WANGSIT mendatangi Mangunwidjojo kala mendekam di Penjara Wirogunan, Yogyakarta pada 1946. Dalam semedinya di penjara, Mangunwidjojo beroleh petunjuk untuk mengembangkan ajaran manunggaling kawula gusti atau bersatu dengan Tuhan. Tapi, Mangunwidjojo tidak memilih raganya sebagai medium, melainkan sosok Bung Karno. Meski tak kenal dekat, presiden RI pertama itu dianggap Mangunwidjojo sebagai titisan Gusti Allah.
Setelah bebas dari penjara, Mangunwidjojo menyiarkan aliran kebatinan yang telah dipelajarinya. Gerakan kepercayaan yang dikembangkan Mangunwidjojo itu bernama Agama Djawa Asli Republik Indonesia (ADARI).
“Menurut pendapat ADARI Bung Karno adalah orang yang 'kemasukan' Tuhan untuk mencapai kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia,” lansir Mingguan Istimewa, 8 Desember 1957.
Baca juga: Diangkat jadi Nabi, Bung Karno tak Sudi
Pada 1957, ADARI diketuai oleh Mangunwidjojo --yang kemudian lebih dikenal sebagai Djojowolu bergelar Ki Mangunwasito-- dan Ki Martowijono. Sementara itu, Ki Herukusumo menjadi penasihat. Dari para pinisepuh ADARI itu, Mangunwidjojo diakui sebagai sosok penting dalam memelopori gerakan ADARI.
Dalam Aliran Kebatinan di Indonesia, Kamil Kartapradja menyebut Mangunwidjojo lahir di Surakarta pada 1892. Setamatnya dari Sekolah Rakyat, Mangunwidjojo bekerja di bengkel Djawatan Kereta Api di Pengok, Yogyakarta. Pada masa permulaan revolusi kemerdekaan, Mangunwidjojo bergabung dengan Barisan Semedi Republik Indonesia (BASRI) di Surakakarta.
Pada 1 Agustus 1946, Mangunwidjojo melakukan tapa di Pasareyan (kompleks permakaman) Imogiri tempat dimakamkannya raja-raja Mataram, termasuk Pakubuwono IX. Saat itulah Mangunwidjojo mendapat ilham untuk menyebarkan ilmu manunggaling kawula gusti. Ilmu kebatinan itu diperdalam Mangunwidjojo semasa di Penjara Wirogunan, Yogyakarta. Saat itu, Yogyakarta diduduki Belanda dan Mangunwidjojo ditahan sebulan lamanya.
“Waktu Majapahit jatuh orang masuk Islam, waktu penjajahan Jepang orang tunduk kepada Tenno Heika. Sekarang Indonesia sudah merdeka, kita harus memeluk Agama Jawa Asli,” demikian ajaran Mangunwidjojo seperti dikutik Kamil Kartapradja.
Baca juga: Agama-Agama di Majapahit
Karena dianggap kelanjutan dari BASRI, ADARI disambut baik oleh masyarakat setempat ketika disiarkan di Surakarta. Pengikut ADARI tidak diajar ritual sujud sebagaimana penganut Islam menjalankan ibadah shalat. Namun, para pemeluk ADARI setiap pagi harus menghadap ke timur, siang ke atas, sore ke barat, dan waktu malam bersemedi. Semua itu dilakukan dengan duduk sambil mengheningkan cipta hingga akhirnya mendapat ilham.
Dalam doktrinnya, ADARI tidak berafiliasi dengan ideologi poltik. Ajaran kebatinan ADARI menuju Ketuhanan yang Maha Esa dan kesempurnaan hidup. Dalam hal perkawinan, kaum ADARI mengikat perkawinan di antara sesama pengikutnya. Pernikahan dilangsungan ketika calon pengantin laki-laki dan perempuan dengan mufakat wali kedua pihak, kemudian disaksikan oleh pimpinan ADARI setempat. Pengantin juga diberi surat keterangan kawin dengan membayar Rp.850.
