Kamis, bulan Sawal, hari keduapuluh tujuh, pas asar, gubernur dan para pegawai Kompeni datang ke Mangkunegaran. Kanjeng Pangeran Dipati pun pergi ke loji untuk menyambutnya. Ia membawa prajurit perempuan.
Mereka mengenakan keris dengan cara Bali, yang dihiasi bordiran daun-daun emas, mengenakan ikat pinggang berbordir emas. Pakaian mereka berkilauan.
Mereka yang pergi lebih dulu adalah prajurit Nyutrayu, berjalan kaki membawa busur dan panah. Kemudian prajurit Jayengesta, tidak berpakaian semestinya. Kemudian Pangeran Dipati dikawal secara resmi oleh prajurit perempuan yang tak ada bandingannya.
Begitulah penulis buku harian menggambarkan para prajurit éstri dalam sebuah upacara penyambutan seorang gubernur dari pesisir timur di Pura Mangkunegaran. Ann Kumar, sejarawan Australian National University, dalam Prajurit Perempuan Jawa mencatat, buku harian ini adalah salah satu sumber paling penting tentang keberadaan korps perempuan yang berasal dari keraton Jawa.
Baca juga: Perempuan-Perempuan Bersenjata
Buku harian itu ditulis seorang anggota prajurit éstri Mangkunegaran pada dasawarsa terakhir pemerintahan Mangkunegara I yang bertakhta sejak 1757-1795. Sayangnya, penulis tak menyebut namanya di buku hariannya.
Peter Carey, sejarawan asal Inggris, dalam Perempuan-Perempuan Perkasa berpendapat, keberadaan prajurit éstri di lingkungan keraton Jawa membuktikan kalau citra raden ayu yang lemah lembut dalam literatur kolonial perlu direvisi. Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, bahkan pejabat senior VOC yang terlatih secara militer mengaku keheranan atas keterampilan prajurit éstri sebagai prajurit berkuda.
Salah satunya, Jan Greeve, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa yang menjabat 1787-1791. Catatannya mengonfirmasi tulisan dalam buku harian itu. Greeve menulis di buku hariannya soal kunjungan ke Surakarta pada 31 Juli 1788. Dia disambut di Loji Belanda dan di kediaman Mangkunegaran. Dia menyaksikan prajurit perempuan menembakkan salvo dengan teratur dan tepat sehingga membuatnya kagum. Mereka melakukannya sambil menembakkan senjata tangannya sebanyak tiga kali dengan sangat tepat diikuti tembakan senjata kecil lainnya yang diletakkan di samping mereka.
“Keterampilan Korps Srikandi dalam menggunakan bedil bertolak belakang dengan pasukan laki-laki istana, yang terkenal kurang terlatih menggunakan senapan laras panjang dan artileri,” tulis Carey.
Baca juga: Nasib Prajurit Perempuan
Tak cuma di Mangkunegaran, dua dasawarsa kemudian, 30 Juli 1809, Marsekal Herman Willem Daendels yang menjabat Gubernur Jenderal pada 1808-1811, mengunjungi Yogyakarta untuk pertama kali. Dia sempat menyaksikan pertandingan atau perang-perangan 40 pasukan prajurit éstri kesayangan sultan di alun-alun selatan.
Menurut Babad Pakualam, Sang Marsekal, seorang veteran Perang Revolusi Perancis dan Perang Napoleon, mengungkapkan kekagumannya. Betapa perempuan sanggup menunggang kuda sambil menggunakan bedil dengan begitu tangkasnya.
“Orang pun bertanya-tanya, apakah Sang Gubernur Jenderal pemuja kejantanan itu sadar bahwa perempuan wirayuda itu bukan sekadar pamer, melainkan memiliki kemampuan tempur hebat,” ujar Carey.
Seragam resmi prajurit éstri tak dibedakan dengan pakaian bangsawan laki-laki Jawa ketika bertempur, yaitu berupa pakaian prajuritan.
“Pada awal Perang Jawa, beberapa jasad pasukan mantan prajurit éstri yang bergabung dengan Diponegoro ditemukan di medan perang dalam pakaian lengkap prajuritan," tulis Carey.
Baca juga: Ketika Inggris Membumihanguskan Keraton Yogya
Di luar keprajuritan pun banyak cerita perempuan-perempuan Jawa yang tak kenal takut dalam situasi perang. Contohnya, ketika Inggris menyerbu Keraton Yogyakarta pada 20 Juni 1812. Perwira yang tewas dalam peristiwa itu adalah seorang letnan Skotlandia dari pasukan resimen infanteri Inggris, Lettu Hector Maclean. Dia ditikam oleh seorang putri keraton karena hendak menjadikannya pampasan perang.
Lalu pada akhir Perang Jawa, ibu seorang panglima utama Diponegoro di Bagelen timur, Basah Joyosundargo, dilaporkan menolak ikut putra dan menantunya menyerah. Dia terpaksa ditembak mati oleh pasukan Belanda ketika tempat persembunyiannya di kawasan Gunung Persodo digerebek.
Ada juga perempuan-perempuan yang bertindak sebagai panglima dalam Perang Jawa yang mampu berlaku kejam. Menurut Carey, dalam laporan khusus seorang Residen Yogyakarta (1831-1841), Frans Gerhardus Valck, disebutkan mereka merupakan istri pembesar Jawa. Dua di antaranya adalah Raden Ayu Yudokusumo, putri sultan pertama dan Raden Ayu Serang, mantan istri sultan kedua.
Baca juga: Panglima Wanita Perang Jawa
Begitu juga para perempuan yang membantu menyediakan mesiu di desa-desa sebelah barat Yogyakarta. Mereka berjasa mendatangkan uang kontan dan barang berharga ke daerah-daerh peperangan.
Pun mereka yang yang ditemukan tewas mengenakan seragam tempur dalam pengepungan di Yogyakarta pada Agustus 1825. “Mereka sama sekali bukanlah para Raden Ayu yang tersipu-sipu dalam karya sastra rekaan kolonial Belanda akhir abad ke-19 dan mereka berlaku sebagai Srikandi tatkala Indonesia mempertahankan kemerdekaannya pada pertengahan abad ke-20,” jelas Carey.