KIM Jong-un, pemimpin Korea Utara (Korut), merupakan seorang penikmat olahraga. Cucu pendiri Korut Kim Il-sung yang tengah diisukan wafat itu penggila basket NBA.
Semasa kuliah di Swiss, ia juga sering berperjalanan ke Italia menengok laga-laga Serie A. Sejak beberapa tahun lalu berseliweran kabar ia menggemari beberapa klub asal Negeri Pizza seperti Juventus dan Inter Milan.
Ketika timnas Korut lolos Piala Dunia 2010, jelas ia jadi pria paling bahagia sekaligus jadi sosok paling kecewa lantaran buruknya prestasi Jong Tae-se dkk. di Afrika Selatan.
Baca juga: Korea Bersatu di Arena
Bagaimana mula sepakbola di negeri yang tertutup dan misterius itu, minim sumber. Yang bisa dipastikan, sepakbola sebagai olahraga yang “merakyat” sudah jadi perhatian sejak rezim Kim Il-sung. Sebagai olahraga yang menarik massa, sepakbola selalu jadi alat politik penguatan ideologi komunisme kepada rakyatnya.
Pemerintah dan rakyat Korut gila bola. Bila Amerika Selatan dan Eropa boleh bangga pada stadion-stadion legendaris nan mewah yang mereka punya, Korut berhak tepuk dada lantaran punya stadion Stadion 1 Mei Rungrado. Didirikan 1 Mei 1989, arena berbentuk cangkang kerang itu merupakan stadion bola terbesar sekolong langit dengan kapasitas 114 ribu orang.
Sepakbola Korea Utara yang Misterius
Seperti halnya kehidupan ekonomi dan sosial rakyatnya, masuk dan berkembangnya sepakbola di Korut juga misterius. Mengutip dari North Korea Handbook yang disusun kantor berita Korsel Yonhap, permainan si kulit bundar mulai berkembang pesat tak lama setelah gencatan senjata Perang Korea pada 1953.
Namun, klub sepakbola pertama di Korut sudah eksis bahkan sebelum Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK, nama resmi Korut) lahir. Adalah Amnokgang Sports Club yang berdiri pada 19 Desember 1947, setahun sebelum DPRK memproklamirkan diri. Sayangnya, tak tercatat kiprah perdananya di masa transisi setelah memerdekakan diri dari Jepang itu.
Baca juga: Korea Merajut Persatuan Lewat Olahraga
Seperti di negara-negara Eropa Timur, klub-klub yang bermunculan kemudian terafiliasi dengan sejumlah perangkat pemerintahan. Amnokgang dipegang Kementerian Keamanan Rakyat. Klub lain, 4.25 Sports Club, lahir pada Juli 1949 dengan nama Central Sports Training School Sports Club. Tim yang bernaung di bawah Kementerian Angkatan Bersenjata Rakyat ini mengubah namanya menjadi seperti sekarang sejak Juni 1971, mengambil tanggal lahir Tentara Rakyat Korea, 25 April 1932.
Sementara, klub kesayangan Kim Il-sung adalah Pyongyang City Sports. Klub ini didirikan pada 30 April 1956.
“Pyongyang City Sports Team didirikan langsung oleh Presiden Kim Il-sung untuk memulai proyeknya pada 30 April 1956, dalam rangka restorasi pasca-perang. Klubnya langsung dikelola oleh Partai Pekerja Korea,” sebagaimana dikutip Tongil News, 9 Mei 2006.
Klub ini pula yang sejak 1969 bersarang di stadion tertua dan legendaris di ibukota, Stadion Kim Il-sung. Stadion yang mulanya bernama Stadion Girimri ini berdiri pada 1926. Ia adalah markas Pyongyang Football Club, tim sepakbola yang beraktivitas sejak Korea masih berupa kerajaan dan bubar saat Perang Korea meletus.
Stadion tersebut rusak parah akibat Perang Korea. Ia baru direnovasi tahun 1969 dan namanya diubah menjadi Stadion Moranbong. Karena sering dijadikan tempat pidato Kim Il-sung, pada April 1982 nama stadion pun diubah menjadi Stadion Kim Il-sung.
Baca juga: Tangan Dingin Moon Jae-in dalam Perdamaian Korea
Hal misterius lain adalah, Asosiasi Sepakbola Korea Utara (PRKFA) sudah lahir sejak 1945 meski baru diakui dan diterima sebagai anggota FIFA pada 1958. Dua tahun berselang, PRKFA mulai menggulirkan liga sebagai kompetisi rutinnya di samping beberapa turnamen domestik lain seperti Hwaebul Cup, DPR Korea Championship, dan Mangyongdae Prize.
