PUKUL tiga dini hari Sabtu, 20 Juni 1812, keheningan mencekam menyelimuti Keraton Yogyakarta. Meriam di Benteng Vredeburg tak lagi memuntahkan api. Ini bukan situasi yang disyukuri, karena sejam setelahnya, dua jam sebelum fajar menyingsing, perintah serangan dikeluarkan ke berbagai komandan kolom di pihak Inggris.
Kedatangan Inggris pada 1812 yang menempatkan Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal membawa pengaruh besar terhadap kedudukan Sultan Hamengkubuwono II (Sultan Sepuh). Ia ingin memulihkan hak Raja Jawa yang dulunya tak didapatkan ketika Daendels berkuasa. Namun, rupanya Raffles tak jauh berbeda dari Daendels.
Permintaan HB II mengganti kedudukan Putra Mahkota dari Raden Mas Surojo (HB III) menjadi Mangkudiningrat pun ditolak. Inggris lebih memilih Raden Mas Surojo untuk naik takhta karena ia dinilai lebih ramah dan penurut dibanding ayahnya. Inggris tak ingin mengambil risiko terjadi konflik di kemudian hari yang merepotkan pihaknya. Hal itulah yang kemudian berujung penyerbuan Inggris ke Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Para penyerbu itu datang dari Benteng Vredeburg. Inggris membentuk tiga pasukan yang digerakkan untuk menyerbu masuk Keraton. Pertama, Batalion Sukarelawan Benggala ke-3 di bawah Letnan Kolonel James Dewar dan korps Pangeran Prangwedono, Legiun Mangkunegaran. Mereka berjalan memutar benteng keraton ke arah gerbang selatan. Sasarannya adalah musuh yang katanya ada di luar Gerbang Nirboyo (Plengkung Gading).
Kedua, Inggris membentuk serangan bayangan dari arah utara. Serangan ini dilancarkan Batalion Sukarelawan Benggala ke-4, di bawah Mayor Peter Grant. Mereka masuk persis ke hadapan Pagelaran, pintu masuk ke keraton.
Ketiga, pasukan yang dipimpin Letnan Kolonel James Watson ini bertugas melancarkan serangan utama. Dalam diam mereka bergerak di sekitar benteng timur laut. Fajar belum turun, sehingga kegelapan melingkupi pergerakan pasukan ini. Sampai ke titik di dinding benteng keraton sebelah timur, mereka pun mulai menaiki tangga yang telah disediakan Kapitan Cina, Tan Jin Sing.
Hanya tiga jam, hingga keraton benar-benar hancur dan akhirnya Inggris berhasil melucuti kedudukan Sultan Hamengkubuwono II yang ketika itu berkuasa. Sejarawan Peter Carey mengatakan serangan Inggris tak terduga. Kedatangan mereka merangsek keraton tak terdeteksi, sebab fajar pun belum datang. Itu meski beberapa kali serangan kecil sudah terjadi dari arah Benteng Vredeburg.
Belum lagi keberadaan serdadu Sepoy yang menurut Peter membuat orang-orang Jawa ketakutan. "Raffles bilang cukup untuk dua resimen Inggris dan lima Batalyon Sepoy dan berkat rasa takut yang mereka timbulkan di masyarakat Jawa dalam segala hal tidak lebih rendah dari serdadu Eropa," kata Peter dalam Tur Sejarah "Jejak Inggris di Jawa 1811-1812, di Yogyakarta, Rabu (30/8).
Wilayan Kadipaten termasuk yang terbanyak menerima serangan. Serangan itu membuat penghuninya, termasuk Putra Mahkota yang kemudian diangkat menjadi HB III dan putranya, Pangeran Diponegoro, berlarian ke dalam baluwerti menuju arah Taman Sari melalui Jalan Ngasem.
"Waktu rombongan dari Kadipaten ingin ke Taman Sari ada banyak plengkung dan gapura yang tertutup dengan bangkai kuda," ujar Peter.
Bukan hanya bangkai kuda, mayat-mayat korban serangan itu bergeletakan menumpuk di benteng, di setiap sudut gerbang, dan terutama di gerbang utama yang menghadap alun-alun utara. Inggris kehilangan 23 orang selama serangan sejak pukul 05.00 hingga 08.00 pagi itu, 78 lainnya terluka.
Itu tak seberapa dibanding pihak Jawa. Seribu pasukan Inggris-Sepoy terlibat dalam operasi itu bisa dikatakan cukup untuk menekan pasukan Jawa. "Untuk Jawa, ribuan korban," jawab Peter.
Sultan Sepuh ditangkap. Belum cukup dengan itu, tentara menjarah keraton besar-besaran. Peti berisi harta benda dari keraton hilir mudik diangkut dengan gerobak melalui alun-alun sampai empat hari lamanya. Nilainya melebihi 120 juta dolar AS di masa kini.
Jarahan diangkut ke kepatihan. Lalu semua yang berharga seperti manuskrip dibawa ke Rustenburg (keresidenan). Hasil jarahan itu dibagikan antara perwira, serdadu Inggris-India.
"Di dalam keresidenan (jarahan –red.) disortir semua," kata Peter.
Sementara kemenangan ini juga tidak diabaikan Raffles. Ia pun menulis dari Semarang pada 25 juni 1812 kepada Lord Minto. Katanya, ini adalah pertama kalinya kekuasaan Eropa berjaya di Jawa.
"Sampai saat ini kita belum pernah bisa menyebut diri kita sendiri penguasa dari provinsi-provinsi yang paling berharga di bagian dalam, apalagi milik kita di pantai laut selama ini selau tidak menentu," kata Peter mengutip surat Raffles.
Usah Keraton Yogya takluk, Sultan HB II diasingkan ke Pulau Pinang (Penang, Malaysia -red) (1812-1815). Putra sulungnya, kemudian diangkat menjadi HB III (Sultan Raja) yang bertahta hanya dua tahun setelah pengangkatan.
"Pengangkatan terjadi lima hari setelahnya. Waktu itu api masih belum sepenuhnya padam di keraton," ucap Carey di depan Benteng Vredebrug.
Menurut Peter hal itu merupakan pondasi dari satu dunia yang baru. Waktu itu tak ada lagi kedaulatan Yogyakarta, Banten, Bone, dan sebagainya sebagai kekuatan pribumi. Penguasa lokal sejak itu harus menerima perwakilan residen sebagai perwakilan dari Batavia. Mereka dilarang membuat perjanjian dengan dunia luar tanpa melalui pemerintah pusat.
“Saya juga tak lagi harus turun dari kuda jika akan melewati keraton,” kata Peter berseloroh tentang penaklukan yang dilakukan Inggris atas Yogyakarta.