Masa Belia Sang Pujangga

Didikan keras ayah dan lingkungan sejak kecil membentuk Pram menjadi pribadi tangguh, kreatif sekaligus peduli pada lingkungan sekitar. Terbukti saat Perang Kemerdekaan dengan karya dan sikapnya dalam ketentaraan.

Oleh: Petrik Matanasi | 07 Feb 2025
Masa Belia Sang Pujangga
Pramoedya. Sedari kecil hingga muda, Pram mendapat tempaan keras di rumah maupun lingkungan hingga membentuk jiwanya menjadi petarung tangguh. (ANRI)

PANDANGANNYA yang dibantu kacamata terpaku pada lembar kertas yang terselip di sebuah mesin tik tua. Kedua tangannya “melayang” di atas tuts-tuts mesin ketik yang bergantian ditekan jari-jemarinya. Serius. Begitulah penampilan Pramoedya Ananta Toer saat bekerja menyelesaikan naskah-naskah yang seolah tak pernah berhenti keluar dari kepalanya.

Tak ada banyak barang yang menemaninya selama proses berkarya. Selain peralatan tulis, hanya kacamata yang dikenakannya dan sebatang rokok di bibirnya yang menemaninya. Rokok itu terus mengeluarkan asap alias menyala.

“Saya merasa sulit untuk menulis jika saya tidak merokok,” terang Pram, sapaan akrab Pramoedya, dalam kata pengantarnya di buku Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes karya Mark Hanusz.

Advertising
Advertising

Rokok kretek tak hanya menenami Pram dalam proses berkarya. Ia juga bagian dari hidupnya di masa-masa sebelum “menjadi orang”.

Pram yang merupakan putra sulung pasangan di Mastoer Imam Badjoeri dan Oemi Saidah lahir di Blora pada 6 Februari 1925. Ayahnya merupakan seorang guru terpandang yang memiliki kepedulian besar terhadap nasib sebangsanya.

Kendati begitu, Pram kecil tak mendapat pengistimewaan dari ayahnya yang keras mendidik kedisiplinan. Sebagaimana anak-anak sebayanya, Pram kecil bermain dengan siapa saja tanpa terkotak-kotak oleh strata sosial. Selain mencari bungkus rokok, biasanya Pram mengajak teman-temannya main di Sungai Lusi saban sore. Di sana, mereka berenang sepuas mereka mau.

Di lain waktu, Pram juga mengajak teman-temannya berburu burung menggunakan ketapel. Kendati begitu, rasa penghargaannya terhadap ciptaan Tuhan amat besar. Dengan usia sekecil itu, Pram biasa mengarahkan teman-temannya agar mengarahkan ketapel mereka ke sayap burung. Dengan begitu, burung yang terkena “pelintengan” jatuh tapi tidak mati.

“Jika kamu tidak obah-polah tidak akan bisa mamah-makan,” demikian semboyan Pram yang selalu dipegangnya, dikutip Muhammad Rifai dalam Pramoedya Ananta Toer: Biografi Singkat (1925-2006).

Sebagaimana umumnya anak-anak di Jawa, Pram kecil juga diberi tugas berkaitan dengan tanggung jawab di rumah. Tanggung jawab ini bukan soal pelajaran di sekolah, tapi tanggung jawab kehidupan di rumah dan lingkungan sekitar.

“Saya membantu ibu saya di ladang, menyiangi dan melakukan tugas-tugas kasar lainnya,” kata Pram.

Dengan kehidupannya yang “keras” itu, sejak kecil Pram terbiasa bertanggung jawab dan mandiri. Maka dengan hasrat untuk melanjutkan pendidikan formal yang besar sementara dirinya mengalami kesulitan keuangan, diatasinya menjadi penjual rokok.

