hatta.
Margono langsung tertawa begitu mendengar penjelasan Hasjim. “Bung Hatta, Bung Hatta. Untuk menyebut yayasan yang memakai namanya saja ia tidak mau. Ia malah menyuruh Hasjim kepadaku sebagai ketua yayasan,” kata Margono, dikutip Hasjim.
Sebagai salah seorang sahabat dan pernah menjadi bawahan Hatta di Departemen Urusan Perekonomian semasa pendudukan Jepang, Margono tahu betul pribadi Hatta. “Ia seorang yang keras memegang ajaran dan hukum agamanya, tanpa fanatik dan mengganggu orang-orang lain. Di dalam sikap hidupnya ia selalu mendengrakan suara hati nuarninya dan sangat menghargakan waktu sampai kepada soal yang berkecil-kecil,” kata Margono dalam otobiografinya, Kenang-Kenangan dari Tiga Zaman: Satu Kisah Kekeluargaan Tertulis.
Baca juga: Dipercaya Soemitro, Ditolak Soeharto
Penjelasan Margono pun membuka pintu lebih bagi Hasjim dalam memahami Bung Hatta. “Seringkali sikap Bung Hatta itu menyesakkan napasku karena aku tidak bisa mengerti. Kalau ingin mengetahui sikapnya, tak ada gunanya mengajaknya berdebat. Ia selalu punya alasan. Tapi yang terutama ia tidak pernah mau berubah dari pendiriannya semula,” kata Hasjim.
Keteguhan sikap Hatta itu makin membuat Hasjim enggan memanfaatkan kedekatannya dengan Bung Hatta untuk meminta katebelece. Namun, suatu ketika, keadaan memaksa Hasjim minta katebelece kepada Bung Hatta. Hasjim memintanya untuk keperluan bisnisnya ke Amerika Serikat (AS). Pasalnya, Kedutaan Besar (Kedubes) AS di Jakarta baru akan memberinya visa jika ada jaminan dari dua orang terkemuka Indonesia.
Hasjim langsung mendatangi Bung Hatta usai mendapat pemberitahuan dari Kedubes AS. Dia yakin bakal mendapatkan apa yang diinginkannya dari Bung Hatta mengingat perjalanan bisnisnya juga menyangkut kepentingan negara.
Baca juga: Misi Pengusaha Sebelum Supersemar
Setelah menceritakan duduk perkaranya, Hasjim meminta jaminan tertulis kepada Bung Hatta. Alih-alih mendapatkannya, Hasjim justru ditanya balik oleh Bung Hatta.
“Mengapa tidak Hasjim minta pada presiden direktur Chrysler saja?” kata Bung Hatta.
“Akan memakan waktu lama, Oom,” jawab Hasjim menjelaskan lamanya proses surat-menyurat formal Indonesia-AS saat itu yang bisa memakan waktu sebulan.
“Tidak mengapa menunggu.”