Setiap hari Ahad, pengikut ADARI mengadakan kenduri yang dinamakan rasulan. Kendati demikian, keanggotaan ADARI tidak menarik iuran dan bersifat sukarela. Syarat bagi mereka yang ingin masuk anggota ADARI, terlebih dahulu harus berpuasa selama tujuh hari untuk membersihkan diri. Setelah diruwat, anggota baru diberikan pengajaran dan pelajaran. Seseorang yang telah membersihkan diri, menurut kepercayaan ADARI lebih mudah bertemu dengan Pangeran Pribadi.
“ADARI mengangkat Bung Karno menjadi nabinya dan Pancasila menjadi kitabnya, begitu pula peraturan-peraturan pemerintah yang keluar dan berlaku dari pemerintah Republik Indonesia adalah kitabnya,” ulas Indra Harahap dalam artikelnya “Akar Historis dan Doktrin Aliran ADARI (Tinjauan Selintas)”, termuat di Jurnal Studia Sosia Religia, Vol.1, No. 2, Desember 2018.
Baca juga: Wawancara DN Aidit: PKI menentang pemretelan terhadap Pancasila
Dalam suratnya kepada Bung Karno, Mangunwidjojo mengaku bahwa dirinya selalu melakukan tapa brata kungkum (bertapa merendam diri) di Kali Opak setiap selapan dina (35 hari). Begitupun anggota-anggota ADARI diperintahkannya tirakat puasa mutih (hanya makan nasi). Tirakatan ala ADARI itu, seturut Kamil Kartapradja, dimaksudkan Mangunwidjodjo sebagai ikhtiar agar:
”Tuhan yang Maha Esa melindungi tantara kita; Tuhan yang Maha Esa memberi bimbingan kepada pimpinan-pimpinan kita; Tuhan yang Maha Esa lekas memasukkan Irian Barat ke wilayah Republik Indonesia; Tuhan yang Maha Esa menghancurkan koruptor-koruptor; Pemberontak-pemberontak mendapat hukuman yang setimpal; Pemerintah Republik Indonesia lekas membuat Undang-Undang Perkawinan; Pemerintah mengakui ADARI sebagai agama seperti agama-agama yang lain.”
Kendati doktrin dan tujuan ADARI tersebut senapas dengan pemerintah, klaim nabi yang dialamatkan kepada Bung Karno tidak bersambut. Gelar nabi terhadap presiden ini, pada paruh kedua 1950, menjadi desas-desas di tengah masyarakat. Terkhusus bagi umat Islam, hal ini cukup meresahkan karena dalam Islam hanya Muhammad SAW yang diakui sebagai nabi terakhir. Bung Karno sendiri menolak pengkultusannya sebagai nabi dari kelompok manapun. Untuk mengatasi polemik ini, pejabat tinggi Kementerian Agama menyatakan kepada wartawan Kedaulatan Rakjat, yang diberitakan harian tersebut pada 22 April 1959, “bahwa Bung Karno tidak menerima diangkat menjadi nabi.”
Baca juga: Pertemuan Presiden Sukarno dan Paus Yohanes XXIII di Vatikan
Tidak diketahui persis berapa jumlah keanggotaan ADARI. Namun, suratkabar nasional, terutama terbitan Jawa Tengah dan Yogyakarta, beberapa kali memberitakan tentang eksistensi sekte ini. Kedaulatan Rakjat, 29 Juni 1964, misalnya, mewartakan tentang ADARI yang mengadakan peringatan “Jogja Kembali” di Desa Tjangkring, Kelurahan Sumberagung Djetis, Bantul, Yogyakarta. Pada malam peringatan itu, Mangunwidjodjo menerangkan tentang kepercayaan ADARI atas diri Presiden Sukarno yang tak lagi dipandang sebagai nabi, melainkan pemimpin agung.
“Mundurnya tentara Belanda dari Jogjakarta menurut Djodjowolu dipandang sebagai keunggulan para pejuang kita. Karenanta peringatan itu dinamakan peringatan Ksatria Djaya,” demikian Kedaulatan Rakjat.
Seiring penolakan Bung Karno disebut nabi, gerakan ADARI pun kian redup. Pemimpin-pemimpin sekte tersebut tidak begitu menonjol di panggung nasional. Memasuki paruh kedua 1960-an, ADARI tak lagi bergaung, terlebih setelah Bung Karno turut lengser sebagai presiden.
Baca juga: Kebangkitan Penghayat Kepercayaan