TITIEK Puspa menjadi penyanyi yang menyaksikan beragam peristiwa dalam sejarah Indonesia. Ia lahir ketika Belanda masih menguasai Indonesia. Dibesarkan di masa pendudukan Jepang, masa kecilnya diwarnai kisah menggetarkan terkait perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Puluhan tahun berkiprah di industri hiburan, wanita kelahiran Tanjung, Kalimantan Selatan, 1 November 1937, itu turut merasakan gejolak sosial politik tahun 1960-an dan 1970-an, ketika pemerintahan beralih dari Orde Lama ke Orde Baru.
Memulai karier sebagai penyanyi dengan nama Titiek Puspa di tahun 1950-an, putri seorang mantri ini ketika kecil beberapa kali berganti nama: Sudarwati berganti menjadi Kadarwati, dan kemudian Sumarti. Titiek sukses menembus industri hiburan di Jakarta usai tampil membawakan lagu Chandra Buana di Panggung Gembira sebagai malam puncak Lomba Bintang Radio yang diselenggarakan RRI Jakarta pada pertengahan tahun 1954. Tak butuh waktu lama hingga wanita yang memiliki suara alto dengan husky voice itu mendapatkan reputasi sebagai penyanyi papan atas.
Dalam biografinya, Titiek Puspa: A Legendary Diva yang disusun oleh Alberthiene Endah, mantan guru sekolah taman kanak-kanak itu mengenang masa-masa awal dirinya merintis sebagai penyanyi di Jakarta. Pada 1959, Titiek kembali ikut serta dalam kontes pencarian bakat menyanyi, Bintang Radio di Jakarta.
Baca juga:
“Seleksi awal, saya lulus. Di malam semifinal, saya lulus lagi. Namun di malam final, sebuah kebodohan saya lakukan. Saya makan banyak permen yang diberi orang. Akibatnya suara saya serak saat menyanyikan lagu Di Wajahmu Kulihat Bulan. Walau tak menang di tingkat nasional, saya sudah kian memadatkan keyakinan saya untuk segera memijak karier menyanyi di ibu kota,” kenang Titiek.
Sembari mengikuti serangkaian acara di ajang Bintang Radio di Jakarta, Titiek diajak perusahaan rekaman Lokananta untuk rekaman piringan hitam. Dalam rekaman kali ini, lagu Kasih di antara Remaja ciptaan Hardo yang dinyanyikan Titiek berhasil menjadi hits.
“RRI terus menerus memutar lagu syahdu ini. Selain lagu itu, saya juga menyanyikan Oh Angin. Sukses lagu ini membuat popularitas saya semakin menanjak di kancah nasional. Sinyal bahwa dunia musik Jakarta sudah menebarkan karpet merah untuk saya, sudah terlihat,” kata ibu dua anak tersebut.
Seiring popularitasnya menanjak pada paruh kedua tahun 1960, Titiek semakin sering diundang ke berbagai acara. Dari penyanyi radio, Titiek menjadi penyanyi yang show di depan ribuan orang. Sebutan “bintang” mulai disematkan kepadanya.
Baca juga:
Senandung Lenso ala Bung Karno
“Yang lebih gila, suatu hari datang tawaran mengejutkan. Saya diajak bergabung dengan tim budaya yang melakukan kunjungan muhibah seni ke Malaya. RRI dipercaya pemerintah untuk melakukan lawatan seni ke Negeri Jiran... Perjalanan ke Malaya kian memperkuat posisi saya sebagai bintang yang tengah menanjak. Di pengujung tahun 1960, sebuah tawaran kembali mengejutkan saya. Gordon Tobing mengajak saya untuk melakukan audisi menyanyi di Istana Negara,” kenang Titiek.
Dengan mengenakan kebaya dan kain yang dibebat kencang, serta selendang yang diikat di sisi pinggul, Titiek memasuki istana. Gadis pemalu bersuara merdu itu tak pernah terbayang akan bertemu dengan presiden yang juga proklamator kemerdekaan Indonesia. Setibanya di ruang tamu istana, suara langkah kaki Bung Karno terdengar dan wajah kharismatik itu pun muncul.
“Ini yang namanya Titiek Puspa?” kata Bung Karno ramah. “Saya dengar kamu jago sekali menyanyi ya? Saya mau mendengar suara kamu. Ayo menyanyi untuk saya,” tambahnya sebagaimana dikenang oleh Titiek.
