DI zaman Hindia Belanda, ada seorang sersan Jawa bernama Kunto. Jebolan kelas dua Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) ini masuk Koninklijk Nederlandsche Indische Leger (KNIL) sejak muda. Dia pernah bertugas di Kutaraja, Tapak Tuan, Purworejo, Semarang, dan Magelang.
Gaji seorang sersan KNIL kala itu lebih bagus dibanding sersan TNI sekarang. Setidaknya, Sersan Kunto tiap bulan bisa terima gaji lebih dari 100 gulden.
Selagi muda, Kunto sering iseng beli lotre. Majalah Benteng Negara tahun 4 tahun VIII 1957 menyebut, dia enam kali menang lotre. Dia pernah memenangkan hadiah lotre sebesar 30 ribu gulden. Alih-alih segera menghabiskan uang panas itu, dia justru menggunakannya untuk investasi. Beberapa mobil dia beli untuk disewakan.
Dari penyewaan mobil itulah dia mendapat pemasukan tambahan. Bahkan, ia pernah dapat pemasukan hingga 750 gulden dalam sebulan. Sebelum Jepang menduduki Indonesia, kekayaan Kunto mencapai 75 ribu gulden.
Namun Perang Dunia II membuat kekayaannya hilang. Akibatnya di zaman pendudukan Jepang dia yang tak lagi jadi sersan, berdagang makanan.
Setelah Indonesia merdeka, dia masuk TNI dan tidak ada berita tentangnya menjadi kaya setelah jadi TNI. Sementara, orang Indonesia yang jadi KNIL malah menjadi kaya setelah keluar dari KNIL. Di antaranya cukup sohor dalam sejarah Indonesia.
Laurens Saerang
Di kampung leluhurnya Prabowo Subianto, Kecamatan Langowan, terdapat sebuah makam tua atas nama Laurens Saerang (lahir di Muara Teweh, 27 Maret 1920 dan meninggal di Jakarta, 11 Desember 1990). Semasa hidupnya, Laurens adalah orang terpandang tidak hanya di Langowan saja, tapi di Sulawesi Utara, bahkan cukup dikenal di Jakarta.
Ketika masih muda, Laurens adalah anggota KNIL. Itu disandangnya hingga sebelum Pemberontakan 3 Mei 1950. Dia memimpin pemberontakan itu dan kemudian bergabung masuk TNI dalam Batalyon 3 Mei.
Namun Laurens tak lama di TNI. Konon dia hanya sampai pangkat kapten. Dia lebih dikenal sebagai pengusaha. Bisnisnya tak jauh dari perdagangan di era 1950-an.
“Ia sebelumnya dikenal sebagai konglomerat yang dijuluki ‘raja besi tua’. Pria ganteng asal Langowan ini menjadi kaya-raya setelah sukses menjadi pedagang rongsokan peralatan Perang Dunia II di Pulau Morotai, Halmahera,” catat Phill Sulu dalam Permesta: Jejak-jejak pengembaraan.
Setelah perang usai, pada 1950 bisnis di berbagai tempat Indonesia mulai bergerak. Pun dengan bisnis Laurens. Selain bisnis besi tua, dia juga terlibat dalam bisnis kopra. Koran De Nieuwsgier tanggal 6 Agustus 1956 menyebut dia adalah direktur NV Indora, salah satu penyalur kopra dari Sulawesi Utara.
Sebagai orang kaya, dia cukup dikenal di Jakarta. Tak mengherankan bila dia pernah menjadi suami dari artis Titin Sumarni.
Namun kiprah politik kembali membawa Laurens “mengambil risiko”. Sejak 1957, dia terseret dalam arus pergolakan Permesta. Selain itu dia adalah pemimpin Front Pembangunan Minahasa. Semua itu dilakukannya untuk mengatasi kesenjangan antara pusat dengan daerah.
Ketika Permesta eksis di Sulawesi Utara, Laurens dijadikan bupati Minahasa tandingan oleh Permesta. Dia terhubung pula dengan pemimpin kelompok Pasukan Pembela Keadilan (PPK), yakni Jan Timbuleng.
Toh, Permesta akhirnya ditekuk pemerintah pusat. Pada 1961, Laurens berhenti berseberangan dengan pusat. Dia kembali jadi orang sipil biasa, tetap berpengaruh meski tak sejaya sebelumnya.
