Masuk Daftar
My Getplus

Operasi Pelikaan Ditolak, Gagak Bertindak di Ibukota Republik

“Operatie Pelikaan” untuk mempercepat perebutan dan pendudukan Yogyakarta ditolak kabinet Belanda. Namun para pemimpin Republik tetap ditawan.

Oleh: Randy Wirayudha | 19 Des 2024
Istana Kepresidenan Gedung Agung yang dikepung Belanda saat Agresi Militer II (Randy Wirayudha/Historia.ID

KETENANGAN di Pangkalan Udara (Lanud) Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) Maguwo, Yogyakarta sekira pukul 6 pagi, 19 Desember 1948, itu mendadak berganti kegaduhan. Alarm peringatan meraung-raung seiring mulai menyalaknya meriam-meriam anti-udara. Tetapi perlawanan pasukan pangkalan itu segera dijinakkan pesawat-pesawat tempur P-40 Kittyhawk dan P-51 Mustang dari Skadron ke-18 Commando Java Koninklijke Luchmaacht (Angkatan Udara Kerajaan Belanda Komando Jawa). 

Sejurus perlawanan dari Lanud Maguwo mulai mereda, sekira pukul 6.44 para prajurit Korps Speciale Troepen (KST) mulai terjun dari pesawat-pesawat angkut Dakota alias C-47 Skytrain dan pesawat-pesawat pembom B-25 Mitchell. Operatie Kraai alias Operasi Gagak telah dimulai dimulai militer Belanda. 

Panglima Tentara Hindia Belanda Letjen Simon Hendrik Spoor turut mengawasi operasi itu dari salah satu pesawat pembom Mitchell. Sang legercommandant pagi itu ditemani direktur Centraal Militaire Intellegence Kolonel J.M. Somer. 

Advertising
Advertising

“Saya beruntung mengikuti Djati (nama sandi Spoor, red.) untuk menyaksikan keberangkatan pasukan para dengan pesawat B-25. Kami sampai di atas Maguwo pada jam 6.40 dan menyaksikan pasukan para terjun tepat jam 6.45. Pasukan para mendarat dengan aman tanpa ada kerusakan pada landasan terbang,” kata Somer dalam laporannya via telegram bernomor 370-N “zeer geheim” (sangat rahasia), dikutip Himawan Soetanto dalam Yogyakarta: Jenderal Spoor (Operatie Kraai) versus Jenderal Sudirman (Perintah Siasat no. 1). 

Baca juga: Menjelang Blitzkrieg di Ibukota Republik 

Lanud Maguwo sendiri akhirnya dikuasai setelah sejam perlawanan pasukan pangkalan AURI dengan harga mahal, 41 prajurit gugur. Usai merebut Lanud Maguwo, pasukan para Belanda yang sudah terhubung dengan kolone kavaleri dan infanteri dari T-Brigade (Tijgerbrigade) –berkuatan 2.600 personel pimpinan Kolonel Dirk van Langen– yang bergerak dari Semarang itu segera merangsek ke dalam kota Yogyakarta mulai pukul 2 siang. 

Kota Yogyakarta praktis nyaris tanpa kekuatan tentara republik yang sedang latihan perang di luar kota. Hanya tersisa pasukan kompi markas Brigade X pimpinan Letkol Soeharto dibantu pasukan kadet Militaire Academie (MA), Laskar Seberang pimpinan Mayor Pelupessy, dan kesatuan Mobil Brigade (Mobrig, kini Brimob Polri) pimpinan Inspektur Johan Suparno. 

“Di Semaki mereka (pasukan Belanda) dicegat oleh pasukan kadet MA. Dekat Ambarukmo dan Gedung Kuning terlibat pertempuran melawan kesatuan polisi di bawah Johan Suparno. Sebelumnya di sekitar Maguwo pasukan Mayor Pelupessy pun mencoba menghalangi gerakan Belanda,” tulis Dinas Pembinaan Mental TNI AD (Disbintalad) dalam Perjuangan Gerilya Panglima Besar Jenderal Sudirman

Letkol Soeharto menginstruksikan Peleton Marjuki menghadang di Jalan Solo dan Peleton Dimyati di sepanjang rel keretaapi di Lempuyangan. Namun keunggulan persenjataan dan dukungan kekuatan udara Belanda membuat pertempuran-pertempuran tidak imbang. Operatie Pelikaan secara prinsip sebagai percepatan Operatie Kraai untuk menduduki Yogyakarta sebagai ibukota Republik pun dimulai. 

Kolonel Somer di atas kota Yogyakarta dengan pesawat pembom B-25 Mitchell (nationaalarchief.nl)

Bendera Putih di Istana Kepresidenan 

Jika Operatie Kraai disusun Kepala Staf Umum Mayjen Buurman van Vreeden sejak Januari 1948 –seiring Perjanjian Renville yang mengakhiri Agresi Militer I (1947), Operatie Pelikaan diusulkan kepada Jenderal Spoor pada awal September 1948. Tujuan Operasi Pelikan yakni mempercepat pendudukan Yogyakarta dan menangkap para pimpinan republik. 

