Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian II – Habis)
Stadion tertua di Yogyakarta yang gairah sepakbolanya berganti jadi ikon panggung musik rock. Belum jadi bangunan cagar budaya.
LANGIT gelap disertai hujan mengguyur kawasan Nieuwe Wijk, Yogyakarta pada Kamis, 27 Januari 1938, petang. Namun, hal itu tak mengurangi kemeriahan pembukaan Bijleveld-stadion (kini Stadion Kridosono).
Selain dihadiri para petinggi sipil dan militer kolonial, hadir pula dalam pembukaan itu ketua Voetbalbond Djokja de Omstreken (VBDO) Mr. Engelkamp, Ketua Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU) atau Persatuan Sepakbola Hindia Belanda Johannes Christoffel Jan Mastenbroek, dan Gubernur Yogyakarta Johannes Bijleveld. Tak ketinggalan, Sri Sultan Hamengkubuwono VIII (HB VIII) dan Paku Alam VIII juga turut menempati tribun utama.
Sultan HB VIII sebagai penyokong dana pembangunannya diberi kehormatan untuk meresmikan pembukaan dengan pemotongan pita di gerbang utama yang dilanjutkan pidato Mr. Engelkamp. Begitu isi laporan suratkabar De Indische Courant edisi 29 Januari 1938.
Baca juga: Cerita dari Stadion Patriot
Stadion itu diberi nama “Bijleveld-stadion”, merujuk pada nama gubernur Belanda yang memang gila bola. Gubernur Bijleveld pula yang mengizinkan pembangunan stadionnya di kawasan elite Eropa itu meski dibangun atas ongkos dari keraton.
“Setelah pitanya dipotong Sultan, tersingkaplah papan nama bertuliskan ‘Gouverneur Bijleveld-Stadion’ dengan tambahan tulisan tahun ‘1938’ di bawahnya. Di akhir pidatonya, Engelkamp meminta Gubernur Bijleveld untuk menjadi pembina sepakbola (Yogyakarta). Sementara Gubernur mengapreiasi pidato itu dan menyatakan harapannya agar sepakbola Yogyakarta senantiasa sukses,” tulis suratkabar De Koerier edisi 3 Februari 1938.
Usai peresmian, laga persahabatan antara dua tim kontestan kompetisi Stedenwedstrijden wilayah Oost/Midden Java, Djokja vs. Solo, langsung dihelat. Laga dua tim bebuyutan di bawah hujan deras dan lapangan becek itu didominasi tim Solo meski berakhir dengan skor 3-2 untuk tuan rumah.
Baca juga: Jejak Perjuangan Bangsa di Stadion VIJ
Dari Bijleveld menjadi Kridosono
Sebagaimana diungkapkan pada artikel sebelumnya, Bijleveld-stadion hadir tak lepas dari pesatnya perkembangan pembangunan kawasan elite anyar di Yogyakarta, Nieuwe Wijk (kini Kotabaru). Sebelum menjadi stadion, lahan tersebut sudah merupakan lapangan sepakbola yang menjadi bagian dari enklave atau kantung pusat Kotabaru yang memang dikhususkan untuk olahraga dan rekreasi. Ada pula lapangan tenis dan kolam renang di enklave tersebut.
“VBDO sudah lama menggunakan sport hall (voetbal terrain, red.) Kotabaru sebagai homebase,” ungkap pamong budaya ahli pertama Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X (BPK Wilayah X/DIY dan Jawa Tengah) Indra Fibiona kepada Historia.ID
Stadion itu dibangun atas inisiasi VBDO tapi masih samar siapa arsiteknya. Menurut surakabar De Locomotief edisi 29 Juli 1937, desain stadionnya disetujui oleh Inspektorat Urusan Teknis Pemerintah Kota Yogyakarta. Dalam rencana pembangunannya, stadion itu akan memiliki tribun penonton berkapasitas 600 orang dan kamar-kamar ganti atletnya dikonsepkan berada di kolong tribun utama. Stadion yang menghabiskan dana 9.000 gulden dari pihak keraton ini mulai dibangun medio 1937 dan rampung untuk diresmikan pada 27 Januari 1938.
Baca juga: Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian I)
Namun aktivitas sepakbola di Yogyakarta nyaris lumpuh di masa pendudukan Jepang (1942-1945). Pun di era Perang Kemerdekaan (1945-1949), lanjut Indra, di mana Bijleveld-stadion digunakan untuk aktivitas militer.
