SEBELUM Perang Dunia I pecah, orang-orang Prancis begitu terpesona dengan pesawat terbang. Menyaksikan burung besi saling melintasi langit Paris menjadi hiburan yang begitu diminati para penduduk saat itu.
Namun, perang menyadarkan orang Prancis bahwa pesawat terbang tak hanya memberi kesenangan dan hiburan tetapi juga dapat menyebabkan kematian serta kehancuran. Sebab ketika perang tengah berkecamuk, pesawat-pesawat Jerman terbang di atas negara itu untuk melancarkan serangan udara yang menyebabkan kehancuran pusat-pusat bisnis dan area permukiman di wilayah Prancis.
Serangan udara yang dilancarkan Jerman membuat pihak Prancis harus memutar otak untuk mencegah kerusakan dan kematian yang lebih besar di antara penduduk sipil. Salah satu gagasan yang muncul adalah membuat sebuah kota palsu sebagai kamuflase untuk mengelabui musuh. Meski tidak sepenuhnya mampu menghentikan serangan, replika kota yang dibangun dengan ukuran sama seperti aslinya itu dapat menipu pilot-pilot Jerman untuk menjatuhkan bom di tempat yang salah.
Baca juga:
Konflik Keluarga dalam Perang Dunia I
Menurut Antoine Bousquet dalam The Eye of War, rencana ini telah dibahas oleh militer Prancis pada 1917. Rencananya, sebuah replika kota Paris yang dilengkapi dengan bangunan-bangunan ikonik palsu, jalan raya, pabrik, stasiun, hingga rel kereta api akan dibangun sebagai umpan bagi pesawat pengebom Jerman yang kerap melancarkan serangan di malam hari.
‘’Dalam praktiknya, umpan memiliki beberapa tujuan yang berbeda. Umpan melengkapi upaya kamuflase dalam menarik perhatian musuh ke entitas palsu dan menjauh dari target asli di dekatnya. Umpan juga dapat menghilangkan dan mengalihkan sumber daya musuh yang didedikasikan untuk pengamatan dan penargetan, terutama dengan memprovokasi serangan terhadap mereka dan memberikan informasi berharga tentang posisi atau taktik musuh,” tulis Bousquet.
Ditujukan sebagai umpan untuk mengecoh lawan, para ahli strategi militer Prancis berniat untuk membangun sebuah kota yang penuh dengan cahaya. Roxanne Panchasi, profesor di departemen sejarah Simon Fraser University, menulis dalam Future Tense: The Culture of Anticipation in France Between the Wars bahwa replika kota yang dibangun di sebuah tempat di Sungai Seine, di mana sungai tersebut berbelok dengan cara yang sama seperti sungai itu melintasi ibukota, Paris palsu merupakan bagian dari skema yang lebih besar yang mencakup dua lokasi target palsu lainnya. Salah satunya di di l'Orme de Morlu, timur laut Saint-Denis, meniru stasiun kereta api dan rel kereta api Gare du Nord dan Gare de l'Est. Yang lainnya, terletak tepat di sebelah timur kota, mensimulasikan kawasan industri. Bersama-sama, ketiga umpan itu berpotensi menyesatkan pilot pesawat Jerman, mengalihkan kemungkinan serangan dari ibukota.
Baca juga:
Seorang ahli listrik bernama Fernand Jacopozzi disebut sebagai salah satu tokoh yang berperan besar dalam pembangunan Paris palsu ini. Menurut Panchasi, ahli listrik yang namanya kelak akan berkaitan erat dengan Menara Eiffel itu mengajukan ide mengenai kota palsu yang penuh cahaya kepada Kementerian Perang Prancis pada awal 1918.
“Mengingat bahwa serangan udara di Paris kemungkinan besar akan terjadi setelah malam hari, Jacopozzi berencana untuk turut menerangi berbagai landmark dan monumen utama di kota palsu. Para pengamat memuji desain tersebut sebagai tipuan visual yang sangat meyakinkan yang mensimulasikan dengan sangat baik tampilan malam hari di ibu kota dan sekitarnya. Pada 1920, seorang penulis mencatat bahwa ‘Gare de I’Est karya Jacopozzi, dengan efek pencahayaan kereta api yang sedang berjalan, [akan] tetap menjadi karya terbaik dalam genre ini,” tulis Panchasi.
Sebuah area yang berjarak 15 mil dari jantung kota Paris dipilih menjadi lokasi kota palsu ini. Di sana, para pekerja mulai membangun kota palsu yang terlihat seperti Paris dari udara. Mereka menata jalan yang terlihat seperti jalan-jalan di Paris, membangun replika rumah, sekolah, dan pabrik dari kayu. Properti-properti buatan itu dibuat semirip mungkin dengan aslinya, khususnya di bagian-bagian tertentu yang dapat terlihat dari udara. Contohnya atap pabrik di Paris yang selama Perang Dunia I memiliki atap kaca agar cahaya yang masuk cukup untuk para pekerja. Mengacu pada hal ini, para pelukis kemudian menggunakan cat tembus pandang pada bagian atap pabrik palsu agar terlihat seperti atap kaca pabrik-pabrik di Paris yang kotor. Agar semakin terlihat meyakinkan, Jacopozzi menggunakan lampu putih, merah, dan kuning untuk memberikan ilusi mesin-mesin yang bekerja di malam hari dan menerangi stasiun kereta api serta jalan raya palsu.
Baca juga:
Proses pembangunan kota palsu ini dilakukan secara rahasia. Namun ketika pembangunan replika kota ini tengah memasuki tahap penyelesaian, pesawat pembom Jerman yang sebelumnya menghiasi langit Prancis telah menghilang seiring dengan berakhirnya perang di Eropa. Dengan demikian, kota palsu ini tidak pernah benar-benar diuji. Yang menarik, Davide Deriu menulis dalam Between Veiling and Unveiling: Modern Camouflage and the City as a Theater of War, termuat di Endangered Cities bahwa dalam sebuah artikel yang diterbitkan di jurnal L'illustration tahun 1920, yang berisi ilustrasi rinci dari rencana pembangunan kota palsu ini, terungkap bahwa intelijen Jerman telah mengetahui rencana tersebut selama ini; namun, artikel itu juga menunjukkan bahwa siasat kota palsu mungkin terbukti efektif dalam menyesatkan para pilot.
‘’Artikel tersebut menyimpulkan: ‘bahkan seandainya staf umum Jerman telah mendengar tentang pekerjaan kami, hal ini tentu tidak akan mencegah penerbang musuh tertipu oleh pabrik palsu atau replika stasiun yang telah dibuat; dan itu sangat penting.’ Proyek ini menunjukkan bahwa pencarian bentuk-bentuk penyamaran udara yang substansial telah membawa kamuflase, bahkan pada tahap awal sejarahnya, ke dalam kontak langsung dengan bidang desain lanskap dan perencanaan kota,’’ tulis Deriu. ‘’Namun, karena serangan udara hanya memainkan peran kecil dalam Perang Dunia I, tidak ada upaya sporadis yang dilakukan untuk menghasilkan jenis kamuflase khusus perkotaan hingga beberapa dekade berikutnya,’’ tambahnya.
Sementara itu setelah perang berakhir, ahli listrik Ferdinand Jacopozzi dipekerjakan untuk mengiluminasi Menara Eiffel. Pertunjukan cahayanya sangat sukses sehingga ia mendapat julukan ‘’Pesulap Cahaya’’.*