AMERIKA SERIKAT menggelar pemilihan presiden Selasa (5/11/2024) lalu. Berdasarkan hasil hitung cepat yang muncul di sejumlah media setelah pemungutan suara berlangsung, kandidat presiden dari Partai Republik, Donald Trump, berhasil mengungguli lawan-lawannya, salah satunya Kamala Harris yang maju dalam kontestasi pilpres Amerika di bawah sokongan Partai Demokrat. Berdasarkan hasil hitung cepat, Trump yang pernah menjabat sebagai presiden Amerika Serikat pada 2016-2020 sukses meraup lebih dari 70 juta suara populer vote dan 295 suara elektoral. Sementara Harris yang kini tengah menjabat sebagai wakil presiden Amerika Serikat mendampingi Joe Bidden, berada di posisi kedua dengan perolehan 226 suara elektoral dan meraup sekitar 69 juta popular vote.
Meski keputusan resmi hasil pemungutan suara pilpres AS 2024 masih harus menunggu hingga beberapa waktu ke depan, hasil hitung cepat yang menunjukkan Trump sukses meraup 295 suara elektoral memastikan kandidat presiden dari Partai Republik itu kembali ke Gedung Putih, sebab ia berhasil mengumpulkan lebih dari 270 suara elektoral yang diperlukan untuk memenangkan pilpres AS.
Kekalahan Harris dari Trump dalam versi hitung cepat pilpres AS 2024 menarik perhatian publik, baik penduduk di Negeri Paman Sam maupun masyarakat dunia. Pasalnya, sejak deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat ditandatangani pada 4 Juli 1776, negara itu belum pernah secara resmi dipimpin oleh seorang perempuan. Sementara itu di masa kepemimpinan Presiden ke-28 Thomas Woodrow Wilson (menjabat pada 1913-1921), muncul beragam desas-desus yang menyebut bahwa istri keduanya, yaitu Edith Bolling Galt Wilson, berperan sebagai presiden bayangan. Desas-desus itu muncul bukan tanpa alasan. Edith yang menikah dengan Presiden Wilson pada Desember 1915 dikenal sebagai sosok yang tangguh dan pantang menyerah.
Baca juga:
Lembaga Survei Terkenal Salah Memprediksi Pilpres AS
Menurut Amy R. Slagell dan Susan Zaeske dalam “Edith Bolling Galt Wilson, Actions Speak Louder than Words”, termuat di Inventing a Voice, Edith yang lahir dari keluarga aristokrat di Wytheville, Virginia, pada 1872 itu bukan sosok yang mudah putus asa. Ini terlihat ketika suami pertamanya, Norman Galt, pria yang dipacarinya selama lebih dari empat tahun sebelum menikah pada 1896, meninggal mendadak di tahun 1908. Tak ingin berlama-lama larut dalam kesedihan, perempuan yang disebut memiliki keturunan langsung dari Putri Pocahontas dari Indian itu memutuskan untuk bangkit dan melanjutkan usaha toko perhiasan eksklusif yang ditinggalkan sang suami.
“Ketika Norman Galt meninggal, Ny. Galt dengan hati-hati memilih karyawan terpercaya untuk mengelola bisnis perhiasan keluarga. Meski begitu, ia tetap mengawasi operasional sehari-hari. Keuntungan yang stabil dari bisnis tersebut memungkinkannya untuk bepergian dan terlibat secara luas dalam kegiatan sosial dan bahkan menjadi salah satu perempuan pertama di Washington yang mengendarai mobil keliling kota,” tulis Slagell dan Zaeske.
Pertemuan Edith dengan Presiden Wilson yang terjadi di Gedung Putih pada 1915 tak hanya memengaruhi hidupnya, tetapi juga sang presiden yang kala itu tengah berduka atas kematian istri pertamanya, Ellen Louise Axson Wilson, di tahun 1914. Dukungan yang diberikan Edith untuk sang presiden membantu Wilson melalui masa-masa sulit setelah kepergian Ellen. Tak butuh waktu lama hingga hubungan persahabatan itu berubah menjadi cinta. Keduanya kemudian menikah di Washington D.C. pada 18 Desember 1915.
