Bersahabat dengan Bung Karno membuat Hasjim Ning, pengusaha yang merupakan keponakan Bung Hatta, tahu begitu besar rasa kemanusiaan yang dimiliki sang presiden. Rasa kemanusiaan itu membuat Bung Karno kerap legawa memaafkan lawan-lawan politiknya. Hasjim dapat menyaksikan langsung karena kerap diminta menemani presiden ngobrol dalam sarapan atau resepsi-resepsi lain di Istana.
Salah satu peristiwa berkaitan dengan hal itu yang diingat Hasjim terjadi pada suatu siang di tahun 1960-an. Saat itu Hasjim diajak makan oleh Bung Karno. Melihat Bung Karno sedang senang, Hasjim pun membuka pembicaraan soal Des Husein, istri Kolonel Ahmad Husein. Kata Hasjim, beberapa waktu sebelunya Des Husein datang menemuinya dan minta agar diusahakan bisa menemui Bung Karno untuk membicarakan nasib A. Husein suaminya.
Ahmad Husein merupakan panglima Dewan Banteng yang menjadi kekuatan utama PRRI dalam memaksakan tuntutannya kepada pemerintah pusat pada 1958. Penggunaan senjata oleh PRRI dianggap sebagai pemberontakan oleh pemerintah pusat sehingga dijawab dengan menggelar operasi militer –Operasi Tujuh Belas Agustus. Setelah secara militer PRRI dapat dikalahkan, satu per satu pemimpinnya memilih kembali ke pangkuan republik. Ahmad Husein termasuk di dalamnya.
“Pemerintah pusat bergembira karena Achmad Husein telah menyerah tanggal 23 Juni lalu,” tulis wartawan Rosihan Anwar dalam Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961-1965.
Baca juga: Meriam PRRI yang “Bikin Ngeri” A. Yani
Para pemimpin PRRI itu lalu menjalani “rehabilitasi” di Jakarta. Husein tak terkecuali. Hal itu membuat Des Husein perlu membicarakannya dengan presiden. Untuk itulah Des Husein menemui Hasjim.
Meski tak menjanjikan akan menolong, Hasjim bertekad untuk membantu Des Husein. “Maka ketika makan (siang, red.) itu aku bertanya apakah Bung Karno kenal dengan Des Husein,” kata Hasjim dalam dalam otobiografinya yang ditulis AA Navis, Pasang Surut Pengusaha Pejuang.
“Des Husein? Siapa itu?” kata Bung Karno balik bertanya pada Hasjim.
“Istri A. Husein.”
“Mengapa dia?”
“Katanya dia mau datang menemui Bapak?”
“Oh, suruh dia datang. Aku senang pada itu anak. Dulu waktu ibuku sakit dan dirawat di St. Carolus, dia yang merawat. Karena mengantuk oleh sebab kurang tidur menjaga ibuku, ketika ia pulang, tahunya ditabrak oleh trem. Suruh dia datang ke sini,” kata Bung Karno pula.
Jawaban Bung Karno membuat Hasjim lega. Beberapa waktu kemudian, istri A Husein pun menemui presiden di Istana. Hasjim tak tahu bagaimana kelanjutan ceritanya karena dia tak ada di sana waktu pertemuan terjadi.
Itu jelas bukan satu-satunya pengalaman Hasjim melihat kemurahan hati sahabatnya. Tentu yang paling sering disaksikan langsung Hasjim adalah perhatian Bung Karno kepada Bung Hatta –begitu pula sebaliknya. Namun kepada lawan politik yang paling keras pun Bung Karno tak pernah ragu memberi bantuan pribadi. Ketika mantan Perdana menteri Sjahrir sakit keras dan perlu dirawat ke luar negeri, Bung Karno membiayai pengobatannya ke Swiss. Hasjim tahu sejak awal lantaran Nyonya Sjahrir meminta bantuan Hasjim.
Para pemimpin PRRI seperti M. Natsir atau Sjafruddin Prawiranegara pun diterima sebagai sahabat setelah kembali ke republik. Bahkan kepada keluarga Sjafruddin yang menderita ketika sang kepala keluarga ditahan, Bung Karno memberi dua mobil untuk mobilitas keluarga mereka.
Baca juga: Nasib Keluarga Ketika Sjafruddin Prawiranegara Dipenjara
Dalam kaitan dengan pengampunan tokoh-tokoh yang terlibat PRRI itulah Hasjim kembali melihat bagaimana Bung Karno merespon permintaan maaf dari lawan politiknya. Itu terjadi pada 1966 ketika kekuasaan Bung Karno telah jauh berkurang akibat G30S. Saat itu Hasjim sedang di Istana menemani presiden yang kemudian menerima Jaksa Agung Soegih Arto. Saat sedang menerima jaksa agung itulah Bung Karno kedatangan tamu seorang perempuan.
Nyonya Nawawi, tamu itu, datang bersama saudaranya untuk meminta pengampunan presiden atas keterlibatan suaminya dalam PRRI. Mayor Nawawi merupakan wakil kepala staf TT II Sumatera Selatan pada masa kepemimpinan Panglima Kolonel Barlian. Nawawi diutus Barlian mewakilinya ke Jakarta untuk memenuhi panggilan KSAD sehubungan dengan meningkatnya gerakan daerah terhadap pemerintah pusat. “Akan tetapi apa yang dilakukan Nawawi setelah itu bukanlah pergi ke Jakarta, melainkan kabur ke Prabumulih bersama anak buahnya dengan membawa senjata lengkap. Peristiwa itu membuat situasi di TT-II menjadi goncang,” kata Ibnu Sutowo, panglima TT-II sebelum Barlian, dalam biografi yang ditulis Mara Karma, Ibnu Sutowo Mengemban Misi Revolusi.
Setelah PRRI dihancurkan pemerintah, Nawawi menyerah dan ditahan di Jakarta. Karena itulah istri Nawawi perlu menghadap presiden. Ketika diterima Bung Karno, Nyonya Nawawi menangis memohon maaf presiden.
Presiden pun langsung menanyakan Hasjim. “Apa jij kenal perempuan yang lagi menangis itu?”
“Kenal, Pak. Ia istri Nawawi. Dahulu, waktu Bapak di Bengkulu, ia sering menating air buat Bapak. Ia termasuk kerabat Ibu Fatmawati,” jawab Hasjim yang kenal baik dengan Nyonya Nawawi.
Mendapat keterangan Hasjim, Bung Karno langsung bertanya kepada jaksa agung untuk mencari solusi. “Apa keberatannya kalau Nawawi dibebaskan?”
“Tidak ada keberatannya, Pak,” jawab Jaksa Agung Sugih Arto.
Tak lama kemudian, Nawawi pun bebas.