“Perhatian! Penulis adalah seorang penulis dan prajurit perempuan yang menyelesaikan cerita Babad Tutur pada Bulan Siam, hari ke-22, masih dalam tahun Jimawal 1717 di Kota Surakarta.”
Demikianlah pengumuman penulis buku harian yang identitasnya misterius. Dia hanya menyebut bagian dari prajurit éstri di Pura Mangkunegaran. Dia menulis buku hariannya pada dasawarsa terakhir pemerintahan Mangkunegara I yang bertakhta sejak 1757-1795.
Peter Carey, sejarawan asal Inggris, dalam Perempuan-Perempuan Perkasa berpendapat, keberadaan prajurit éstri di lingkungan keraton Jawa membuktikan kalau citra raden ayu yang lemah lembut dalam literatur kolonial perlu direvisi. Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, bahkan pejabat senior VOC yang terlatih secara militer mengaku keheranan atas keterampilan prajurit éstri sebagai prajurit berkuda. Namun, selain mereka terampil menggunakan senjata dan berkuda, tak banyak yang bisa diketahui lagi.
Baca juga: Perempuan-Perempuan Bersenjata
Ann Kumar dalam Prajurit Perempuan Jawa menjelaskan, Rijklof van Goens, duta besar luar biasa VOC, yang diutus ke Keraton Mataram lima kali pada pertengahan abad ke-17 mencatat, sekira 150 perempuan muda tergabung dalam korps prajurit éstri. Para prajurit itu tidak hanya dilatih memainkan senjata, tetapi juga menari, menyanyi, dan memainkan alat musik.
Tarian Retno Tinandhing diilhami gerak tempur prajurit éstri hingga kini masih digelar di Keraton Surakarta.
“Van Goens tidak pernah menuliskan bahwa mereka juga mendalami sastra. Namun bagi orang asing mungkin keahlian seperti itu tidak akan gampang terlihat,” tulis Ann Kumar.
Di lingkungan Keraton Yogyakarta, Carey menulis, pengerahan dan pelatihan prajurit éstri menjadi semacam obsesi Sultan kedua. Ibundanya, Ratu Ageng (1732-1803), permaisuri Sultan pertama dan ibu tiri Pangeran Diponegoro, pernah menjadi komandan pertama Korps Srikandi pada awal Keraton Yogyakarta, setelah November 1755.
Baca juga: Panglima Wanita Perang Jawa
Kebanyakan anggota prajurit srikandi itu terdiri dari putri-putri tercantik di kerajaan. Anggotanya biasanya direkrut dari putri pejabat daerah, seperti lurah atau demang, setingkat kecamatan atau kabupaten. Nantinya sebagai pasukan perempuan yang mengawal raja, mereka diberi gelar Abdi-Dalem Priyayi Manggung atau Prajurit Keparak éstri. Mereka juga disebut Pasukan Langenkusumo.
Sayangnya terkadang para anggota prajurit itu dipilih dengan cara licik. Menurut sumber Jawa, kata Carey, banyak sekali suami dan ayah di kesultanan pada akhir abad ke-18 mengeluhkan soal perekrutan ini. Sebab istri-istri muda dan putri-putri cantik mereka dipaksa menjadi prajurit éstri oleh sultan kedua, pada masa akhir dia menjabat Putra Mahkota.
Meski kecantikan fisik menjadi salah satu unsur yang penting dalam perekrutan, para prajurit perempuan ini jarang diambil sebagai selir raja. Mereka justru lebih sering dihadiahkan kepada bangsawan untuk dijadikan istri.
Baca juga: Para Prajurit Janda
Kendati begitu, Ann Kumar mencatat, sebagai istri bangsawan, mereka dianggap lebih beruntung daripada menjadi selir raja. Selir raja tidak boleh menerima tawaran pernikahan selama raja masih hidup. Bahkan seringkali tetap tak boleh meski raja telah meninggal.
Bahkan menurut François Valentijn, seorang misionaris, ahli botani, dan penulis buku, bahwa di istana Mataram di Kartosuro pada awal abad ke-18, dia menyaksikan perempuan-perempuan muda mantan prajurit estri yang dijadikan istri bangsawan itu tampak bersemangat dan bangga ketika dihadiahkan. Pasalnya mereka menyadari suami priayi agung mereka tak bakal berani memperlakukan mereka secara buruk. Si suami pasti takut raja murka.