“Untuk melaksanakan operasi ini, dikerahkan satu Kompi Para dan tiga kompi komando dari KST. Sedangkan pasukan susulan akan didaratkan dua batalyon dari Tijgerbrigade. Rencana Operatie Pelikaan ini disetujui oleh Spoor,” tulis Wawan Kurniawan Joehanda dalam Djocjakarta: Mereka (Pernah) di Sini, Des 1948-Juni 1949. 

Setelah mendapat lampu hijau dari Spoor, lanjut Wawan, Kolonel A.J. Thompson menuangkannya dalam instruksi operasional No. 1117/GS 03, “De aanvullende operationele instructive voor de versnelde fase van Operatie Kraai” bertanggal 9 September 1948, untuk kemudian dikirim kepada para komandan divisi dan brigade Koninklijke Landmaacht (AD Belanda) dan Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL/Tentara Kerajaan Hindia Belanda) se-Jawa dan Sumatera. 

Selain Spoor, Wakil Tinggi Mahkota Belanda Dr. Louis Beel juga menyetujuinya meski Gubernur Jenderal Hubertus van Mook masih ragu. Tapi beberapa pekan kemudian, Kabinet Perdana Menteri (PM) Willem Drees di Den Haag menolak usulan itu. Kala itu negosiasi antara Belanda dan Republik Indonesia pasca-Perjanjian Renville belum menemui jalan buntu. Terlebih pemerintah Indonesia sedang disibukkan “pasifikasi” barisan Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang melancarkan Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun (18 September-19 Desember 1948). 

Baca juga: Ketika PKI Lawan Agresi Belanda

 

Beel dan Spoor menganggap pemberontakan PKI jadi momen tepat untuk merebut Yogyakarta karena pemerintah Republik sedang “digembosi” dari dalam. Sementara, PM Drees justru beranggapan jika upaya pemerintah Indonesia memadamkan pemberontakan PKI itu direcoki agresi, dikhawatirkan akan jadi backfire bagi Belanda berupa kecaman-kecaman dunia internasional. 

“Pertimbangan PM Drees, selama pemerintah (Perdana Menteri, Mohammad) Hatta masih menguasai Yogyakarta dan RI bertekad menyelesaikan pemberontakan PKI/Moeso dengan kekuatannya sendiri, ia dan kabinet dalam sidangnya mengajukan alternatif penggunaan kekuatan militer untuk menduduki beberapa wilayah RI yang ‘bersahabat’ dengan Belanda,” tulis Himawan Soetanto dalam Perintah Presiden Soekarno, “Rebut Kembali Madiun”: Siliwangi Menumpas Pemberontakan PKI/Moeso 1948. 

Operatie Pelikaan yang ingin dilancarkan Beel dan Spoor sebelum Desember 1948 memang batal terlaksana. Namun, tujuan-tujuan utamanya membidik para pucuk pimpinan republik tetap terlaksana sejurus Operasi Gagak. 

Pucuk komandan Belanda saat Agresi Militer II, Kolonel Dirk Reinhard Adelbert van Langen (kanan) & Jenderal Simon Hendrik Spoor (nationaalarchief.nl)

Maka ketika langit Yogyakarta mulai meredup pada sore 19 Desember 1948, pasukan Belanda dengan superioritas persenjataannya sudah mampu menembus kubu-kubu pertahanan tentara Republik. Istana Kepresidenan Gedung Agung di seberang Benteng Vredeburg pun sudah di depan mata. 

“Pergerakan pasukan Belanda menuju kota Yogyakarta terbagi dalam dua kolone, yaitu Kolone A dan Kolone B. Kolone A melambung ke utara dan Kolone B bergerak dari selatan yang akhirnya bertemu di satu titik di pusat kota. Kolone B yang terdiri dari pasukan KST pada jam 15.00 telah mencapai depan Istana Presiden, Gedung Agung. Sedangkan Kolone A bergerak menyusuri rel dan berakhir di Stasiun Tugu,” sambung Wawan. 

Beberapa barisan dari dua kolone pimpinan Kolonel Van Langen itu juga menyebar dengan posisi tempur ke Gedung Kantor Pos, Pasar Beringharjo, dan Benteng Vredeburg untuk mengepung Istana Kepresidenan. Maka, dalam keadaan terkepung pasukan republik yang berjaga di Gedung Agung pun tak mampu memberi perlawanan. 

“Pasukan yang menjaga Istana Presiden saat itu adalah Kompi II dari Polisi Militer dengan kekuatan kurang dari satu peleton. Menghadapi perlawanan tak seimbang, pasukan itu mundur dan masuk ke dalam istana. Letnan Kemal Tobing berganti pakaian biasa dan atas perintah Presiden Sukarno, dia kembali keluar sambil membawa bendera putih,” sambung Wawan. 