Julius Tahija
Sebelum jadi tentara di KNIL, Julius Tahija (1916-2003) sudah menunjukkan bakat dagangnya meski secara umum orang Ambon tak dikenal sebagai pedagang. Namun, bakat bisnis itu malah dijauhinya pada umur 20 tahunan dengan menjadi sersan KNIL.
Waktu Jepang akan menduduki Hindia Belanda, Julius ikut “hijrah” ke Australia sebagai tentara. Dirinya lalu terlibat dalam sebuah misi berbahaya di Saumlaki pada pertengahan 1942. Regunya dengan berani menghambat pendaratan tentara Jepang hingga terlibat pertempuran sengit. Atas keberaniannya itu, Julius dan pasukannya dihadiahi penghargaan oleh militer Belanda. Pangkat Julius dinaikkan menjadi letnan.
Pengalamannya itu membuat Julius dijadikan pelatih pasukan khusus antar-negara di front Pasifik, yang disebut Z Force. Setelah 1945, pangkatnya naik jadi kapten.
Setelah diperbantukan pada Jenderal Spoor antara 1947 dan 1949, Julius sempat dijadikan menteri sosial Negara Indonesia Timur (NIT). Setelah NIT dan KNIL bubar, Julius masuk TNI dengan pangkat letnan kolonel. Meski sebentar di TNI, Julius mendapat banyak kawan di kalangan petinggi tentara yang cukup berpengaruh. Maka tak sulit baginya memasuki fase kehidupan baru setelah keluar dari TNI.
“Beberapa hari kemudian, surat kabar di Jakarta memuat berita: Letkol Tahija pensiun. Saya menerima sejumlah telepon penawaran kerja, di antaranya dari perusahaan minyak Amerika bernama Caltex Pasifik Indonesia,” aku Julius Tahija dalam Melintas Cakrawala (1997).
Mula-mula, karier Julius di perusahaan yang beroperasi di Riau dan belakangan dikenal sebagai Chevron itu adalah assistent managing director. Sambil bekerja, dia terus belajar bisnis perminyakan. Bersama Julius perusahaan itu beroperasi dengan baik. Jabatan Tahija pun naik terus di Caltex hingga setara direktur utama.
Kemudian, Julius diajak memimpin Freeport Indonesia yang menambang di tengah Papua. Selain di pertambangan, Julius Tahija juga menjajal bisnis perbankan. Bersama Soedarpo Sastrosatomo, Julius mendirikan Bank Niaga pada 1955.
“Pada awal tahun 1970 pegawainya kurang dari 60 orang. Mereka berhasil melalui zaman Sukarno yang sulit,” catat Julius Tahija, yang di suatu masa pernah disebut sebagai pemilik bank Niaga yang terus berinovasi.
Soeharto
Hampir semura orang Indonesia mengenalnya. Sebagai pemuda tanpa gelar ningrat dan berkantong cekak, KNIL seakan jadi satu-satunya tempat buat Soeharto menyambung hidup dan memukan jatidiri. Dalam otobiografinya Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya, Soeharto mengaku, “menemukan kesenangan dan mulai tertarik untuk benar-benar bisa hidup.” Dia terakhir di KNIL berhasil mencapai pangkat sersan. Sebuah pencapaian luar biasa untuk pemuda desa sepertinya.
Setelah KNIL bubar pada 1942, Soeharto masuk PETA buatan Jepang pada 1943 lalu masuk ke militer Indonesia yang kini didikenal sebagai TNI pada 1945. Dengan cepat dia jadi letnan kolonel kendati masih sangat muda. Pada 1966, dia sudah letnan jenderal di TNI.
Ketika tentara telah berhasil diletakkan di bawah dirinya dan Orde Baru berhasil menyingkirkan pemerintahan Sukarno, karier politik Seoharto langsung naik menjadi orang nomor satu di Indonesia. Kurang-lebih setahun menjadi pejabat presiden RI, pada 1968 Soeharto dilantik menjadi presiden dan itu bertahan hingga 32 tahun ke depan.
Dalam rezim Orde Barunya, Soeharto terkait dengan konglomerasi Sudomo Salim dan Bob Hasan. Mulai 1980-an, semua anaknya pun gencar bergiat dalam kegiatan bisnis. Maka Soeharto adalah presiden Indonesia yang kaya-raya karena bisnis orang di sekitarnya. Saking kayanya, Majalah Time pernah menuliskannya sebagai pemimpin terkorup di dunia, membuat Soeharto berang dan menggugatnya.