Masuk Daftar
My Getplus

Arsip Foto Merekam Jakarta di Era Bung Karno

Berbagai peristiwa penting di ibu kota terekam dalam arsip foto Departemen Penerangan wilayah Jakarta. Mulai dari repatriasi orang-orang Belanda hingga kecamuk politik paska G30S 1965.

Oleh: Martin Sitompul | 08 Nov 2024
Presiden Sukarno bersama Gubernur DKI Jakarta Soemarmo dalam Pameran ke-2 Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana di Gedung Pola, Jl. Pegangsaan Timur No. 56 pada 15 Agustus 1962. Sumber: Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).

SELEMBAR foto lawas hitam-putih ukuran 5R memperlihatkan Presiden Sukarno bersama Gubernur DKI Jakarta Soemarmo. Bung Karno tampak menunjukkan tongkat komandonya ke arah maket yang ada di hadapannya. Yang agak berbeda dari penampilan biasanya, Bung Karno mengenakan topi demang di kepala sebagai pengganti peci. Sementara itu, Gubernur Soemarmo terlihat serius memperhatikan arahan Bung Karno. Saat itu, Presiden Sukarno membuka pameran ke-2 Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana di Gedung Pola, Jl. Pegangsaan Timur No. 56 pada 15 Agustus 1962.

Foto tersebut hanyalah salah satu media yang merekam peristiwa penting di Jakarta pada masa pemerintahan Presiden Sukarno. Puluhan ribu lainnya tersimpan dalam inventaris arsip statis “Foto Departemen Penerangan RI: Wilayah Jakarta Tahun 1958—1965” koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Arsip-arsip itu merekam berbagai kejadian penting, meliputi berbagai bidang yang dipublikasi oleh pemerintah, mulai dari politik, sosial-budaya, ekonomi, sampai olahraga.

“Besarnya jumlah arsip foto Departemen Penerangan RI Wilayah Jakarta 1958 sampai dengan 1965, mencapai 57.406 lembar,” sebut Direktur Pengolahan Arsip Statis ANRI Wiwi Diana Sari dalam “Ekspose Inventaris Arsip Foto Departemen Penerangan Wilayah Jakarta Tahun 1958--1965” di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, 6 November 2024.

Advertising
Advertising

Baca juga: Membaca Sejarah Bangsa dari Arsip Sukarno

Aneka peristiwa terdokumentasi secara visual dalam arsip foto Departemen Penerangan (Deppen) Wilayah Jakarta periode 1958—1965. Meski dengan deskripsi teks terbatas, ia menerangkan bagaimana kebijakan pemerintah hingga potret sosial masyarakat Jakarta dalam suasana zaman itu. Pada 1958, misalnya, pemerintah menerapkan kebijakan repatriasi orang Belanda. Ribuan orang Belanda dipulangkan ke negerinya sebagai respon atas sikap pemerintah Belanda yang menolak merundingkan penyerahan wilayah Irian Barat (kini Papua). Arsip foto memperlihatkan pemandangan warga Belanda, laki-laki-perempuan; tua-muda, yang memadati Pelabuhan Tanjung Priok. Salah satu foto menampilkan seorang warga Belanda yang sudah renta tampak digotong dengan tandu untuk bisa masuk ke dalam kapal.

Pada 5 Juli 1959, terjadi peristiwa bersejarah dalam ketatanegaraan, yaitu pembacaan Dekrit Presiden di Istana Merdeka. Dengan terbitnya dekrit tersebut, sistem pemerintahan kembali kepada UUD 1945, yakni presidensial. Presiden Sukarno menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang menandai dimulainya era Demokrasi Terpimpin. Sementara itu, pada pengujung 1965 banyak terjadi demonstrasi massa yang anti-Perisitiwa Gerakan 30 September (G30S). Salah satunya rapat umum pengganyangan Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh Gerakan Pemuda Ansor di Taman Suropati, Menteng Jakarta Pusat pada 8 Oktober 1965. Itulah beberapa peristiwa menyangkut persoalan politik yang ditampilkan dalam arsip foto Deppen wilayah Jakarta.

