Masuk Daftar
My Getplus

Geliat Tim Naga di Panggung Sepakbola

Habis cuju, terbitlah sepakbola modern. Tim Naga membuka peluang mengulang lolos ke Piala Dunia usai membekap “Garuda”.

Oleh: Randy Wirayudha | 17 Okt 2024
Selebrasi Timnas China yang berjuluk "The Dragon Team" usai menundukkan "Tim Garuda" 2-1 (the-afc.com)

NYATANYA timnas China masih terlalu tangguh buat tim kejutan macam Indonesia. Kendati beberapa pengamat tanah air “pede” bahwa tim Garuda mampu melanjutkan tren positif, sang “Naga” justru mampu menunjukkan tajinya di kandang sendiri pada duel Grup C di babak ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia di Qingdao Youth Football Stadium, Selasa (15/10/2024) malam.

“The Dragon Team” memang sempat hancur di tiga laga awal usai dipermak Jepang 7-0, dibekuk Arab Saudi 2-1, dan keok 1-3 dari Australia. Namun tim besutan Branko Ivanković asal Kroasia itu akhirnya comeback dan memetik tiga poin perdananya dengan membekap Indonesia, 2-1.

“Saya berterima kasih terhadap dedikasi para pemain di laga ini. Mereka memperlihatkan arahan-arahan taktik saya, termasuk mempertahankan intensitas untuk merebut kontrol bola dan gairah untuk menang. Para penonton juga menciptakan atmosfer yang bagus dan mereka seperti pemain ke-12 di lapangan,” tutur Ivanković usai laga, disitat Xinhua, Selasa (15/10/2024).

Advertising
Advertising

Baca juga: Naga Wuhan di Bawah Mistar Persebaya

Hasil tersebut membuat kans Indonesia –yang skuadnya sarat punggawa naturalisasi– mulai menipis untuk lolos otomatis ke Piala Dunia 2026. Sebaliknya, kemenangan itu membuat kans China belum habis.

“Kami memperoleh kemenangan yang penting di kandang. Jujur, masing-masing pemain menghadapi tekanan besar karena kami mewakili China. Saya pribadi sudah cukup pengalaman dalam karier tapi kebobolan 12 gol di tiga laga masih jadi hal yang ganjil. Tapi kami berusaha melaluinya,” timpal kiper Wang Dalei.

China mulai membuka peluangnya sendiri untuk kembali tampil di Piala Dunia. Setidaknya mereka berpeluang membidik posisi ketiga atau keempat agar meneruskan perjuangannya ke babak keempat kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia, untuk mengulang sukses sejarah sepakbola China tatkala lolos ke Piala Dunia 2002.

Timnas Indonesia yang menelan pil pahit usai dibekuk 2-1 oleh China (aseanfootball.org)

Dari Cuju ke Sepakbola Modern 

FIFA melalui laman FIFA Museum mengakui bahwa bangsa China adalah salah satu bangsa paling awal yang menggulirkan permainan si kulit bundar yang kompetitif. Sejumlah catatan historis menguraikan bahwa permainan cuju yang artinya “bola tendang” sudah eksis di era Dinasti Han yang berkuasa pada tahun 202 Sebelum Masehi (SM) hingga tahun 220 Masehi.

Catatan paling awal terdapat dalam sajak Ju Cheng Ming karya penyair Li You (50-130 Masehi). Dalam sajak itu, Li You tak sekadar menggambarkan cuju sebagai permainan spontan belaka: 

Sebuah bola yang bundar dan sekotak dinding (permainan).  

Bagaikan Yin dan Yang. 

Gawang berbentuk bulan saling berhadapan.  

Setiap sisi terdapat enam (pemain) yang sama.

Pilihlah kapten-kapten dan tunjuklah para wasit. 

Berlandaskan aturan yang tak dapat diganggu-gugat. 

Usah memikirkan kerabat dan teman, 

Jauhilah keberpihakan.

Jagalah keadilan dan perdamaian. 

Usah mengeluh kesalahan lawan. 

Inilah yang terpenting dari cuju. 

Semua ini yang diperlukan untuk cuju. 

Betapa lebih dari urusan kehidupan

Baca juga: Menendang Sejarah Sepakbola Vietnam

Catatan tersebut sudah menunjukkan adanya permainan bola tendang dengan aturan-aturan baku. Cuju lazimnya dimainkan para prajurit sebagai selingan latihan fisik, tapi lama-kelamaan cuju juga dimainkan lintas kalangan dari petani hingga para cendekiawan dan keluarga kerajaan. Bahkan pada masa Dinasti Tang (618-907 M), cuju tercatat turut dimainkan kaum perempuan.

