SEWAKTU Letjen TNI Prabowo Subianto diberhentikan dari TNI, ayahnya yang juga ekonom Sumitro Djojohadikusumo buka suara kepada media. Menurut Sumitro, pemberhentian itu tidak berlandaskan keadilan bagi putra sulungnya. Sumitro juga tak sungkan mengkritik Presiden Soeharto yang merupakan besannya sekaligus mertua Prabowo.
“Saya masih ingat tahun pertama dia di Akabri, taruna di situ diajar untuk kejam sekali. Taruna kedua dan ketiga itu boleh apa saja dengan yuniornya. Di West Point nggak boleh begitu. Jadi dampak dari budaya pendidikan seperti itu, saya rasa sekarang it is danger, apalagi seperti menghadapi raja Jawa ini (Soeharto), jenderal-jenderal nggak berani,” kata Sumitro dikutip Majalah Detak, 8 September, 1998, seperti dihimpun Muhidin M. Dahlan dalam Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998.
Selama rezim Orde Baru (Orba), Presiden Soeharto disebut-sebut berkuasa layaknya raja Jawa. Kecendrungan itu mulai terasa setelah memasuki dua dekade kepemimpinan Soeharto. Pada era 1980-an yang merupakan masa puncak kejayaan Orde Baru, Soeharto menjalankan pemerintahan semakin terpusat di bawah kendalinya. Lewat pendekatan keamanan, kepemimpinan Soeharto kadang pula bersikap represif bagi oposisi yang bersuara kritis kepada pemerintah.
Baca juga: Soeharto Capek Jadi Presiden
Soeharto sendiri terkesan menempatkan dan memperlakukan dirinya bak seorang raja. Bisik-bisik soal itu dibeberkan pakar politik militer Indonesia Salim Said lewat percakapannya dengan Marzuki Arifin, seorang rekan wartawan. Marzuki alias Juki terbilang dekat dengan keluarga Cendana dan Opsus Ali Moertopo. Dalam suatu penerbangan ke Hong Kong pada pertengahan 1970-an, Salim jumpa Juki di atas pesawat. Pada kesempatan itu, Juki bercerita banyak tentang pengetahuannya mengenai keluarga Cendana. Salah satu yang menarik adalah percakapannya dengan Ibu Tien Soeharto. Konon first lady itu dalam suatu perjalanan ke luar negeri pernah berkata kepada Juki
“Bapak itu sebenarnya Raja, tapi sekarang istilah Raja tidak dipakai lagi. Yang dipakai Presiden saja,” ujar Ibu Tien seperti dituturkan ulang Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto.
Sementara itu, sejarawan dan wartawan Michael R. J. Vatikosis juga melihat Soeharto sebagai seorang raja Jawa. Pengamatan itu diperoleh Vatikosis selama empat tahun di Indonesia sebagai koresponden dan kepala perwakilan majalah berita Far Eastern Economic. Vatikosis menganalogikan Soeharto seperti seorang raja memberikan perintah bertentangan kepada para pemimpin tentara sehingga mereka bertempur sampai mati antara yang satu melawan yang lain.
“Dalam Kabinet Soeharto, aliansi politik para menterinya susah dibayangkan. Di antara para pembantunya, Soeharto mengadu dengan canggih Menteri yang militer melawan Menteri sipil, yang birokrat melawan teknokrat, para loyalis terhadap mereka yang progresif dan berpikir bebas,” jelas Vatikosis dalam bukunya Indonesian Politics under Suharto.
Baca juga: Nasib Jenderal Pembangkang di Era Soeharto
Dalam praktik kekuasaan, kepemimpinan Soeharto kental dengan nuansa budaya Jawa. Menurut budayawan Melani Budianta, Soeharto justru menyalahgunakan budaya Jawa untuk menopang kekuasaannya. Seperti misalnya, budaya Jawa yang mengutamakan kesopanan dan harmoni jadi alasan untuk menanamkan kepatuhan. Mimikri dan bias Jawa berlanjut hingga dialek Jawa menjadi idiom dan jargon negara yang tidak resmi.
