DARI sekian banyak sejarawan asing atau Indonesianis yang meriset dan membukukan studinya tentang revolusi kemerdekaan Indonesia, David van Reybrouck mengambil perspektif berbeda yang selama ini jarang digali. Reybrouck yang seorang arkeolog dan pakar studi budaya asal Belgia “menjahit” setiap benang merah gerakan revolusi di Indonesia yang nyatanya menginspirasi perubahan dunia pasca-Perang Dunia II.
Dengan mewawancarai hampir 200 saksi mata beragam peristiwa di seputar Perang Kemerdekaan RI (1945-1949) yang ia temui di Indonesia hingga Nepal, Reybrouck merangkumnya dalam sebuah buku tebal berbahasa Belanda dengan tajuk Revolusi: Indonesië en het ontstaan van de moderne wereld (2020). Pada 2024, hasil risetnya sepanjang enam tahun itu dialihbahasakan ke bahasa Inggris menjadi Revolusi: Indonesia and the Birth of the Modern World.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional Irine Hiraswari Gayatri memandang buku itu penting untuk jadi suplemen generasi muda, utamanya pelajar. Pasalnya, tidak hanya menggambarkan perjalanan bangsa Indonesia dari masa pra-kemerdekaan, tapi juga menonjolkan kisah pemuda yang terlibat dalam gerakan revolusi yang namanya selama ini tak pernah ada di buku-buku sejarah.
“Dalam narasi Anda tentang Indonesia pra-kemerdekaan juga menggambarkan tentang pandangan kaum bumiputera terhadap VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur). Saya juga bisa mengerti bahwa kita harus mencari saksi mata peristiwa, menanyakan apa yang mereka pikirkan dan lakukan saat itu. Jadi Anda menggunakan sejarah untuk membingkai keseluruhan cerita perjuangan kemerdekaan, memberikan pesan yang sangat penting bagi para pelajar Indonesia. Sampai batas tertentu menggambakan revolusi kemerdekaan (Indonesia) sebagai sebuah momen menentukan di abad ke-20,” kata Irine dalam diskusi daring bertajuk “Indonesian Revolution Becoming an Independent Subject” di Zoom Meeting dan Youtube Periplus Bookstore, Jumat (16/8/2024) petang.
Baca juga: Nasib Mereka yang Terbuang di Theresienstadt dan Boven Digoel
Reybrouck mengakui bahwa ambisinya dalam buku Revolusi: Indonesia and the Birth of the Modern World ingin memantik cara pandang baru mengenai sejarah revolusi kemerdekaan Indonesia. Terlebih buku itu mendapat respons ramai di Belanda, Belgia, bahkan Finlandia.
“Di Belanda, saya mendapat banyak komentar bahwa narasi-narasi ini tak pernah mereka ketahui sebelumnya. Dan Finlandia yang tak punya hubungan apapun dengan Indonesia secara langsung, orang-orang di sana tertarik mendengarkan tentang Indonesia karena dimulai dengan (isu) gerakan dekolonisasi,” tutur Reybrouck.
Bisa dibilang, agak mirip dengan “misi” yang ingin disampaikan sejarawan Palestina Edward Wadie Said dengan bukunya, Orientalism (1978). Dalam buku itu, Said menggugat cara pandang para sarjana Barat dalam memahami dunia Timur.
Bedanya, Reybrouck ingin para peneliti dan publik di belahan bumi utara bisa membuka mata lebih lebar terhadap peristiwa-peristiwa di belahan bumi selatan bukan sekadar sebagai peristiwa lokal melainkan peristiwa global yang turut mengubah dunia. Terlebih, Proklamasi 17 Agustus 1945 harus diakui jadi momen bekas negara jajahan pertama yang mendeklarasikan kemerdekaan usai Perang Dunia II.
“Inti pesan buku ini juga bahwa revolusi Indonesia lebih dari sekadar sejarah nasional atau sejarah kolonial, melainkan juga sejarah global. Dan setiap gerakan dekolonisasi di dunia sangat dipengaruhi peristiwa-peristiwa di Indonesia. Maka penting untuk menunjukkan dinamika global yang juga relate dengan revolusi (Indonesia),” tambahnya.
Baca juga: Saatnya Melihat Indonesia dari Beraneka Sudut Pandang
Konklusi Reybrouck jelas tidak berasal dari pengolahan “kulit” semata. Berangkatnya justru dari hal fundamental, rasa penasarannya terhadap penulisan sejarah global yang Barat-sentris.