Namun, sebagaimana diungkapkan David Goldblatt dalam The Ball is Round: A Global History of Football, cuju mulai dilarang seiring mulai berkuasanya Dinasti Ming (1368-1644). Kaisar Hongwu (berkuasa 1368-1398) selaku penguasa pertamanya melarang cuju karena dianggap bisa mengalihkan fokus pada pekerjaan dan latihan militer.

“Padahal seperti banyak penemuan bangsa China, permainan bola itu sudah meluas ke segala penjuru dan jaringan perdagangan jalur darat dan laut yang jauh. Bahkan pengaruhnya sampai ke Semenanjung Melayu hingga muncul olahraga sepak raga yang merupakan persilangan sepakbola dan bola voli yang di era modern bernama sepak takraw. Di Jepang permainannya dinamai kemari meski itu artinya ‘berdiri di antara pohon’ karena dimainkan dengan empat pohon (sebagai gawang),” tulis Goldblatt.

Ilustrasi permainan cuju (FIFA)

Cuju benar-benar menghilang bak ditelan bumi di Negeri Tirai Bambu pada abad ke-17 semasa akhir Dinasti Ming. Baru dua abad berselang, permainan serupa, yakni sepakbola modern, dibawa masuk Inggris ke China via Hong Kong yang dikuasai pasca-Perang Opium (1839-1842).

Seperti halnya di beberapa belahan dunia lain, sepakbola dimainkan prajurit, saudagar, hingga para misionaris Inggris. Penduduk lokal kemudian mulai tertarik ikut memainkannya. Emanuel Leite Junior dan Carlos Rodrigues dalam China, Football, and Development: Socialism and Soft Power menulis, seperti itulah sepakbola mulai menjamah dari Hong Kong mencapai Shanghai, Beijing, dan kota-kota lain di China. 

“Pertandingan sepakbola pertama di daratan utama China di bawah regulasi Football Association (FA) mulai terjadi pada 1879 di kota Shanghai. Pada 1887 berdirilah klub pertama Shanghai Football Club dan satu dekade berselang, pada 1907, sebuah liga juga mulai dibentuk di Shanghai,” tulis Leite Junior dan Rodrigues.

Baca juga: Medan Laga Korea Utara dalam Sepakbola

Menariknya, kesebelasan China sudah punya wakil ketika diundang mengikuti Far Eastern Championship Games perdana pada 1913. Namun yang mewakili bukanlah tim nasional resmi China, melainkan klub South China Football Club sebagai pemenang Chinese National Games 1910.

Pada 1924, ketika China sudah di bawah pemerintahan nasionalis Kuomintang, Republik China, didirikan pula federasinya, Chinese Football Association (CFA). Mereka bahkan sudah melamar dan diterima sebagai anggota FIFA sejak 1931.

“Akan tetapi perkembangan sepakbolanya masih tetap terbatas di kalangan menengah dan para pelajar. Lebih jauh ketika terjadi guncangan politik dan konflik antara Kuomintang dan komunis pada 1927, ditambah invasi Jepang sejak 1937 membuat persepakbolaan China terhambat. Pun ketika komunis menang (Perang Saudara) pada 1949, persepakbolaan China masih kesulitan berkembang di akar rumput masyarakatnya,” tambah Leite Junior dan Rodrigues.

Timnas China yang tampil di Olimpiade Berlin 1936 (Le Sportsman/IFFHS-Olympic Football Tournaments)

CFA yang kemudian dikuasai pemerintahan komunis Republik Rakyat China (RRC) baru membangun kembali persepakolaan China yang mati suri pada 1 Oktober 1949. Pada hari itu sebuah laga persahabatan digelar antara Shenyang XI melawan Beijing XI sebagai simbol evolusi baru China. Dua tahun berselang, CFA melahirkan kompetisi anyar, National Football League.

“Pada masa Revolusi Kebudayaan tahun 1966, kompetisinya sempat kembali terhenti dan 47 timnya terpaksa bubar. National Football League hanya sempat digulirkan dua kali di masa itu, yakni 1973 dan 1974, serta mulai diputar kompetisinya secara rutin mulai 1977. Itu pun tim dan pemainnya masih kelas amatiran hingga awal 1990-an, di mana sepakbola China mulai merintis profesionalismenya,” imbuhnya.

