DI tengah isu naiknya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, badan dan jabatan baru muncul dalam kabinet Prabowo-Gibran. “Badan Penerimaan Negara menjadi Kementerian Penerimaan Negara. Menterinya sudah ada," kata Hashim Djojohadikusumo, anggota Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo.
Adanya jabatan tersebut membuat Kementerian Keuangan bakal dirombak. Dalam Badan Penerimaan Negara terdapat Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea Cukai, dan Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak. Ketiganya sebelumnya berada di bawah Kementerian Keuangan. Kebijakan kabinet baru ini menuai polemik, yang mengesankan kabinet ini tidak terencana dengan baik.
Apa yang dilakukan kabinet Prabowo-Gibran itu sejatinya bukan hal yang baru. Dalam kabinet Dwikora, Sukarno sudah pernah melakukannya. Namun, hasilnya tidak signifikan dalam menaikkan penghasilan negara karena krisis ekonomi parah terjadi di Indonesia pada 1965.
Baca juga:
Kabinet 100 Menteri Dulu dan Kini
Hampir 60 tahun silam, Brigadir Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso menerima telepon dari pembantu Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Hoegeng diminta menghadap Sultan.
Esok paginya, Hoegeng mendatangi rumah Sultan Hamengkubuwono IX di Jakarta. Sesampainya di sana, Hoegeng malah diminta ikut naik mobil jip yang disupiri Sultan sendiri.
“Sudah tahulah Nak Hoegeng bahwa Nak Hoegeng akan diangkat jadi Menteri Iuran Negara?” terang Sultan dengan gaya kebapakannya sambil menyetir jip.
Hoegeng rupanya sudah tahu bakal diangkat menjadi Menteri Iuran Negara setelah dipanggil Bung Karno. Namun, di situ Hoegeng baru tahu bahwa Sultan Hamengkubuwono IX yang meminta kepada Bung Karno agar dirinya dijadikan menteri.
“Bila dianalogikan dengan birokrasi sekarang, lingkungan tugas Menteri Iuran Negara kira-kira sama dengan Direktur Jenderal Pajak,” catat Aris Santoso dkk. dalam Hoegeng, Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa.
Baca juga:
Insiden Hoegeng dan Robby Tjahjadi di Cendana 8
Menurut Peraturan Presiden RI Nomor 3 Tahun 1966 tentang Pengamanan Bidang Iuran Negara, Menteri Iuran Negara ditugaskan mengadakan koordinasi dan pengawasan atas segala iuran Negara dan dana yang-dipungut untuk kepentingan pemerintahan yang tidak menimbulkan hubungan keperdataan dalam rangka kebijaksanaan umum pemerintah.
Hoegeng dilantik menjadi Menteri Iuran Negara pada 19 Juni 1965. Sebelumnya, dia merupakan kepala Jawatan Imigrasi sejak 19 Januari 1961.
Hoegeng menilai, Jawatan Imigrasi baik-baik saja ketika dipimpin oleh orang imigrasi sendiri. Namun, kebijakan politik membuatnya “oleng”.
“Ketika saya menjadi Menteri Iuran Negara maka Indonesia sedang mengobarkan Ganyang Malaysia. Perekonomian bangkrut karena biaya militer yang besar dan karena boikot internasional --kecuali dengan negara-negara komunis. Keterkucilan Indonesia amat memukul sektor perdagangan, maka dengan sendirinya tanpa devisa dan pemasukan sektor perpajakan,” aku Hoegeng dalam otobiografinya, Hoegeng Polisi Idaman dan Kenyataan.
Baca juga:
Kerja Hoegeng jelas sulit karena iuran yang diharapkan tak mungkin besar. Hal itu makin bertambah karena perekonomian yang buruk melahirkan banyak demonstrasi. Dalam sebuah demonstrasi, mobil Hoegeng yang hendak ke Istana Negera dicegat demonstran dan ban mobilnya dikempesi. Hoegeng terpaksa berjalan kaki untuk bertemu pejabat lain.
Hoegeng bekerja sebagai Menteri Iuran Negara dalam hitungan bulan saja. Pada 11 Maret 1966, jabatan Hoegeng berganti menjadi Menteri Sekretaris Kabinet Inti. Kemudian dia menjadi Sekretaris Presidium Kabinet sebelum kembali ke Angkatan Kepolisian Republik Indonesia dengan jabatan Deputi Menteri Muda Panglima Angkatan Kepolisian Urusan Operasi. Setelahnya, Hoegeng menjadi Kapolri lalu pensiun sebagai kritikus rezim Soeharto.*