SUATU siang di masa pendudukan Jepang, Djohan Sjahroezah berkunjung ke rumah Mohammad Hatta. Saat itu, Hatta sedang mencatat daftar uang bantuan yang dikeluarkannya untuk Sutan Sjahrir pada sebuah notes kecil. Djohan kaget. “Bung, kan berbahaya mencatat hal itu! Kalau Jepang tahu, kan Bung jadi korban,” ujar Djohan mengingatkan, sebagaimana ditulis A.R. Baswedan dalam Pribadi Manusia Hatta, seri 8.
Riadi Ngasiran, penulis buku ini, mengutip kisah tersebut untuk menggambarkan ketokohan Djohan dalam dunia pergerakan bawah tanah. Meski tak banyak orang tahu siapa Djohan dan peran dunia pergerakan bawah tanah, keduanya punya peran penting dalam membidani kelahiran Republik Indonesia.
Djohan, pria kelahiran Muara Enim, 26 November 1912 itu mengenyam pendidikan di zaman Belanda. Pemahaman politiknya makin berkembang setelah dia melanjutkan pendidikan di Bandung dan kemudian Batavia. Tulisan-tulisan Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir –yang merupakan pamannya– menjadi “santapan rohani” baginya.
Djohan juga kerap mengikuti kursus-kursus politik yang diadakan Golongan Merdeka (kelompok yang terdiri dari para penentang pembubaran PNI). Selain aktif dalam berbagai organisasi, dia berkenalan dengan banyak aktivis macam Maroeto Nitimihardjo, Wilopo, dan Pandu Kartawiguna. Keterlibatannya di PNI-Pendidikan juga membuatnya kian dekat dengan Sjahrir dan Hatta. Di PNI-Pendidikan, Djohan sempat menjadi sekretaris Hatta.
Baca juga: Djohan Sjahroezah, Seorang Liyan di Bawah Panggung Pergerakan
Sebagaimana umumnya aktivis perjuangan kemerdekaan di zaman itu, Djohan aktif menulis di berbagai media, seperti di Daulat Ra’jat atau Indonesia Raja. Karena tulisannya, dia harus meringkuk di Penjara Sukamiskin Bandung selama 18 bulan. Dia bahkan sempat menjalani ujian pendidikannya di penjara. Meski dinyatakan lulus, dia enggan melanjutkan pendidikan di Recht Hogeschool (Sekolah Tinggi Hukum di Batavia) lantaran adanya persyaratan harus meninggalkan dunia politik yang harus dia tandatangani.
Sjahrir, yang punya banyak kesamaan ideologi dengannya, memberi tugas kepada Djohan untuk mengorganisasi buruh dan menggalang kekuatan di mana pun dia berada. Misalnya, ketika di Surabaya, Djohan bekerja di BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij), dia mendirikan serikat buruh perminyakan di perusahaan minyak milik Belanda itu. Upaya seperti itu terus berjalan di banyak tempat yang dia singgahi. Di Yogyakarta, dia menggalang kelompok diskusi Pathuk bersama beberapa temannya, salah satunya Dajino, untuk menarik massa dan mendidik mereka tentang sosialisme dan perjuangan.
Menurut Riadi, sebetulnya Djohan adalah patron liyan di kalangan kaum sosialis selain Sjahrir. Djohan dan Sjahrir punya bentuk perjuangan yang berbeda meski sama-sama bergerak di bawah tanah melawan fasis. Djohan banyak terinspirasi Tan Malaka –seorang yang amat menginspirasinya tapi mengecewakannya di kemudian hari. Gaya perjuangan bawah tanahnya mirip spion meski Djohan tak sampai memakai nama samaran seperti Tan.
Kekaguman Djohan pada Tan membuatnya dekat dengan beberapa loyalis Tan Malaka seperti Sukarni dan Adam Malik. Bersama Adam Malik dan kawan-kawan, Djohan ikut membidani lahirnya kantor berita Antara. Djohanlah yang merebut gedung kantor Aneta di Jalan Pos Utara (kini bilangan Pasar Baru) untuk dijadikan kantor Antara.
Djohan berfungsi sebagai jembatan antara golongan sosialis dan Murba. Semasa Perang Kemerdekaan di Surabaya, dia mengundang dan menjamu Tan Malaka untuk melihat langsung perlawanan rakyat terhadap kolonialis Sekutu. Pengaruh Djohan pula yang akhirnya membebaskan Tan Malaka ketika ditangkap sekelompok polisi tentara karena tuduhan Tan Malaka palsu.
Baca juga: Jejak Langkah Sang Pengikut Tan Malaka
Sebagai orang bawah tanah, Djohan tak sembarangan memberi tahu alamat rumahnya dan tak pernah mencatat hal-hal penting yang membahayakan. Dalam dunia pergerakan bawah tanah, kerahasiaan sangat penting dijaga. Kabarnya, dia selalu membawa pil sianida yang siap ditelan apabila dalam keadaan terdesak musuh.