Edith tak hanya dikenal sebagai sosok istri yang setia dan perhatian, tetapi juga ibu negara yang selalu mendukung berbagai kebijakan pemerintahan. Ketika Amerika Serikat terlibat dalam Perang Dunia I, ia mengajak masyarakat untuk menyokong para serdadu di garis pertempuran dengan melakukan penghematan dan menggalang dana. Sejarawan Betty Boyd Caroli menulis dalam First Ladies bahwa sebagai bagian dari penghematan di masa perang, Edith meminjam sekawanan domba Shropshire dari sebuah peternakan di Virginia untuk memotong rumput di halaman Gedung Putih. Ketika bulu domba-domba itu sudah waktunya untuk dicukur, ia menyumbangkan bulu tersebut yang berjumlah sembilan puluh delapan pon, ke 48 negara bagian untuk dilelang dan hasilnya akan digunakan untuk kebutuhan perang.
Dalam perannya sebagai istri di ranah pribadi, Edith yang sangat memerhatikan kesehatan sang suami selalu berupaya untuk ada di sisi Wilson di masa-masa sulit ketika perang. Tak jarang Edith membantu suaminya dalam korespondensi, menerjemahkan dokumen, membantunya membuat keputusan, berjaga-jaga bersamanya saat ia bekerja hingga larut malam, hingga memaksa sang suami untuk beristirahat dan berekreasi ketika ada kesempatan. Besarnya perhatian Edith terhadap Wilson inilah yang kemudian membuat perannya sebagai istri presiden menjadi kontroversial.
Baca juga:
Presiden yang Memilih Hidup Melajang
Wilson yang memiliki perhatian besar terhadap upaya perdamaian internasional berangkat ke Paris bersama sang istri pada akhir tahun 1918 untuk merundingkan perjanjian damai yang berujung pada penandatanganan Perjanjian Versailles di bulan Juni 1919. Sekembalinya dari Eropa, Presiden Wilson meminta persetujuan Senat Amerika Serikat untuk pakta yang meliputi Liga Bangsa-Bangsa dengan Amerika Serikat sebagai anggota penuh.
“Presiden Wilson memandang perjanjian tersebut sebagai puncak dari upayanya untuk mencapai perdamaian yang langgeng, dan Ibu Negara sepenuhnya memiliki komitmen yang mendalam untuk meratifikasinya. Namun perjanjian itu mendapat tantangan di Senat, pro dan kontra menjadi tak terhindarkan. Selama musim panas 1919, ketika peluang untuk menyetujui perjanjian itu semakin kecil, Presiden Wilson memutuskan untuk membawa kasusnya secara langsung kepada rakyat Amerika,” tulis Lewis L. Gould dalam Edith Bolling Wilson, termuat di American First Ladies: Their Lives and Their Legacy.
Didampingi Edith, Presiden Wilson melakukan kampanye panjang ke berbagai wilayah dengan kereta api khusus kepresidenan. Kesibukan yang penuh ketegangan ini kemudian berdampak pada kesehatan Wilson. Setelah pidato di Pueblo, Colorado pada September 1919, Wilson mengeluh sakit yang menyebabkan aktivitas kampanyenya dihentikan dengan rombongan presiden segera kembali ke Gedung Putih. Para ahli medis dipanggil untuk mendiagnosa kondisi presiden. Namun sebelum mereka sempat memeriksanya, Presiden Wilson mengalami stroke berat yang membuatnya kesulitan untuk menjalankan tugas sebagai pemimpin negara.
Edith yang khawatir dengan keselamatan sang suami kemudian membuat sejumlah keputusan penting. Setelah berkonsultasi dengan sejumlah ahli dan orang-orang kepercayaan sang suami, Edith memutuskan bahwa Presiden Wilson tidak boleh mengundurkan diri dari jabatannya. Pada masa itu, belum ada ketentuan dalam Konstitusi yang mengatur tentang kondisi kesehatan presiden. Selain itu, Wakil Presiden Thomas Riley Marshall tidak dianggap sebagai tokoh politik yang kuat. Keputusan penting kedua yang diambil Edith Wilson adalah bahwa publik tidak boleh mengetahui secara rinci mengenai penyakit yang diderita presiden. Ia bahkan bersikeras agar anggota kabinet tidak diberi penjelasan tentang kondisi kesehatan Presiden Wilson yang sesungguhnya.
