BEGITU malam tiba, 20-30 perempuan keluar dari rumah masing-masing. Di bawah cahaya rembulan, mereka saling bergandengan tangan lalu berjalan keliling. Sebaris tembang keluar dari mulut pemimpin mereka dan segera diikuti yang lainnya. Mereka menyambangi rumah sanak-famili, orang-orang kaya, dan orang-orang terpandang. Uang kepeng dan bermacam barang lain menjadi buah tangan yang mereka bawa pulang.
Para perempuan Jawa kuno itu rutin menggelar seni hiburan bernama “musik dalam cahaya bulan”. Aktivitas mereka tercatat dalam berita Tiongkok Ying yai Sheng-lan (1416 M), dan menjadi bukti perempuan sudah berkiprah di ranah publik. Mereka tak hanya menjadi penonton, tapi juga aktif sebagai aktor/pemain. Banyak pula yang menjadi pemain seni pertunjukan untuk mencari nafkah.
Data-data artefaktual setali tiga uang. Perempuan mempertunjukkan keahliannya bukan hanya di ruangan seperti dalam pesta-pesta kaum bangsawan tapi juga di jalan. Selain tari-tarian, mereka membawakan pertunjukan sulap seperti digambarkan pada relief Candi Borobudur.
Bukan hanya di bidang seni-budaya. Perempuan pada masa Jawa Kuna (8-15 M) juga berkiprah di bidang kehidupan lainnya, dari agama hingga politik.
Baca juga: Bukan Raden Ayu Lemah Lembut
Tak Ada Larangan
Tak ada aturan yang melarang perempuan memegang jabatan politik. Kendati tak sebanyak laki-laki, perempuan dapat menduduki jabatan pada struktur birokrasi paling rendah di pedesaan hingga jabatan tertinggi (raja).
Prasasti Mulak I (878 M) menyebut adanya seorang perempuan yang menduduki jabatan tuhalas, pejabat desa yang bertugas mengawasi hutan. Sementara untuk jabatan tertinggi, dari 52 penguasa sepanjang tujuh abad periode Jawa Kuna, tiga di antaranya perempuan. Prasasti Silet (1019 M) dan Prasasti Pucanan (1037 & 1041 M), misalnya, menyebut nama Sri Isanatunggawijaya, putri Mpu Sindok yang menduduki tahta kerajaan Medang –perempuan pertama yang menjadi ratu di Jawa. Menurut Titi Surti Nastiti, penulis buku ini, kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Jawa Kuna berakar pada budaya yang tak membedakan hak waris.
Di bidang hukum, Prasasti Guntur (907 M) menyebut adanya perempuan yang menjadi saksi dan pemutus suatu perkara. Pada masa Hayam Wuruk memerintah Majapahit, perempuan dilibatkan dalam Dewan Pertimbangan Kerajaan, yang terdiri dari raja, permaisuri, ayah-bunda raja, paman raja, dua adik perempuan raja beserta suami mereka.
Perempuan juga bergerak di bidang ekonomi. Di pasar-pasar, perempuan dari kalangan rakyat biasa bukan hanya bertindak sebagai pembeli tapi juga penjual. Beberapa di antaranya menjadi saudagar, yang melakukan perniagaan bukan hanya di tingkat desa tapi juga regional dan internasional. Hal itu bisa dilihat dari istilah banigrami atau saudagar perempuan dalam relief Jatakamala yang terdapat pada Candi Borobudur.
Kendati tak disebutkan adanya pejabat keagamaan perempuan, kaum perempuan memainkan peranan dalam bidang agama. Prasasti Taji (901 M) menyebut adanya warga desa laki-laki dan perempuan yang membeli tanah bagi s?ma suatu bangunan suci. Ada juga perempuan yang menjadi pertapa hingga biksuni. Kisah Arjunawiwaha di Candi Jago menggambarkan perjalanan Arjuna ke Gunung Indrakila yang ditemani dua pendeta perempuan. Ketika terpaksa menginap di sebuah pertapaan, mereka diterima pendeta perempuan bernama Mahayani.