“Saya selalu berpikir masih ada yang janggal dengan peristiwa revolusi dalam sejarah dunia (oleh para sarjana Barat). Seperti Revolusi Prancis (1789-1799) dan Revolusi Rusia (1917), itu terjadi di belahan bumi Utara. Jika ada revolusi terjadi di belahan bumi selatan, itu hanya dianggap sebagai peristiwa lokal,” terang Reybrouck.
Revolusi Haiti (1791-1804), misalnya. Mestinya sebuah rangkaian peristiwa itu juga menginspirasi dunia karena di situlah terjadi pemberontakan budak pertama yang berhasil. Oleh karenanya penting pula baginya untuk berbagi pengetahuan soal revolusi kemerdekaan Indonesia, sebab nyatanya memengaruhi gerakan dekolonisasi di berbagai negeri jajahan lain dan bahkan menginspirasi para tokoh gerakan anti-diskriminasi dan gerakan HAM di Amerika Serikat.
“Sekarang perlahan memang berubah. Revolusi kemerdekaan Indonesia yang terjadi di belahan bumi Selatan mulai dianggap peristiwa global bersejarah, di mana Indonesia jadi negara pertama yang memerdekakan diri setelah ratusan tahun dijajah bangsa Barat. Dalam perkembangan studi sejarah, saya berharap ini jadi awareness tentang pentingnya permulaan dunia modern yang berusaha memperbaiki keseimbangan itu,” jelasnya.
Baca juga: Pemberontakan Budak 17 Agustus, Menang atau Mati!
Dari Kapal Van der Wijck hingga KAA
Masa kolonial jadi topik pembuka yang diangkat Reybrouck. Dalam salah satu bab pembukanya, Reybrouck bahkan mengungkit perihal kapal masyhur, Van der Wijck. Bukan dengan sastra sebagaimana Buya Hamka menelurkan novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1938), namun dengan gaya jurnalistik-sastrawi dalam menarasikan diskriminasi dan rasisme di era kolonialisme Hindia Belanda.
“Seperti kebanyakan kapal di Hindia Belanda yang dioperasikan KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij), kapalnya (Van der Wijck) punya empat dek yang tersusun dan saya mulai mengumpulkan informasi siapa-siapa saja penumpang di dek no. 1 paling atas, lalu dek no. 2, dek no. 3, dek no. 4,” terang Reybrouck.
Dari Van der Wijck itu saja Reybrouck sudah menemukan replika sistem hukum klasifikasi masyarakat yang bermula dari munculnya Regerings Reglement tahun 1854. Peraturan kolonial ini membagi masyarakat berdasarkan kelas: Eropa, indo-Eropa, Timur Jauh, dan pribumi.
“Saya menyadari bahwa itu bukan sekadar arsitektur kapal. Ini sosiologi abstrak yang dibuat dalam tiga dimensi yang mengapung (di laut). Di sana Anda bisa melihat tiruan sistem legal yang dibuat selama (zaman) kolonial Belanda yang membedakan setiap lapisan masyarakat,” lanjutnya.
Baca juga: Rasisme Sejak dalam Pikiran
Memang ada beberapa tokoh yang kemudian berhasil menembus lapisan-lapisan itu dengan pendidikan. Reybrouck mencontohkan Sukarno dan Mahatma Gandhi, meski keduanya tetap tak bisa diterima sebagai golongan “dek no. 1”.
“Sukarno yang seorang insinyur dengan studinya di Bandung, Gandhi yang bahkan mengenakan tiga lapis pakaian jas dan memainkan biola agar bisa diterima layaknya pemuda Inggris. Tetapi mereka yang mencoba naik ke dek no. 1 dan sakit hati karena terhalang glass ceiling itulah yang kemudian membangun gerakan dekolonisasi,” urai Reybrouck.
Reybrouck juga membandingkan antara kapal elegan nan cantik seperti Van der Wijck dengan era kolonialisme Belanda yang mulanya begitu arogan tapi dalam waktu singkat keadaan membuatnya berubah. Van der Wijck terbalik dan tenggelam di perairan Lamongan pada 22 Oktober 1936 dalam waktu beberapa menit saja. Pemerintahan Hindia Belanda pun tumbang tujuh tahun berselang, juga dengan secepat kilat akibat invasi Jepang.