“Dalam budaya Orde Baru, persatuan dan keseragaman lebih ditekankan daripada pluralisme; kesesuaian daripada perbedaan. Budaya orde baru pada dasarnya bersifat paternalistik, dengan kekuasaan terpusat di kota besar dan lebih khusus lagi di tangan presiden, yang berperilaku seperti raja Jawa,” ungkap Melani dalam “Discourse of cultural identity in Indonesia during the 1997--1998 monetary crisis” termuat pada kumpulan tulisan The Inter-Asia Cultural Studies Reader suntingan Kuan-Hsing Chen dan Chua Beng Huat.
Selain dalam tatanan kekuasaan, kecenderungan Soeharto berlagak seperti raja Jawa juga melekat dalam ritual pribadi. Menjelang peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus, Soeharto biasanya selalu berpuasa. Begitupun ketika menjelang hari-hari penting lainnya. Sudah menjadi rahasia umum pula, Soeharto selalu mencari nasihat dari guru spritualnya. Dia selalu dikelilingi oleh benda pusaka yang dianggap sakti, di antaranya topeng Gadjah Mada dari abad ke-13 asal Bali dan gong keramat dari Keraton Solo. Upaya meraih kekuatan spiritual dari ritual tersebut persis seperti laku raja-raja Jawa kuno.
Baca juga: Bukan Raja Jawa Biasa
Menurut sejarawan Onghokham, Soeharto adalah Pakubuwono, paku alam semesta yang menyatukan segalanya. Apalagi saat raja-raja Jawa lain sezamannya yang berpengaruh telah lengser, termasuk Hamengkubuwono VII dan Mangkunegoro VI. Nama terakhir memiliki hubungan keluarga dengan istri Soeharto.
“Sebagai seorang raja Jawa, Soeharto selalu merasa bahwa kendali pribadinya serta keselarasan dengan dunia spiritual adalah jaminan kesejahteraan bangsa dan negara. Singkat kata, nasibnya adalah nasib bangsa dan negara,” catat Ong seperti ditulis ulang David Reeve dalam biografi Tetap Jadi Onghokham: Sejarah Seorang Sejarawan.
Hingga pada Pemilu 1987, Golkar kembali menang telak dengan perolehan 73 persen suara. Kemenangan ini sekaligus mendudukkan Soeharto ke kursi kepresidenan untuk keempat kalinya. Namun, tanda-tanda suksesi kepemimpinan masih belum terlihat.
Baca juga: Perkara Tombol Panggil di Kantor DPP Golkar
Menurut pendiri lembaga think thank Orba Jusuf Wanandi, Soeharto mengindentifikasi dirinya sebagai penerima wahyu untuk menyelamatkan negara dari kebangkrutan rezim Orde Lama. Karena itu, dia akan terus memerintah selama wahyunya masih ada. Soeharto tidak bersedia lengser begitu saja. Sebagaimana mitos Kerajaan Mataram yang diyakini, Soeharto mengatakan, selama wahyu masih melekat, maka kekuasaan dalam genggaman.
“Pada akhir abad ke-20, cara seperti ini tidak berlaku lagi. Masalahnya sangat besar, kompleks, dan sulit diurai. Terlalu lama berkuasa sama saja dengan mengundang bencana,” terang Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1968—1998.
Bencana bagi Soeharto karena kelamaan berkuasa itu memang benar terjadi. Pada 1998, krisis ekonomi dan gejolak politik menyebabkan rezim Orde Baru tumbang dan Soeharto lengser dari kekuasan dengan cara tidak terhormat. Pengalaman ini kiranya menjadi peringatan bagi penguasa yang ingin melanggengkan kekuasaan lewat jalan yang menyimpang dari amanat konstitusi.
Baca juga: Kesaksian Dua Jenderal