ISU pelajaran sejarah dalam berbagai kurikulum baru acap menuai polemik yang mempersoalkan kuantitas, dalam hal ini makin sedikit jam pelajarannya. Namun, persoalan kualitas, dalam hal ini kontennya melulu berbau versi Orde Baru (Orba), belum atau minim perhatian.
Sejarawan Bonnie Triyana juga melihat tren tentang buku yang menuliskan sejarah Indonesia, utamanya dari versi berbeda yang menjadi oase atau sumber pembelajaran yang faktual dan berdasarkan fakta-fakta terbaru, makin menurun sejak 1990-an. Kalaupun ada, belum tentu bisa serta-merta diintegrasikan dalam kurikulum. Sebab, peserta didik kadung dipaksa untuk percaya pada satu versi ketimbang multi-versi yang bisa dianggap subversi.
Padahal, menjadi hal penting bagi generasi sekarang untuk bisa berpikir lebih kritis. Sebab, sarana dan prasarananya memungkinkan, di mana sejarah bisa ditampilkan lewat beragam platform di media sosial yang sulit disensor pemerintah sebagai pemilik satu versi narasi historis. Di sinilah muncul harapan itu seiring diluncurkannya buku bertajuk Merdeka: Perang Kemerdekaan dan Kebangkitan Republik yang Tak Pasti (1945-1950) karya dua Indonesianis asal Belanda, Harry A. Poeze dan Henk Schulte Nordholt.
Baca juga: Race, Islam and Power Bukan Catatan Perjalanan Biasa
Buku ini merupakan versi bahasa Indonesia dari buku sebelumnya yang berbahasa Belanda yang terbit medio Februari 2022, De roep om Merdeka: Indonesische vrijheidlievende teksten uit de twintigste eeuw. Dalam peluncuran perdana versi bahasa Indonesianya di program “Dialog Sejarah: Talk Show Peluncuran Buku Merdeka” di kanal Youtube Historia, Senin (18/9/2023), Nordholt mengatakan versi bahasa Inggrisnya akan dirilis awal 2024.
Nordholt juga mengungkapkan bahwa dalam buku ini, ia dan Poeze berupaya menyajikan sudut pandang dari luar terkait diskusi tentang revolusi kemerdekaan Indonesia. Kedaulatan Republik Indonesia yang diraih, ujar keduanya, melewati proses yang teramat rumit dan penuh kejutan terkait konflik maupun krisis yang terjadi selama masa revolusi itu.
“Adalah rekan-rekan sejarawan Indonesia yang meminta kami menulisnya melalui sudut pandang dari luar. Kami memunculkan tema-tema yang tampaknya jarang dibahas. Apalagi (dalam revolusi kemerdekaan) Belanda hanya satu rintingan. Saya mencatat setidaknya ada 10 krisis internal,” kata Nordholt.
Poeze juga merangkum hasil penelitiannya tentang Tan Malaka yang sebelumnya ia terbitkan dalam enam jilid. Salah satu founding fathers yang berperan penting dalam masa revolusi itu dihilangkan namanya dari buku-buku sejarah.
“Kami mengisi buku ini juga dengan fakta-fakta dan interpretasi baru dengan memberikan gambaran yang baru tentang revolusi Indonesia. Jadi bukan buku yang hanya ditekankan dari sejarah Belanda atau sejarah internasional tapi buku yang mengintegrasikan semua yang terjadi waktu revolusi itu,” timpal Poeze.
Baca juga: Empat Puluh Tahun Mencari Tan Malaka
Intinya, Nordholt dan Poeze ingin mengajak pembacanya untuk saling membuka diskusi dengan melihat sejarah revolusi dari sejumlah sudut pandang berbeda, bukan melulu dari versi “pemenang” atau penguasa.
Peneliti sejarah dari Pusat Riset Kewilayahan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRW-BRIN) Erwiza Erman pun sependapat. Buku Merdeka menurutnya menyuguhkan banyak penuturan sejarah dengan fakta-fakta baru yang saling terkait benang merahnya.
“Kita membacanya dari awal tidak putus dari satu bab ke bab lain karena ada flow dan dinamika yang dibentangkan, di mana ada semacam interpretasi yang tidak monolitik. Kalau historiografi revolusi Indonesia, umumnya memiliki pendekatan yang monolitik: peran pemuda, perundingan-perundingan dengan Belanda,” ujar Erwiza.
Sebagai contoh, lanjut Erwiza, pro-kontra atau konflik antar-kelompok di balik perundingan atau perjanjian dengan Belanda, atau peran-peran Tan Malaka di belakang layar yang selama ini tak mendapakan tempat atau disembunyikan dalam buku-buku sejarah sebelumnya.
“Buku ini membuka cakrawala baru melihat perkembangan yang panjang bahkan sampai periode Orba. Buku ini juga mencoba mengkomparasi (masa sekarang) dengan masa lalu. Membuat pijakan buat kita tentang apa proses merdeka. Artinya tidak hanya masa revolusi saja tapi juga (masa) selanjutnya,” sambungnya.
Baca juga: Sejarah di Mata Gen Z
Sedangkan di mata profesor emeritus Universitas Monash, Ariel Heryanto, buku Merdeka punya sifat yang inklusif. Sejumlah sudut pandang berbeda yang ditawarkan buku Merdeka mengajak pembaca yang majemuk untuk terlibat dalam pembahasannya.
“Inklusif dalam satu dimensi yang lain. Ia tidak sekadar menembus lintas disiplin keilmuan tapi juga menembus sekat-sekat politik kebangsaan dan kepentingan. Di Indonesia pembahasan tentang sejarah kolonial di ruang publik seringkali bersifat untuk rekan sebangsa. Di Belanda 10 tahun terakhir juga perdebatan kolonialisme di Indonesia sangat Belanda-sentris,” ujar Ariel.
Lewat buku Merdeka, lanjut Ariel, Poeze dan Nordholt justru maju beberapa langkah lebih jauh dari pembahasan yang terjadi di Indonesia dan Belanda saat ini. Bahkan publik internasional bisa belajar banyak dari kasus kolonialisme dan dekolonisasi Hindia Belanda sebagai salah satu koloni terbesar Eropa di dunia. Belajar bagaimana bukan hanya Sukarno yang paling keras menentang penjajahan, kendati imejnya acap “dibajak” banyak partai politik tiap kali jelang pemilu. Atau tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia yang versinya ternyata tak hanya yang dibacakan Sukarno-Hatta di Pegangsaan Timur.
Berbagai versi proklamasi tandingan itu, tambah Ariel, kemudian gugur dan banyak yang dimusnahkan oleh pejuang sebangsa sendiri dengan mengandalkan kekerasan senjata. Jadi NKRI yang hari ini dimuliakan, sebetulnya hanya satu versi yakni versi pemenang dari sejumlah visi, cita-cita Indonesia merdeka yang pernah hadir sejak 1945.
“Dengan kata lain, Indonesia itu begitu kaya sekali. Tapi yang hari ini kita terima yang diwariskan, hanya sebagian kecil, yaitu versi pemenangnya saja. Pelajaran sekarah dari Dikti (Kemendikbudristek, red.) tidak berusaha mengejar rangkaian kisah yang utuh terpadu. Pelajaran yang mendidik siswa untuk sadar akan kemajemukan wacana tentang masa lampau dan mampu bersikap kritis pada lebih dari satu versi masa lampau,” tandasnya.
Baca juga: Ketika Kelas Menengah Indonesia Mengingat Kolonialisme