“VBDO juga berubah nama menjadi Perserikatan Sepakbola Indonesia Mataram (PSIM) setelah Indonesia merdeka dan sempat vakum di era revolusi fisik. Setelah dihidupkan kembali pada 19 Februari 1947, PSIM kembali menggunakan stadion ini setelah kondisi di Yogyakarta berangsur kondusif pada 1949,” imbuh Indra.
Pada awal 1950, stadion tersebut direnovasi. Begitu rampung pada 21 Juli 1950, stadionnya mengalami perubahan nama menjadi Stadion Kridosono.
“Kridosono secara harfiah berarti kepakan sayap. Hal tersebut dimaknai sebagai simbol semangat, kelincahan, ketangguhan, dan kekuatan. Nama Kridosono menjadi manifestasi harapan bahwa stadion ini akan menjadi tempat di mana para atlet dan tim olahraga menunjukkan dinamika perjuangan dan kegigihan untuk mencapai puncak prestasi,” terangnya.
Sejak itu, Stadion Kridosono selalu jadi markas PSIM Yogyakarta, mulai era Perserikatan hingga 1984 ketika Pemerintah Kota Yogyakarta selesai membangun stadion baru yang kapasitas penontonnya lebih besar, Mandala Krida. Meski beberapa kali tetap bergantian jadi kandang PSIM, Stadion Kridosono juga sudah mulai jadi venue konser musik rock pada 1970-an.
“Kridosono mulai jadi ikon panggung musik rock Indonesia semacam Ucok AKA yang tampil bersama band asal Bandung, Giant Step, pada (Juni) 1974 meski berakhir ricuh dan penonton mengamuk sampai-sampai Ucok AKA dilarikan ke rumah sakit,” tulis Anas Syahrul Alimi dalam Demi Buku, Demi Musik: Esai-Esai Pustaka, Musik, Spiritualitas, dan Budaya.
Konser-konser musik rock itu, lanjut Anas, tetap menghidupkan Kridosono sebagai “alun-alun” musik dari sebuah kota yang kental bernuansa indies di Yogyakarta. Band-band top dunia pun pernah manggung di Kridosono, seperti Dream Theatre pada September 2017 dan Megadeth pada 2018.
Baca juga: Cerita dari Jakabaring Sport City
Namun, sayangnya kondisi bangunan Stadion Kridosono tampak tak terawat. Sejumlah bidang tembok luarnya sarat coretan vandalisme dan seng atap tribun utamanya sudah begitu ringkih. Gairah sepakbola masih bertahan hanya dengan adanya sekolah sepakbola yang berlatih di sana.
Patut dipertanyakan, bagaimana kontribusi pihak pengelola. Meski status lahannya milik keraton tapi stadionnya berada di bawah pengelolaan PT Anindya Mitra Internasional (PT AMI) yang merupakan badan usaha milik daerah (BUMD) Provisi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
“PT AMI yang muncul tahun 1987 dari penggabungan lima perusahaan daerah memegang core bisnis terutama dalam diversifikasi mengelola aset yang dipisahkan dari pemerintah daerah dengan fokus pada pengelolaan properti dan kemitraan dengan pihak ketiga,” sambung Indra.
Pada 2017, muncul wacana Stadion Kridosono akan dijadikan taman kota. Pun dengan wacana stadion itu dijadikan Bangunan Cagar Budaya (BCB) walau kemudian Dinas Kebudayaan DIY dan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) DIY tidak menganggap stadion itu masuk kriteria BCB.
“Justifikasi BPCB DIY (kini BPK Wilayah X) tidak mengajukannya sebagai BCB karena sudah banyak perubahan. Selain itu belum ada kajian holistik terkait stadion sebagai data pendukung kuat untuk menetapkannya sebagai bangunan cagar budaya,” urai Indra lagi.
Sesuai syarat penetapan BCB yang diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2010, usia bangunan harus berusia 50 tahun atau lebih. Lalu, bangunannya harus mewakili masa gaya aristektur minimal berusia 50 tahun serta memiliki arti bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kebudayaan.
“Secara umum sudah terpenuhi. Sebenarnya beberapa waktu lalu juga sedang dikaji dan diajukan oleh TACB (Tim Ahli Cagar Budaya) Kota Yogyakarta tetapi masih menggantung, bangunan mana saja yang masuk bagian BCB,” tandasnya.
Baca juga: Cerita dari Stadion Rizal Memorial
Tambahkan komentar
Belum ada komentar