“Secara finansial, saya selalu mandiri dan tahu bahwa jika saya ingin melanjutkan pendidikan, saya harus mencari uang sendiri. Pekerjaan pertama saya saat kecil adalah berjualan kretek di luar rumah dan kemudian di pasar malam di Blora. Saat pasar malam diadakan, saya mendirikan lapak menjual kretek dan minuman. Lapak saya begitu sukses sehingga selama setahun penuh saya dan saudara laki-laki saya harus bekerja setiap hari dari pagi hingga malam. Jika harus keluar untuk membeli bahan makanan segar, adik laki-laki saya yang menjaganya. Uang pun mengalir deras. Di usia tersebut, itu adalah pengalaman luar biasa. Lapak kami menjadi begitu populer sehingga terkadang semua kretek kami terjual habis dalam dua jam pertama!” kenang Pram.

Dengan uang dari hasil berjualan rokok kretek itulah Pram bisa membiayai dirinya sendiri untuk melanjutkan sekolah. Tekad kuat untuk bersekolah itu muncul karena keinginan Pram untuk melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi ditolak oleh ayahnya yang –pernah menyebut Pram bodoh karena tiga kali tidak naik kelas– menginginkan Pram lebih baik mengulang pendidikan dasarnya terlebih dulu.

“Kondisi tertekan yang terus-menerus karena perlakuan ayahnya mengakibatkan psikologis Pram labil di masa kecil. Hal ini menjadi persoalan kompleks inferioritas atau rasa minder akut, merasa terkucilkan, tertindas, tertekan, dan merasa tidak diperlukan hidupnya di dunia semenjak kecil,” tulis Muhammad Rifai.

Keluarga Toer dan Institut Boedi Oetomo

Blora, kota kecil di Jawa Tengah yang berjarak sekira 30 km selatan pantai Rembang, bukan hanya menjadi tempat Dokter Soetomo bertugas sebagai dokter dan menemukan jodohnya, tapi juga menularkan pandangan politiknya. Gairah salah satu pendiri Boedi Oetomo itu dalam memajukan manusia setempat dalam mengikuti zaman diwujudkannya pada 1917 dengan mendirikan Instituut Boedi Oetomo (IBO).

Upaya tersebut amat didukung Bupati Blora Raden Mas Said Tirtonegoro. Pun juga Mastoer ayah Pram yang merupakan guru idealis.

“Ia seorang pendukung cita-cita Dokter Soetomo dengan Boedi Oetomo-nya. Karena itulah ia memutuskan meninggalkan kedudukan sebagai guru HIS Rembang yang mapan, dan sebagai gantinya mengambil alih sekolah Boedi Oetomo Blora yang baru berumur lima tahun,” kata Koesalah dan Soesilo, adik-adik Pram, dalam Bersama Mas Pram.

Mengajar  di IBO yang tak ada campur-tangan pemerintah kolonial menjadi “kemerdekaan” sendiri bagi Mastoer. Maka ketika IBO terlantar setelah ditinggal Dokter Soetomo yang pindah tugas dan Bupati Tirtonegoro yang wafat, Mastoer “turun gunung” untuk mempertahankannya.

“Bapak saya membangun sekolah itu menjadi sekolah dasar tujuh kelas dengan merogoh kantong sendiri, tetap dengan nama Instituut Boedi Oetomo,” catat Koesalah dan Soesilo.

IBO terus berjalan dan bertumbuh. Pada 1930-an, IBO bahkan menjadi sorotan pemerintah  kolonial. Deli Courant  edisi 19 November 1935 memberitakan, guru IBO yang bernama Raden Mas Soebeki dilarang mengajar oleh pemerintah kolonial dengan alasan demi menjaga ketertiban.