Pembagian Kerja
Kesadaran gender memunculkan pembagian kerja secara seksual. Di kalangan petani, misalnya, pekerjaan berat seperti membajak atau mencangkul biasanya dilakukan lelaki, sementara pekerjaan ringan seperti menanam bibit atau memanen dikerjakan perempuan. Kendati demikian, tulis Titi, pembagian pekerjaan itu bukan berarti kelompok yang satu mendominasi yang lain tapi justru saling melengkapi. Pembagian kerja secara seksual juga tidak selalu baku. Sejumlah relief menggambarkan laki-laki sedang memasak dalam kesempatan-kesempatan tertentu.
Menariknya, Titi juga menunjukkan kedudukan perempuan tak selalu setara dengan lelaki. Ada beberapa aspek yang tidak setara, baik lebih tinggi atau lebih rendah.
Seorang istri bisa mempunyai kekuasaan lebih tinggi dari suaminya. Ini bisa dilihat dalam kasus Wikramawarddhana. Saat belum menjadi raja, dia mengeluarkan Prasasti Patapan II (1385 M) dan Prasasti Tirah atau Karang Bogem (1387 M) dengan memakai lambang daerah Lasem yang merupakan daerah kekuasaan Kusumawarddhan?, istrinya. Hal ini mencerminkan kekuasaan Kusumawarddhan? lebih besar dari Wikramawarddhana. Hal yang sama terjadi pada Bhre Wirabh?mi yang mendapat gelar dari istrinya, N?garawarddhan?.
Kedudukan perempuan juga bisa lebih rendah dari laki-laki. Di bidang agama, jabatan pemimpin agama (kawi) merupakan hak kaum pria. Di bidang sosial, poligami, pelacuran dan pelecehan seksual disahkan oleh penguasa. Lalu ada kebiasaan yang mengharuskan seorang istri ikut mati apabila suaminya meninggal lebih dulu (bela atau sati).
“Apabila ditelusuri asal mula dari adat istiadat yang menyebabkan adanya ketidaksetaraan maka dapat diketahui bahwa semua itu berasal dari kebudayaan India,” tulis Titi.
Kendati mengadopsi kebudayaan India, masyarakat Jawa Kuna melakukan penyesuaian dengan budayanya. Seperti disebutkan berita Portugis, laki-laki bangsawan juga melakukan bela atau sati sebagai tanda setia kepada rajanya –hal yang tak didapatkan di India. Dalam masalah hukum, hukuman yang dijatuhkan kepada laki-laki yang melakukan pelecehan seksual lebih berat daripada aturan-aturan dalam perundang-undangan di India.
Baca juga: Kolonialisme Hancurkan Kedudukan Perempuan
Mitra Sejajar
Buku ini merupakan disertasi penulisnya di Universitas Indonesia. Titi mengkaji kedudukan dan peranan perempuan pada masa Jawa Kuna dengan rentang waktu sekira tujuh abad, dari masa Mataram Kuno hingga akhir Majapahit, dengan menggunakan data tekstual (prasasti, teks sastra/hukum, berita asing) maupun artefaktual (arca, figurin, dan relief).
Titi, yang kini menjadi peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, menyimpulkan adanya kesetaraan hampir di semua aspek kehidupan masyarakat. Perempuan masa itu menjadi mitra yang sejajar dengan laki-laki. Mereka dapat bergerak di ranah domestik sekaligus publik.
Ada banyak hal menarik yang diungkap dalam buku ini. Sayang, ada sedikit keteledoran dalam fakta. Pada halaman 274, Titi menyebut kaum lelaki duduk mengobrol sambil minum teh atau kopi serta membakar hasil kebun seperti ketela atau singkong. Bukankah kopi baru masuk ke Nusantara di pengujung abad ke-17 dan singkong pada abad berikutnya? Namun, tiada gading yang tak retak. Buku ini tetap layak dibaca untuk memahami fenomena historis tanah Jawa dan relasi perempuan-lelaki.*