Di hadapan Bung Karno, Titiek menyanyikan beberapa lagu, salah satunya Kasih di antara Remaja. Setelah lagu didendangkan, Bung Karno memberikan tepuk tangan panjang. Setelah selesai menyanyikan beberapa lagu, sang presiden mengantar tamunya ke pintu keluar dengan keramahan yang sangat mengesankan. Sembari menyalami Titiek Puspa, Bung Karno berkata “suaramu bagus sekali. Mulai sekarang, kamu saya tasbihkan jadi penyanyi Istana, ya.”
Pertemuan dengan Bung Karno di istana membuahkan pertemuan-pertemuan selanjutnya dalam berbagai ajang pertunjukan musik. Politisi yang juga pengusaha, Jusuf Wanandi mencatat dalam Shades of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia, 1965-1998, Titiek Puspa menjadi salah satu penyanyi yang hadir dalam “pesta-pesta Lenso” yang diselenggarakan Bung Karno di Istana. Acara tersebut kemungkinan besar dimulai pada pukul 7 malam dan berakhir jam 11 malam.
Baca juga:
Nani Nurani Affandi dari Istana ke Penjara
Titiek mengungkapkan, pujian Bung Karno terhadap caranya berpakaian membuatnya diminta sang presiden untuk memperlihatkan cara mengenakan kain di hadapan publik asing. Ketika itu, pada 1964, Indonesia mengirim tim budaya dan seni ke ajang seni tingkat dunia Floating Fair di sejumlah negara termasuk Amerika.
“Lihat itu Titiek Puspa. Cara pakai kainnya tidak membuat dia sulit berjalan. Kainnya cantik, jalannya juga bebas,” cerita Titiek.
Titiek tak hanya menjadi favorit Sukarno yang tampil dalam upacara-upacara nasional dan acara-acara kenegaraan untuk pejabat asing. Andrew N. Weintraub, profesor musik (ethnomusicology) di University of Pittsburgh dalam “Titiek Puspa: Gendered Modernity in 1960s and 1970s Indonesian Popular Music”, termuat di Vamping the Stage: Female Voices of Asian Modernities, menyebut peran sebagai penyanyi Istana berlanjut setelah Soeharto menjabat presiden. Ia bahkan berkawan dekat dengan ibu negara Tien Soeharto.
“Dukugan Titiek terhadap rezim-rezim tersebut membantu melegitimasi mereka, dan sebagai gantinya, rezim-rezim tersebut memberikan perlindungan dan kebebasan dari sensor. Hubungan quid pro quo ini sangat penting bagi kesuksesan Titiek,” tulis Weintraub.
Baca juga:
Hubungan baik dengan Soeharto dan istrinya, Tien Soeharto, dikisahkan Titiek Puspa dalam biografinya.
“Ketika ulang tahun TMII (Taman Mini Indonesia Indah) tahun 1986, saya diminta menyanyi di depan Pak Harto dan Bu Tien, beserta ratusan undangan. Saya menyanyikan lagu ciptaan sendiri, Dua Sejoli, Jatuh Cinta, dan beberapa lagi. Sehabis manggung saya berjalan ke toilet. Mendadak sebuah bayangan melintas. Bu Tien berjalan di sisi saya. ‘Tiek, lagu ciptaanmu itu bener-bener enak yo!’ tiba-tiba Bu Tien mendendangkan lagu Jatuh Cinta dengan fasih dan lincah... ‘Wah, kowe kok ngerti banget sih rasane jatuh cinta. Sampai sekarang, cintaku sama Bapak ndak abis-abis,’ katanya dengan wajah memerah. Saya merasa sangat tersanjung... Begitulah Bu Tien. Persahabatan kami terjalin sangat manis,” kata Titiek.
Pujian tak hanya datang dari Tien Soeharto, suaminya juga pernah memuji kepiawaian Titiek Puspa dalam menciptakan lagu. Ketika itu, Titiek diminta untuk membuat lagu untuk presiden. Teringat tayangan berita tentang Soeharto di TVRI yang menyumbang beras bagi penduduk Ethiopia yang kelaparan, Titiek spontan membuat melodi dan syair yang berjudul Bapak Pembangunan. Menurutnya, tindakan tersebut menjadi penyejuk rasa dan menyelamatkan muka bangsa, mengingat saat itu masyarakat dihebohkan oleh tudingan Bob Geldof, musisi Irlandia, yang mengatakan Indonesia membajak lagu-lagu dalam proyek menolong korban tragedi kelaparan di Ethiopia.