Mastoer agak frustrasi dengan keadaan karena pergerakan nasional makin melunak pada 1930-an. Namun, dia terus berkeras dalam mengikis pengaruh kolonial yang masuk ke sekolahnya. Itu dibuktikannya saat ada pawai sebuah acara pemerintah yang melibatkan anak sekolah. Pawai yang antara lain diisi dengan pengibaran bendera triwarna dan menyanyikan lagu kebangsaan Belanda “Wilhelmus” itu diperintahkan oleh pejabat-pejabat pemerintah kolonial untuk diikuti semua murid sekolah di Blora. Para murid IBO tak menjadi pengecualian. Lantaran tahu isi acara itu, Mastoer tak bergeming meski permintaan itu datang dari petinggi macam asisten residen.

“Ayahku tetap menolak untuk menyanyikan Wilhelmus dan mengangkat Triwarna,” kata Pram dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.

Kekerasan pendirian Mastoer membuat pejabat kolonial melunak dengan tidak memaksakan murid IBO untuk menyanyi lagu kebangsaan Belanda dan mengangkat bendera merah-putih-biru asalkan ikut pawai.

Sikap idealis seperti itulah yang didapat Pram dari ayahnya selama menjadi murid di IBO, sekolah yang eksis hingga Jepang menutupnya. Pram sendiri dari 1940-1941 melanjutkan pendidikan di Radio Volkschool Surabaya selepas dari IBO. Sewaktu Jepang berkuasa, Pram telah pindah ke Jakarta, tempat dia melanjutkan pendidikan ke Taman Dewasa/Taman Siswa (1942-1943), lalu Kelas dan Seminar Perekonomian dan Sosiologi yang diampu Bung Hatta dan Maruto Nitimihardjo, dan Sekolah Stenografi (1944-1945) serta Sekolah Tinggi Islam Jakarta pada 1945.

Juru ketik Domei

Di masa pendudukan Jepang, Pram menjadi saksi sekaligus korban dari kesulitan makanan. Akibatnya, banyak orang kehilangan nyawa akibat sulitnya mencari makanan.

“Singkatnya, setiap hari saya melihat tubuh seseorang yang meninggal kelaparan di pinggir jalan,” kenang Pram di pengantar buku Hanusz.

Prma sendiri hanya bisa makan semangkuk bubur sehari ditambah sayuran apapun yang bisa ditemukan di sekitar rumah. Untuk mengatasinya kelaparannya, Pram memperbanyak merokok.

“Beras semua ‘lari’ ke Jepang. Jadi kita merokok untuk menghentikan rasa lapar. Ketika saya tiba di Jakarta pada 1942, saya dapat pekerjaan di Domei –kantor berita resmi Jepang. Setelah beberapa bulan saya berhasil menjadi tukang ketik tercepat di kantor. Bagi siapapun yang ada di kantor, orang Jepang menyediakan rokok, jadi (merokok buat saya, red.) tidak ada masalah. Saya selalu menjadi orang pertama yang mendapat jatah rokok. Tidak sulit –kepala kantor, orang Jepang, telah memilih saya dari semua karyawan di kantor untuk pelatihan lebih lanjut sehingga saya bisa mendapatkan beberapa perlakuan khusus,” sambungnya.

Kecewa di Front Timur, Keluar dari Resimen Cikampek

Setelah Perang Dunia II rampung usai Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, Republik Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945. Kedatangan tentara Sekutu yang –diboncengi tentara NICA yang ingin menguasai kembali Indonesia– diwakili militer Inggris mulai Oktober 1945 memicu penolakan dari pemuda-pemuda pro-Republik Indonesia. Pram ada dalam barisan itu.

Mula-mula, Pram ikut Badan Keamanan Rakyat (BKR) dengan pangkat prajurit dua. Namun karena pekerja keras dan punya pengalaman di Domei, Pram tentu dianggap punya kelebihan dibandingkan kebanyakan pemuda yang kata Sjahrir hanya bisa baris. Maka dalam waktu singkat pangkatnya melompat jadi sersan mayor, lalu pertengahan 1946 menjadi letnan dua.