Pada era 1950-an, periode demokrasi liberal, Djohan aktif melakukan pengaderan di lingkungan PSI. Perjuangan itu terus berjalan meski PSI hanya mendapat suara kecil di Pemilu 1955. Sebagai jurnalis pun dia tetap produktif menulis dan mengkritik pemerintahan Sukarno yang dianggapnya mencederai demokrasi. Demokrasi Terpimpin ala Sukarno jadi sasaran tembak penanya.
Menurutnya, tindakan Sukarno dalam Demokrasi Terpimpin persis seorang tiran yang bakal membawa bangsanya ke dalam kehancuran. “Dari itu, rasanya tak jauh meleset, kalau dikatakan bahwa pengalaman yang pahit dan sedih itu berulang lagi dalam babak baru daripada perjalanan hidup bangsa kita!” tulis Riadi mengutip tulisan Djohan di majalah Sikap, “Babak Baru, Sejarah Berulang”.
Buku ini menyuguhkan pengetahuan kepada masyarakat tentang seorang tokoh yang tidak populer atau paling tidak seseorang yang mengambil jalan sunyi. Pilihan itu dilakoninya secara sadar tanpa menimbang pamrih. Djohan adalah sedikit contoh dari orang yang punya peran sejarah penting, tetapi tak tercatat di dalam buku pelajaran resmi sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah.
Lewat buku ini, Riadi juga memberi asupan tambahan bagi pengetahuan kita akan perjuangan kemerdekaan yang selama ini dimonopoli kisah heroik tentang para pemuda berbambu runcing yang berhasil mengusir tentara penjajah dari bumi pertiwi. Buku ini menunjukkan kepada kita, kelahiran Republik ini disebabkan jasa banyak kalangan, tak terkecuali para pejuang politik gerakan bawah tanah seperti Djohan.
Dari sisi kehidupan pribadi, Djohan adalah menantu Haji Agus Salim, tokoh gaek perjuangan kemerdekaan Indonesia. Djohan menikahi Jojet Salim, putri pertama Agus Salim.
Djohan Sebagai Sisipan
Sepinya buku sejarah dari peran penting yang dimainkan Djohan berbanding sejajar dengan kepribadiannya yang enggan dikenal. Dia, menurut Riadi, selalu rendah hati, terbuka, pendengar yang baik, tak pernah berprasangka apalagi memusuhi orang, dan mau menerima semua orang yang mendatanginya.
Namun, dalam penulisan kisah Djohan ini, alih-alih memanfaatkan semaksimal mungkin sosok Djohan untuk menjadikan karyanya sebuah epik, Riadi sepintas lalu tampak hanya menjadikan Djohan sebagai sisipan. Kisah Djohan hanya terselip di bagian pembuka dan penutup hampir semua bab yang ada di buku ini. Konsep Riadi dalam buku ini juga tak jelas apakah dia ingin menulis pribadi Djohan, perjuangan bawah tanah dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia, Djohan dalam perjuangan bawah tanah, atau perjuangan bawah tanah dari kacamata Djohan.
Baca juga: Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Buku
Kalau boleh menduga, agaknya Riadi mengalami problem kurangnya data-data mengenai sepak terjang Djohan. Itu bisa dimaklum, karena Djohan tokoh bawah tanah yang tak meninggalkan banyak catatan. Kalaupun ada kesaksian, kepada siapa pula Djohan menitipkan riwayatnya kecuali pada orang-orang segenerasi yang kemungkinan besar sudah tutup usia.
Akibatnya, selain menampilkan banyak pengulangan, buku ini sarat dengan pembahasan tak relevan semisal pembahasan mengenai Penjara Sukamiskin yang bertele-tele, kendati penjara itu sempat jadi tempat penahanan Djohan. Hal lain yang jadi catatan kritis dalam buku ini adalah penulis terlalu banyak beropini sehingga penilaian subyektif terhadap sosok Djohan mendominasi ketimbang pengungkapan fakta-fakta sejarah di seputar kehidupan Djohan.
Kalau tugas biografi adalah mengungkapkan sisi kehidupan seorang tokoh sampai ke kamar tidurnya, maka buku ini gagal memenuhi tugas itu. Buku ini lebih terlihat mengambil peran sebagai medium untuk memperkenalkan nama Djohan dan lakon sejarahnya kepada publik. Dan tak ada yang salah tentang itu. Karena bagaimana pun juga, Djohan memang punya lakon dalam sejarah di republik ini.*
Majalah Historia No. 24 Tahun II 2015
Data buku:
Judul: Kesabaran Revolusioner Djohan Sjahroezah: Pejuang Kemerdekaan Bawah Tanah. Penulis: Riadi Ngasiran. Penerbit: Penerbit Buku Kompas. Terbit: 2015, cetakan pertama. Tebal: xlvi + 418 halaman.