Menurut Gould sebagai dampak dari keputusan tersebut, Edith mengisi kekosongan kursi presiden dengan mengambil sebanyak mungkin tugas-tugas prosedural penting kepresidenan yang dapat ia tangani. Dokumen-dokumen negara yang dikirim ke meja kerja presiden diperiksa dan disortir terlebih dahulu oleh Edith. Hanya dokumen-dokumen yang dianggap mendesak yang ia berikan kepada Wilson untuk dipertimbangkan ketika sang presiden merasa cukup kuat untuk mempelajarinya.
Baca juga:
Empat Pilpres Kontroversial Amerika
Selain memutuskan hal-hal apa saja yang dianggap mendesak dan bisa ditunda, Edith juga menyaring beberapa orang yang diizinkan untuk mengunjungi Presiden Wilson. Selain itu dikisahkan pula bahwa dalam beberapa kesempatan, sang ibu negara bertemu dengan para tamu yang hendak menemui presiden. Edith akan menemui mereka di ruang duduknya, di mana ia akan menyampaikan pesan-pesan dari presiden secara lisan. Ketika ia merasa tidak siap untuk menjawab pertanyaan, Edith akan masuk ke ruang perawatan Presiden Wilson yang berada bersebelahan dengan tempat menyambut tamu, mendiskusikan masalah tersebut dengan suaminya, dan kembali dengan sebuah pernyataan.
Tak diketahui dengan pasti berapa lama Edith bertindak sebagai pembawa pesan dan penjaga pintu untuk Presiden Wilson. Beberapa peneliti menyebut tugas itu berlangsung selama enam minggu; tetapi ada juga yang menyatakan bahwa Edith mengemban tugas tersebut selama enam bulan, hingga presiden menghadiri rapat kabinet pada 13 April 1920. Apa yang dilakukan Edith lambat laun menuai sorotan dari berbagai pihak yang menganggapnya tengah berupaya mengambil alih kendali pemerintahan Amerika. Kritik pun mulai bermunculan.
“Kritikus paling keras terhadap tindakan Nyonya Wilson berasal dari Judith L. Weaver yang mengganggap ibu negara bertanggungjawab besar atas kegagalan untuk mendapatkan kesepakatan Liga yang disetujui oleh Senat. Edith dianggap lebih mengutamakan masalah pribadi daripada kepentingan politik selama membantu presiden di masa-masa sulitnya. Nyonya Wilson melakukan kesalahan, menurut Weaver, karena terlalu mementingkan ‘kesejahteraan suaminya’ dan tidak terlalu peduli dengan kesejahteraan negara,” tulis Slagell dan Zaeske.
Kritik atas campur tangannya dalam pemerintahan AS itu pula yang kemudian memunculkan pembahasan mengenai “pemerintahan rok” dan “presiden wanita pertama”. Pada akhirnya, kinerjanya di Gedung Putih sering digambarkan sebagai contoh berbahaya yang mungkin muncul setiap kali ibu negara berusaha untuk menggunakan kekuasaan yang sesungguhnya.
Masa kepresidenan Wilson berlangsung hingga tahun 1920. Setelah kemenangan kandidat Partai Republik Warren G. Harding yang dilantik sebagai presiden AS pada 4 Maret 1921, keluarga Wilson tinggal di S Street yang berada di kawasan Washington D.C. Mereka tinggal di sana hingga kematian Wilson pada Februari 1924. Edith mendampingi suaminya selama 38 tahun dan tetap menjalin relasi yang baik dengan Partai Demokrat yang menaungi suaminya. Edith meninggal pada 28 Desember 1961, tepat di peringatan 105 tahun kelahiran sang suami.