“Pada 1936 seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Bonifacius Cornelis de Jonge) pernah mengatakan, ‘kita sudah di sini selama 300 tahun dan akan terus ada selama 300 tahun ke depan, baru setelah itu kita bicara tentang kemerdekaan (otonomi, red.).’ Itu mindset Belanda pada 1936 dan di tahun itu kapal Van der Wijck tenggelam dalam waktu beberapa menit saja dan itu seperti metafora, bahwa situasi bisa berubah dengan cepat,” ujarnya lagi.
Baca juga: Kritik Adat dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck
Usai 3,5 tahun masa pendudukan Jepang, dwi-tunggal Sukarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus atau dua hari pasca-Jepang menyerah sebagai penanda berakhirnya Perang Dunia II. Terlepas dari adanya Perang Kemerdekaan yang berdarah-darah hingga 1949, Indonesia muncul jadi kekuatan baru di dunia melalui Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, 18-24 April 1955.
“Buku Reybrouck istimewa karena di bab terakhir sebagai puncaknya terdapat wawasan-wawasan yang berbeda tentang pencapaian besar Sukarno setelah (revolusi) kemerdekaan Indonesia, yaitu KAA. Bahwa KAA menjadi episentrum dari gelombang besar yang kemudian mengubah dunia, bahwa Indonesia dengan KAA-nya jadi simbol yang powerful. Sampai tokoh HAM Martin Luther King Jr., Malcolm X, Richard Wright, Nelson Mandela, tokoh-tokoh lain yang jadi korban kolonialisme, imperialisme, dan diskriminasi terinsprasi KAA. Beberapa kutipan pidato mereka terilhami KAA. Bahwa dalam buku ini, segalanya tak lagi sama setelah KAA,” timpal sastrawan Ayu Utami.
Reybrouck punya alasan memilih pengaruh KAA terhadap perubahan dunia sebagai klimaks bukunya. Yakni, belakangan, dampak yang timbul usai KAA sebagai salah satu peristiwa penting di abad ke-20 mulai terlupakan, utamanya di antara buku-buku sejarah dunia.
“Antara tahun 1955-1965, terutama Amerika Serikat, membatasi dampak gerakan KAA karena mereka takut itu akan berubah jadi gerakan kiri. Setelah KAA pada April 1955, di bulan Septembernya Anda melihat komposisi (anggota-anggota) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang tadinya kebarat-baratan, mulai beragam. Bahkan pada awal 1960-an kita melihat sekretaris jenderal PBB pertama itu dari Burma (kini Myanmar), U Thant, dan bukan tokoh dari Barat,” sambung Reybrouck.
Realitas itu jelas mengusik Barat, terutama Amerika selaku komandannya. Jelas tak bisa dibiarkan.
“Setelah itu kepala negara Kongo dan Indonesia digantikan CIA (agensi intelijen Amerika) melalui kup militer. Di Indonesia, Sukarno digantikan Soeharto. Di Kongo juga sama, digantikan perwira militer yang didukung CIA. Jadi Amerika melakukan tindakan-tindakan represif terhadap gerakan (KAA) itu,” tambahnya.
Baca juga: Berkaca pada Pemikiran Geopolitik Bung Besar
Amerika, imbuh Reybrouck, khawatir dengan peta perpolitikan global di era Perang Dingin sedang “panas-panasnya”. Pasalnya, politik dan gejolak dunia berubah gegara KAA karena para partisipan KAA mewakili lebih dari separuh populasi dunia.
“Dan semua (partisipan KAA) sepakat bahwa masa-masa kolonialisme sudah berakhir dan mereka sepakat bahwa dinamika ‘Utara-Selatan’ harus berubah. Antusiasme gerakan ini begitu berkembang, khususnya di dunia Arab dan negeri-negeri Sub-Sahara di Afrika karena (Gamal Abdul) Nasser pulang ke Mesir dari (KAA) menyebarkan beritanya dalam bahasa Arab dan Swahili via radio,” terang Reybrouck.
“Jika Anda melihat pidato pembukaan Sukarno (di KAA), literally dia mengatakan Asia-Arika adalah Indonesia dalam skala yang lebih besar. Sama-sama berbeda dan beragam (tapi bersatu). Jadi ada hubungan eksplisit dari Indonesia dalam hal revolusi kemerdekaan dan KAA yang terjadi dalam skala global,” tukasnya.
Baca juga: Di Balik Pidato Bung Karno di PBB