Baca juga: Di Balik Senandung Kemerdekaan Husein Mutahar

 

Sementara, di dalam istana mulai gaduh. Beberapa dokumen penting diputuskan untuk dibakar meski naskah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bisa diselamatkan. Presiden Sukarno juga memerintahkan Husein Mutahar, protokol istana yang juga pencipta lagu “Hari Kemerdekaan”, untuk menyembunyikan Sang Saka Merah Putih sebelum pimpinan pasukan Belanda masuk istana. 

Komandan Polisi Pengawal Pribadi Presiden AKBP Mangil Martowidjojo lalu menjadi orang pertama yang menemui utusan pasukan Belanda, Letkol Van Beek. Dalam todongan senjata, Mangil diinstruksikan untuk menginfokan bahwa Presiden Sukarno mesti menghadap Van Langen di depan Gedung Kantor Pos. 

“Itu adalah saat-saat paling mendebarkan dari keseluruhan operasi yang sedang berlangsung. Saat paling dramatis dalam konfrontasi antara Belanda dengan Indonesia,” tulis sejarawan Louis Zweers dalam Agressi II, Operatie Kraai: De vergeten beelden van de tweede politionale actie. 

Presiden Sukarno saat menjadi tahanan rumah di Gedung Agung (kiri) & saat hendak diterbangkan ke Sumatera (NIMH/defensie.nl)

 Dalam pembicaraannya kemudian, Van Langen merayu Sukarno untuk berdiri di barisan Belanda dengan menjadi kepala pemerintahan federal. Sudah barang tentu rayuan itu ditolak. Selebihnya, Van Langen menyatakan Sukarno sebagai tahanan rumah di istana selama tiga hari. 

“Langkah membiarkan diri tertawan itu merupakan langkah politik yang berakibat baik bagi perjuangan kita,” ungkap buku Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan terbitan LVRI. 

Pada 22 Desember 1948, Sukarno bersama Sutan Sjahrir, Kepala Staf AURI Komodor Suryadi Suryadharma, PM merangkap Wakil Presiden Moh. Hatta, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim diterbangkan ke pengasingan di Sumatera via Lanud Maguwo. 

“Presiden Sukarno dibawa ke salah satu markas pasukan Belanda di Terban Taman (kini Museum Dharma Wiratama Angkatan Darat). Tiga hari setelah ditahan sebagai tahanan rumah, Sukarno dan para pemimpin Republik diterbangkan dengan pesawat B-25 tanpa tujuan jelas. Pilot hanya mengetahui tujuan penerbangan setelah membuka surat perintah di dalam pesawat,” tambah Wawan. 

Baca juga: Sukarno dkk. Dikerangkeng Belanda

 

Selain Panglima TNI Jenderal Sudirman yang sudah lebih dulu keluar kota untuk bergerilya, hanya Sri Sultan Hamengkubuwono IX (HB IX) selaku menteri pertahanan yang tak diangkut Belanda. Sultan HB IX yang bersahabat dengan Ratu Belanda Juliana ini pun sempat disatroni langsung oleh Jenderal Spoor di dalam keraton. Spoor juga merayu sultan untuk memihak Belanda, namun ditolak mentah-mentah. 

Sebelumnya, sultan didatangi perwira tinggi Belanda Jenderal Meijer dan beberapa pejabat sipil Belanda, tapi menolak ajakan mereka. Kemudian, Spoor sendiri yang mendatanginya dengan tank ringan M3 Stuart sambil mengancam akan menerobos penghalang di gerbang keraton. 

“Sultan segera meminta Spoor turun dari tanknya dan jalan kaki ke dalam keraton. Kedatangan Spoor hendak membicarakan tentang ‘kerjasama’ dan apa yang akan diberikan sebagai imbalan. Tetapi satu-satunya yang ingin dibicarakan Sultan adalah penarikan mundur pasukan Belanda dari Yogyakarta dan setelah berbicara 10 menit, Spoor beranjak meninggalkan pertemuan,” tandas Wawan. 

Para pemimpin pemerintahan Republik lain yang ikut ditawan kala Agresi Militer II (NIMH/defensie.nl)

TAG

sukarno operasi gagak agresi militer belanda ii agresi militer belanda agresi militer agresi belanda agresi-militer yogyakarta

ARTIKEL TERKAIT

Menjelang Blitzkrieg di Ibukota Republik ADARI Klaim Bung Karno Nabi Diangkat Jadi Nabi, Bung Karno Tak Sudi Warisan Persahabatan Indonesia-Uni Soviet di Rawamangun Saat Pelantikan KSAD Diboikot Ketika Media Amerika Memberitakan Sukarno dan Dukun Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian II – Habis) Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian I) Protes Sukarno soal Kemelut Surabaya Diabaikan Presiden Amerika Arsip Foto Merekam Jakarta di Era Bung Karno