ANEKA rupa coretan graffiti memenuhi sebagian besar temboknya. Ada plus-minusnya tentu, mengingat bangunannya pun sudah tak terawat dan di beberapa bagiannya berlumut. Begitulah tampak luar Stadion Kridosono, gelanggang sepakbola tertua di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Boleh jadi graffiti-graffiti itu sekadar jadi pengekspresian emosi. Toh stadion yang terletak di Jalan Yos Sudarso, Kotabaru, Kota Yogyakarta itu belakangan cenderung jadi venue konser-konser atau festival musik ketimbang event sepakbola. Terakhir, Stadion Kridosono jadi venue CRSL Concert #5 “The Euphoria” pada 2 November 2024 dan Jogjarockarta Festival yang rencananya akan kembali dihelat pada 15 Desember 2024.
“Memang biasanya jadi tempat konser gitu, Mas. Tapi untuk (sepak)bola masih kok. Masih dipakai sama SSB Naturindo (Sekolah Sepakbola Indonesia Muda Jogja Naturindo, red.). Biasanya latihan setiap Rabu sama Jumat,” urai seorang juru parkir yang tak menyebutkan namanya, di halaman tenant-tenant makanan dekat kolam renang Umbang Tirta yang menempel dengan bangunan stadion.
Lantaran minimnya event sepakbola itulah hampir setiap pintu stadionnya tertutup rapat. Orang awam hanya bisa mengintip untuk melihat sisi dalam lapangan dan tribun utama beratap seng nan ringkih dari sela pintu-pintu besinya yang tergembok. Maka, kecuali ada jadwal latihan SSB, bekas markas klub legendaris PSIM Yogyakarta itu benar-benar minus gairah sepakbola.
Baca juga: Cerita dari Stadion Andi Mattalatta
Gairah sepakbola lebih terasa di beberapa titik lain yang terdapat stadion-stadion lebih baru. Pada kesempatan berbeda, pamong budaya ahli pertama Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X (BPK Wilayah X/DIY dan Jawa Tengah) Indra Fibiona mengakui meskipun Stadion Kridosono usianya tua tapi belum sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB).
“Bisa dikatakan iya (stadion tertua) karena Stadion Mandala Krida baru dibangun oleh pemerintah kota Yogyakarta pada tahun 1977,” ungkap Indra kepada Historia.ID.
Stadion-stadion lain di DIY yang lebih megah baru hadir di kemudian hari. Stadion Tridadi di Sleman dibangun pada 1995, Stadion Maguwoharjo yang juga berada di Kabupaten Sleman baru dibangun pada 2005, Stadion Sultan Agung di Bantul pada 2007, dan Stadion Cangkring di Kulon Progo pada 2012.
“Sebelumnya BPCB DIY (kini BPK Wilayah X) tidak mengajukan Stadion Kridosono sebagai Bangunan Cagar Budaya karena sudah banyak perubahan. Selain itu belum ada kajian holistik terkait Stadion Kridosono sebagai data dukung kuat untuk menetapkannya cagar budaya,” terangnya lagi.
Baca juga: Sengkarut Sengketa Stadion Andi Mattalatta
Ikon Nieuw Wijk di Yogyakarta
Yogyakarta di awal abad ke-20 berangsur-angsur makin padat seiring booming perkebunan tebu. Stadion Kridosono hadir seiring perluasan hunian modern dari kawasan Oudewijk (permukiman di belakang Benteng Vredeburg) ke Nieuw Wijk (kini Kotabaru).
Dalam bukunya yang ditulis bersama Darto Harnoko, Kagunan Sekar Padma: Kontinuitas dan Perkembangan Kesenian Tradisional di Yogyakarta Awal Abad XX, Indra menyebut pesatnya perekonomian di wilayah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tak lepas dari gebrakan Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) VII. Gebrakannya adalah mendirikan pabrik-pabrik gula di areal perkebunan tebu yang menggandeng perusahaan swasta asing untuk mengatasi keterpurukan masyarakat akibat Agrarische Wet 1870 (Undang-Undang Agraria 1870).
“Di bawah hukum agraria yang berlaku waktu itu, orang asing tidak diizinkan memiliki tanah tapi atas perintah Residen (Yogyakarta, Cornelis) Canne dan Sultan (HB VIII), sebuah komisi tanah Commissie voor het Grondbedrijf dibentuk yang kemudian memunculkan Undang-Undang Sultan 1917/12 (Rijksblaad van Sultanaat Djogjakarta No. 12 tahun 1917) yang mengizinkan penjualan tanah Sultan kepada orang asing,” jelas Indra.