Baca juga: Arsip Kemaritiman Era Sukarno

Selain itu, arsip foto juga merekam bagaimana ibukota Jakarta bersalin rupa dari kampung besar menjadi kota metropolitan lewat pembangunan proyek mercusuar yang digagas Bung Karno. Peneliti sejarah kota Hendaru Tri Hanggoro mengatakan Sukarno mempunyai peran paling besar dalam membentuk Jakarta selama Demokrasi Terpimpin. Ia punya visi menjadikan Jakarta sebagai kota yang megah dengan gedung-gedung menjulang tinggi, jalan raya yang lebar, monumen-monumen indah, dan rumah-rumah jelata yang meskipun kecil memiliki rasa kemegahan.

Untuk mewujudkan gagasannya, Sukarno mengerahkan orang-orang terbaiknya, baik seniman, arsitek maupun perancang tata kota, untuk membangun proyek-proyek tersebut. Di antara seniman itu ada Edhi Sunarso dan Henk Ngantung, sedangkan arsitek adalah Frederich Silaban, dan insinyur antara lain Sutami dan Rooseno. Hasil karya mereka dapat kita lihat sampai hari ini, seperti: Gedung Pola, Kompleks Stadion Utama Asian Games 1962 (kini Gelora Bung Karno), Hotel Indonesia, Masjid Istiqlal, Tugu Nasional, Wisma Nusantara, Sarinah, Planetarium, dan Gedung Conefo (sekarang menjadi Gedung DPR-MPR).

Sebagai seorang arsitek, sambung Hendaru, Sukarno menekankan pentingnya arti seni dalam pembangunan sebuah kota. Ia percaya bahwa arsitektur dan perencanaan kota dapat menciptakan sebuah masyarakat ideal. Selain itu, Sukarno juga tertarik dengan pembangunan kota yang menggunakan pendekatan simbolik. Ia percaya simbol adalah alat pembentukan karakter dan kepribadian bangsa.

“Simbol-simbol itu merepresentasikan visi sebuah kota yang dibayangkan Sukarno. Kota yang bukan saja ruang hidup bagi manusia, tapi juga ruang bagi ide-ide seperti anti-neokolonialisme dan anti-neoimperialisme,” jelas Hendaru.

Baca juga: 

Arsip Pidato Sukarno dan Hikayat Aceh Ditetapkan sebagai Memori Dunia

Proyek mercusuar Sukarno yang dijelaskan Hendaru selaras dengan temuan dalam arsip foto Deppen. Sejak 1959, pemerintah gencar melakukan pembangunan untuk membenahi ibukota. Salah satunya dalam rangka persiapan Asian Games 1962 yang diselenggarakan di Jakarta. Beberapa foto menampilkan aktivitas Bung Karno berkaitan dengan hal tersebut. Seperti pada 5 Januari 1960, Presiden Sukarno meninjau pembangunan Hotel Indonesia. Kemudian pada 8 Februari 1960, Bung Karno memimpin pemancangan tiang pertama Stadion Utama Asian Games di Senayan. Deskripsi arsip menyebutkan Presiden Sukarno dengan mengenakan peci dan kaca mata hitam menarik tambang yang menggerakkan alat pemancang tiang pada upacara tersebut.

Sementara itu, sejarawan Rushdy Hoesein menyatakan begitu melimpahnya arsip statis yang terhimpun dalam arsip foto Deppen Wilayah Jakarta 1958—1965. Arsip-arsip visual itu menurutnya, penting untuk menjadi data primer dalam meneliti sejarah kontemporer Indonesia. Lebih khusus lagi, “Arsip ini berfokus pada periode kepemimpinan Presiden Soekarno khususnya yang kita kenal dalam masa pemerintahan Orde Lama,” kata Rushdy.*

TAG

arsip sukarno jakarta

ARTIKEL TERKAIT

Bohl Tuan Tanah Senayan dan Matraman Tuan Tanah Menteng Diadili Tanujiwa Pendiri Cipinang dan Bogor Protes Sukarno soal Kemelut Surabaya Diabaikan Presiden Amerika Rawamangun Bermula dari Kampung Sepi Di Sekitar Indonesia Menggugat Dedikasi Peter Carey Meneliti Pangeran Diponegoro Bung Karno di Meksiko Kabinet 100 Menteri dan Kabinet Merah Putih Kabinet 100 Menteri Dulu dan Kini