MAKAM itu bentuknya lain dari makam-makam yang lain di Pancana, Tanette, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Makam itu menyerupai bangunan kecil, seperti makam-makam pembesar Eropa. Namun, yang dimakamkan di dalamnya bukanlah pejabat Eropa, melainkan seorang perempuan. Dia adalah ratu di Tanette yang dulu sangat sohor meski wilayah kerajaannya tak besar.
Ratu itu bernama La Rumpang Megga Dulung Lamuru. Ia berkuasa di Tanette sedari tahun 1840 hingga 1855. La Rumpang adalah pengganti La Patau (1829-1840), yang tak berkuasa lagi setelah melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
La Rumpang punya dua cucu. Seorang laki-laki bernama La Makkawaru dan seorang perempuan bernama We Tenriolle alias Siti Aisyah. Bila mengacu pada kebiasaan umum bahwa pengganti penguasa biasanya seorang laki-laki, mestinya yang bakal naik takhta adalah La Makkawaru. Namun, rupanya La Makkawaru punya tabiat suka berjudi dan madat. Maka, We Tenriolle pun dianggap layak menjadi Datu atau Raja di Tanette.
Baca juga: Colliq Pujie Pencipta Aksara Perjuangan Kaum Bugis
We Tenriolle, seperti dicatat D.A.F. Brautigam dalam Nota Betreffende Het Zelfbestuurend landschap Tanette, naik takhta berkat usulan kakeknya, La Rumpang. Putri dari La Tunampare' alias To Apatorang gelar Arung Urung dan Colliq Pudjie gelar Arung Pancana itu menjadi penguasa Tanette sejak 1856 hingga 1910.
Tak semua anggota keluarganya setuju atas pengangkatan We Tenriolle sebagai raja. Colliq Pudjie termasuk yang tampak tak ingin We Tenriolle berkuasa. Namun, pemerintah kolonial tak mempermasalahkannya sehingga membiarkan We Tenriolle jadi raja. Maka, We Tenriolle tetap menjadi penguasa Tanette sejak 1856-1910. Salah satu akibat dari berkuasanya We Tenriolle, ibunya yang tak suka terpaksa tinggal di Makassar.
“Ketika We Tenriolle menjadi kepala negara, Kerajaan Tanette terdiri dari sejumlah banua (daerah) yang masing-masing seolah-olah berdiri sendiri di bawah pemerintahan seorang kepala pemerintahan sendiri, dan beberapa palili atau daerah vasal,” catat Harsya Bachtiar dalam "Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita" termuat di Satu Abad Kartini.
Menurut catatan J.A. Bakkers dalam Tanette en Barroe (Celebes), luas Tanette kira-kira 61.180 hektar. Pada 1861, penduduknya sekitar 13.362 jiwa.
Baca juga: Seberapa Mahal Meminang Perempuan Bugis?
We Tenriolle tak kalah dari suaminya, La Sangadji Unru gelar Datu Bakka dari Soppeng. We Tenriolle cukup dipandang oleh orang-orang Belanda. Orang-orang Belanda biasa memanggilnya Tante Netje. We Tenriolle dianggap sebagai raja yang cukup modern di masanya. Tak banyak raja di Indonesia yang sepertinya.
Kemodernan We Tenriolle dibuktikan salah satunya dari upayanya membangun sekolah di wilayahnya sekitar tahun 1908. Sekolah itu untuk anak perempuan dan laki-laki. Selain itu, seperti ibunya, We Tenriolle punya minat dalam kesusastraan kuno Bugis. Keduanya berkontribusi dalam memperkenalkan karya sastra La Galigo.
We Tenriolle turun takhta pada 1910. Jadi, dia berkuasa sekitar 54 tahun. Cukup lama untuk ukuran kekuasaan di Indonesia. Dia kemudian menjalani masa tuanya hingga meninggal dunia pada 1919. Setelah meninggal, jenazahnya dimakamkan di daerah Pancana. Makam itu belakangan menjadi besar mirip makam raja-raja Sulawesi Selatan.*