Baca juga: Cerita dari Stadion Gelora 10 November Surabaya
Peruntukan enklave atau “kantung” hunian baru itu tentu lebih banyak untuk orang asing. Oleh karenanya, Thomas Karsten yang merancang pembangunan Nieuw Wijk mengkonsepkan “rasa” Eropa.
Sebagaimana diungkapkan Anas Syahrul Alimi dalam Demi Buku, Demi Musik: Esai-Esai Pustaka, Musik, Spiritualitas, dan Budaya, kawasan Nieuw Wijk dirancang Karsten sebagai garden city ala Menteng di Batavia (kini Jakarta). Karsten meniru konsep lanskap arsitek Ebenezer Howard asal Inggris, termasuk ruang terbukanya dengan aneka fasilitas rekreasi dan olahraga.
Ruang terbuka itu menjadi ikon sekaligus pusat kegiatan masyarakat dengan desain melingkar dan dikelilingi sejumlah bangunan, di antaranya Normaalschool voor Indlansche Onderwijzers atau Sekolah Guru Bumiputera (kini SMPN 5 Yogyakarta), Algemeene Middelbare School Afdeling B (kini SMAN 3 Yogyakarta), Europeesche Lagere School (kini SDN Ungaran 1 Yogyakarta), Zendingsziekenhuis Petronella (kini Rumahsakit Bethesda Yogyakarta), dan Prins Julian Ooglijdersgatshuis (kini Rumahsakit Dr. Yap).
“Kotabaru memiliki fasilitas sekolah terbaik dan taman olahraga (sports center). Jika merujuk peta tahun 1925 dari koleksi Universitas Leiden, lapangan sepakbola (voetbal terrain) sudah dibangun juga di tempat yang sekarang jadi lahan stadion (Kridosono), bersanding dengan lapangan tenis dan kolam renang,” sambung Indra.
Baca juga: Cerita dari Stadion Patriot Candrabhaga Bekasi
Di lapangan itulah klub-klub kalangan Eropa, Tionghoa, dan bumiputera mengolah si kulit bundar. Klub-klub itu di bawah naungan Djokjasche Voetbalbond (DVB) Yogyakarta yang berinduk ke Nederlansch Indische Voetbalbond (NIVB) atau Asosiasi Sepakbola Hindia Belanda.
“Lalu tim-tim bumiputera memisahkan diri dari DVB dan mengadakan kompetisi sendiri sampai melahirkan Voetbalbond Djokja en Omstreken (VBDO) yang pada perkembangannya berubah menjadi Persatuan Sepakraga Indonesia Mataram (PSIM) dan menggunakan (lapangan sepakbola) sport center Kotabaru sebagai homebase,” tambahnya.
Di lahan voetbal terrain sport center Kotabaru itulah kemudian stadionnya dibangun. DVB sebelumnya mendapatkan izin dari Sultan HB VIII dan Gubernur Yogyakarta Johannes Bijleveld.
“Desain stadionnya disetujui oleh seorang inspektur urusan teknis dari pemerintah (kota). Gerbang utamanya dipindah ke sisi selatan, sementara lahan lain yang kosong akan dijadikan lahan parkir. Sebuah tribun baru dengan 600 kursi juga akan dibangun di tribun yang lama. Ruang-ruang kosong di kolong tribun akan dijadikan kamar-kamar ganti dan toilet,” tulis suratkabar De Locomotief edisi 29 Juli 1937.
Pembangunan stadionnya dimulai medio 1937 dan rampung pada Januari 1938 setelah menghabiskan dana 9.000 gulden dari kocek Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Setelah berdiri, gelanggang itu disematkan nama “Bijleveld-stadion”, merujuk pada nama gubernur yang memberi izin pembangunannya lantaran ia juga menggemari permainan si kulit bundar.
“Nama Kridosono baru mengemuka pada era revolusi fisik (1945-1949). Perubahan nama dan pembukaan kembali secara resmi pada tanggal 21 Juli 1950 mulai menggunakan nama (stadion) Kridosono. ’Kridosono’ secara harfiah berarti kepakan sayap. Hal tersebut dapat dimaknai sebagai simbol semangat, kelincahan, ketangguhan, dan kekuatan. Nama ‘Kridosono’ menjadi manifestasi harapan bahwa stadion ini menjadi tempat di mana para atlet dan tim olahraga menunjukkan dinamika, perjuangan, dan kegigihan untuk mencapai puncak prestasi,” imbuh Indra.
Baca juga: Cerita dari Katedral Sepakbola di Dortmund