Baca juga: Di Balik Sepakbola di Lapangan Merah

Kendati begitu, timnas China terbilang cukup diperhitungkan. Tim Naga tercatat pernah jadi juara ketiga Piala Asia 1976 dan finalis ajang serupa pada 1984. Tetapi perkembangan pesat sepakbola di balik Tembok China baru terjadi di era 2000-an.

Selain membenahi akademi-akademi dan segala macam infrastrukturnya, China merevolusi sepakbolanya menjadi industri melalui kompetisi Chinese Super League mulai 2004 untuk menggantikan Chinese Football League A. Korporat-korporat besar di negeri itu turut diarahkan untuk berinvestasi hingga klub-klub China pun sering mendatangkan bintang-bintang sepakbola guna mendongkrak kualitas kompetisi sekaligus transfer ilmu sepakbola.

“Belakangan fans sepakbola di dunia bertanya-tanya, bagaimana (revolusi) itu bisa terjadi? Sebenarnya jawabannya sama sekali bukan hal mengejutkan. Pengembangan sepakbola mengikuti model yang sama dengan sektor-sektor industri China lainnya. Mereka menggandeng perusahaan-perusahaan asing dan merekrut tenaga-tenaga asing untuk meningkatkan kualitas para tenaga kerjanya sendiri,” ungkap pakar bisnis olahraga Salford University, Prof. Simon Chadwick kepada The Guardian, 6 Februari 2016.

China di final Piala Asia 1984 (alriyadh.com)

Dengan begitu, klub-klub dapat berinvestasi besar-besaran dalam hal belanja pemain asing berstatus bintang. Sebut saja Didier Drogba (Shanghai Shenhua), Frédéric Kanouté (Beijing Guoan), Demba Ba (Shanghai Shenhua), Tim Cahill (Shanghai Shenhua dan Hangzhou Greentown), Ahn Jung-hwan (Dalian Shide), Nicolas Anelka (Shanghai Shenhua), Carsten Janker (Shanghai Shenhua), Damiano Tommasi (Tianjin Teda), Stephan El Shaarawy (Shanghai Shenhua), Ricardo Carvalho (Shanghai SIPG), hingga Carlos Tevez (Shanghai Shenhua), dan Javier Mascherano (Hebei China Fortune).

“Para pemain (bintang) itu direkrut untuk membangun budaya sepakbola di antara fans dan meningkatkan level kompetensi (pemain lokal). Yang menarik lagi adalah pemerintah China, termasuk otoritas provinsinya, juga membangun kampus-kampus olahraga di semua kota besar. Orang China menyukai model Manchester City dengan Kampus Etihadnya. Maka bukan hal mengejutkan melihat pilihan ke arah mana investasinya digelontorkan,” imbuhnya.

Baca juga: Revolusi Sepakbola Jepang

Memang yang dilakukan China bukanlah hal baru. Hanya saja ketimbang Indonesia, China lebih serius dalam menjalankannya. Maka sejak saat itu China mulai jadi kekuatan baru sepakbola Asia. Di Piala Dunia, China sudah mulai memperjuangkannya sejak kualifikasi Piala Dunia 1982 tapi baru berhasil mencatatkan debutnya pada Piala Dunia 2002 saat ditukangi Bora Milutinović. 

Memang setelah itu China sempat stagnan. Di Piala Asia saja sekadar jadi finalis pada 2004. Sejumlah pelatih besar pun didatangkan untuk membesut Tim Naga meski masih gagal mengulang prestasi 2002. Di antaranya José Antonio Camacho (2011-2013), Marcelo Lippi (2016-2019), dan kini asanya berada di tangan Branko Ivanković. 

Timnas China di Piala Dunia 2002 (FIFA)

TAG

sepakbola china cina tiongkok

ARTIKEL TERKAIT

Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian II – Habis) Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian I) Pengungsi Basque yang Memetik Bintang di Negeri Tirai Besi Riwayat NEC Nijmegen yang Menembus Imej Semenjana Mula Bahrain Mengenal Sepakbola Enam Momen Pemain jadi Kiper Dadakan Memori Manis Johan Neeskens Kenapa Australia Menyebutnya Soccer ketimbang Football? Kakak dan Adik Beda Timnas di Sepakbola Dunia Yang Dikenang tentang Sven-Göran Eriksson