Lagu Bapak Pembangunan kemudian dinyanyikan di acara ulang tahun Golkar. Ketika lagu itu tuntas didendangkan, Soeharto menemui Titiek. “Makasih, Tiek, lagune apik,” katanya.
Kendati bangga karena lagunya diapresiasi Soeharto, Titiek tak memungkiri lagu itu menuai pro dan kontra.
“Pascapublikasi lagu itu, sejumlah komentar mengarah pada saya. Ada yang mengatakan saya cari muka. Ada yang bilang saya berusaha mengambil hati Cendana. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Otak saya keminternya tidak sampai ke situ. Mana saya tahu urusan politik, partai, apa pun. Yang saya tangkap dari diri Pak Harto ya bagaimana dia dengan gemilang menggenjot pembangunan di masa itu... Saya hanya merekam rasa, mendapat ilham, dan mencipta. Titik,” katanya.
Menurut Weintraub, hubungan baik antara Titiek Puspa dengan Sukarno maupun Soeharto tak membuat penyanyi yang juga terjun dalam dunia seni peran dan teater musikal itu menjadi corong dari “perintah” politik masing-masing rezim.
“Suaranya yang relatif otonom tidak selaras dengan rezim manapun. Suara dan tubuh Titiek menjadi medan yang diperebutkan di kedua rezim presiden, yang mengagungkan dan merayakannya, tetapi juga ingin mengendalikannya. Tatanan patriarkis menggunakannya sebagai simbol kewanitaan yang tepat dalam perannya sebagai istri dan ibu, tetapi ia mengembangkan citra sebagai wanita modern yang mandiri dan sukses yang mendukung suami dan anggota keluarga lainnya. Titiek memainkan peran penting dalam ideologi modernitas setiap rezim, namun ia juga menyuarakan keterpisahan antara masyarakat sipil dan tatanan politik yang berkuasa,” jelas Weintraub.
Baca juga:
Tien Soeharto, Ibu Negara Tiga Dekade
“Lagu-lagu yang diciptakan Titiek pada masa Orde Lama yang antikolonial menunjukkan sebuah lanskap modernitas yang dipenuhi dengan musik populer Amerika, momok kapitalisme, dan selebritas perempuan. Sebaliknya, beberapa lagu yang diciptakannya pada masa Orde Baru yang neoliberal dan neokolonial mencerminkan kepekaan progresif-revolusioner yang masih tersisa, kepedulian terhadap masyarakat Indonesia, dan kritik terhadap pembangunan ekonomi yang terpusat pada modal sebagai penyebab masalah sosial yang meluas,” tambahnya.
Apa yang diungkapkan Slamet Raharjo tentang kesannya terhadap Titiek Puspa dalam biografi sang maestro mungkin dapat menggambarkan posisi Titiek Puspa sebagai seorang seniman lintas zaman. Menurutnya, Titiek adalah anak zaman yang mampu menyerap berbagai hal yang terjadi dalam setiap masa yang telah ia lewati dan menjadikannya bagian dari “rasa” kehidupan di setiap zaman yang tertuang dengan apik dalam sebuah lagu. Itu sebabnya, ia menembus beberapa dekade karena karyanya selalu pas dengan zaman.
“Memang pada akhirnya, kerap ada kekeliruan dari sejumlah pihak dalam memandang arah pikiran Titiek Puspa. Ia membuat lagu untuk Sukarno. Ia membuat lagu untuk Soeharto. Lalu ia dikatakan sebagai seseorang yang tak punya prinsip dalam keberpihakan. Menurut saya itu pendapat yang salah. Jika kita tanya apa prinsip seorang Titiek Puspa dalam berkarya, jawabannya adalah prinsip humanity. Dia bukan seorang yang paham politik, dia tidak punya kepentingan untuk memahami polemik dalam politik. Yang dia lakukan hanya mengekspresikan jiwanya yang humanis. Itu saja,” ungkap pria yang dikenal sebagai aktor, sutradara, dan penulis naskah itu.*