Andries Teeuw dalam Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer menyebut, berdasar riwayat yang dibuat Pram, Pram adalah perwira pers yang membawahi satu seksi yang bisa sampai 60 orang. Dia bisa mendatangi daerah Klender, Cakung, Kranji, Bekasi, Lemahabang, Cileungsi, Cibarusa dan Karawang. Sekretariatnya berada di Cikampek.

Sebagai serdadu “melek ilmu”, Pram mengadakan taman bacaan untuk para pejuang di Resimen Cikampek dengan buku-buku yang dimilikinya. Pram juga pernah membuat laporan tentang jatuhnya Kranji karena serangan tentara Inggris yang mengerahkan kavaleri lapis baja, meriam-meriam artileri hingga pesawat tempur. Pram termasuk tiga orang terakhir yang berhasil keluar dari pengepungan itu. Laporan itu disampaikan kepada kepala staf resimen, namun kemudian kepala staf itu merobek-robek laporan tersebut. Kendati begitu, salinan laporan lainnya berhasil terkirim ke markas tentara di Yogyakarta. Sebagai hasilnya, mutasi perwira terjadi di Cikampek.

Penyerbuan Kranji itu oleh Pram diabadikan dengan pena dengan judul Krandji Bekasi Djatoeh (1947). Tulisan itu kemudian menjadi bagian dari novel Di Tepi Kali Bekasi.

“Selama bertugas di Cikampek ini, ia dapat menulis novel pertamanya, yaitu Sepoeloeh Kepala NICA, tetapi malangnya naskah itu hilang,” tulis Koh Young Hun dalam Pramoedya Menggugat, Melacak Jejak Indonesia.

Naskah itu hilang di tangan penerbit. Kehilangan naskah sering dialami Pram. Naskahnya paling sering hilang di tangan tentara, baik tentara Belanda maupun tentara Orde Baru.

Ketika bertugas di Cikampek dan sekitarnya itu, Pram melihat pertentangan antara tentara reguler dengan laskar rakyat demikian parah. Bahkan, komandan Resimen Cikampek, Suroto Kunto, sendiri terbunuh. Setelah adanya rasionalisasi, banyak prajurit dikeluarkan.

“Rombongan-rombongan prajurit yang diusir tanpa diberi keterangan yang jelas dengan dendam dan sakit hatinya banyak yang masuk dalam tentara Belanda,” catat Pram seperti dikutip Andries Teeuw.

Sikap pemerintah dan petinggi tentara yang mengeluarkan tentara-tentara itu mengusik Pram. Dia pun kecewa pada tentara. Selain itu, korupsi juga terjadi di sekitar Pram. Bahkan, tanpa bukti jelas dia dituduh korupsi pula.

Pram lalu minta berhenti dari dinas ketentaraan. Sejak Januari 1947, dia  tidak lagi menjadi letnan dua namun tujuh bulan gaji terakhirnya tak pernah dibayarkan padanya.

Tanpa uang di saku, Pram lalu nekat naik kereta menuju Jakarta. Dia melompat dari kereta dalam perjalanan agar tidak membayar. Di Jakarta, Pram ditangkap militer Belanda dan dipenjarakan di Penjara Bukit Duri, dekat Pasar Jatinegara. Di dalam penjara itu dia menulis novel Perburuan, yang belakangan difilmkan. Dia baru bebas menjelang 27 Desember 1949, hari ketika kedaulatan RI diakui oleh Belanda.*

TAG

pramoedya ananta toer boedi oetomo masapendudukanjepang perang kemerdekaan

ARTIKEL TERKAIT

Jasa Zus Ratulangi Kopral Cohen Dua Kali dapat Bintang Penghargaan Militer Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi” Susu Indonesia Kembali ke Zaman Penjajahan Ulah Mahasiswa Kedokteran yang Bikin Jepang Meradang Mahasiwa yang Menolak Militerisme Jadi Orang Sukses Melihat Tentara Hindia dari Keluarga Jan Halkema-Paikem Prabowo Berenang di Manggarai KNIL Jerman Ikut Kempeitai KNIL Turunan Genghis Khan