“Sebenarnya setelah Perang Dunia II dan Korea merdeka dari Jepang, KFA (sebagai induk sepakbola Korea yang masih bersatu, red.) lolos menjadi anggota FIFA sejak 1947. Setelah Perang Korea berakhir, Korea Selatanlah yang mewarisi status keanggotaan FIFA. Baru setelah (PRKFA) melamar, FIFA memberi status keanggotaan pada Korea Utara pada 1958 dan mereka menjadi sorotan dunia untuk pertamakali pada Piala Dunia 1966,” ungkap John Nauright dan Charles Parrish dalam Soccer Around the World.
Kejutan Chollima di Tanah Britania
Bila Korsel –bersama Jepang– boleh berbangga jadi negara Asia pertama yang jadi tuan rumah Piala Dunia, Korut punya gengsi sejarah sebagai tim Asia pertama yang lolos ke perempatfinal Piala Dunia, yakni pada 1966 di Inggris. Menukil Aaron D. Horton dalam “The Hermit Kingdong versus the World: North Korea in the World Cup” yang dimuat dalam Football and the Boundaries of History, perjalanan Chollima (julukan timnas Korut) bermula di babak kualifikasi yang meleburkan wakil Asia, Afrika dan Oseania, yakni Korut, Australia, Korsel, dan Afrika Selatan (Afsel).
Afsel lalu didiskualifikasi FIFA lantaran tekanan dunia internasional terhadap politik apartheid-nya. Tiga wakil tersisa juga terganjal hal politis. Korsel dan Korut masih berstatus gencatan senjata sejak 1953. Australia belum mengakui Korut sebagai negara berdaulat sehingga tak bisa mengeluarkan visa untuk laga tandang Korut ke Tanah Kanguru.
Korut sedikit beruntung karena kolega Kim Il-sung sesama diktator komunis, Norodom Sihanouk, bersedia menyediakan tempat di Phnom Penh, Kamboja. Korsel memilih mundur karena tak menyediakan anggaran lebih buat mengalihkan perjalanan ke Kamboja. Akibatnya, tinggal Korut dan Australia yang “berperang” di lapangan hijau. Hebatnya, Korut sukses dua kali memecundangi Australia di Stadion National Olympic Phnom Penh, 6-1 (21 November 1965) dan 3-1 (24 November 1965).
Baca juga: Serba Pertama di Piala Dunia (Bagian I)
Kehadiran Korut di putaran final (Piala Dunia di Inggris) juga dipermasalahkan tuan rumah karena Britania Raya belum mengakui Korut. “Sejak Perang Korea berakhir pada 1953, Inggris secara resmi menolak mengakui pemerintahan komunis DPRK sebagai negara berdaulat. Belum lagi tensi Perang Dingin juga memberi tekanan tersendiri bagi hubungan Inggris dan Amerika Serikat. Lantas bagaimana caranya FA sebagai tuan rumah mengizinkan musuh de facto Inggris bermain di negaranya di ajang olahraga ternama di planet bumi,” tutur sejarawan James Southern, dikutip Horton.
Namun perkara penting yang menjadi soal bagi tuan rumah adalah sebutan nama tim. “Tiga masalah utama muncul terkait partisipasi DPRK. Yang pertama terkait nomenklatur: bagaimana pers dan publik menyebut negara yang secara resmi tidak (dianggap) eksis? Soal ini solusinya adalah menanggalkan akronim (DPRK) dan bermain di bawah nama Korea Utara. Lalu yang kedua soal apakah Yang Mulia Ratu (Inggris) boleh berfoto dengan mereka? Panitia pelaksana memutuskan tidak, agar tak menarik perhatian dunia internasional lebih jauh lagi,” lanjut Southern.
Yang ketiga, simbol dan bendera DPRK. Korut bersikeras bendera mereka tetap harus berkibar saat mereka berlaga. Panitia dengan berat hati mengizinkan, meski mendapat protes dari Kedutaan Korsel di London.
Terlepas dari kusutnya perkara-perkara itu, timnas Korut bikin kejutan. Tergabung di Grup 4 babak penyisihan, awalnya Korut digilas Uni Soviet tiga gol tanpa balas. Namun mereka bangkit dan kemudian bermain imbang 1-1 kontra Chile. Di laga terakhir, kontra Italia, penonton di Stadion Ayresome Park tertegun kala Italia ditekuk 0-1 lewat gol Pak Doo-ik.
Baca juga: Skandal Memalukan Chile demi Piala Dunia
Sayangnya kemudian di perempatfinal, 23 Juli 1966, Korut harus mengakui keunggulan Portugal di Goodison Park. Unggul lebih dulu lewat tiga gol, Korut akhirnya dibalikkan Portugal 3-5 lewat empat gol Eusébio dan sebutir lagi dari José Augusto.
Korut pun pulang dengan kepala tegak. Tim besutan Myung Rye-hyun itu bisa melampaui harapan Kim Il-sung sebelum mereka berangkat ke Inggris.
“Sebelum kami berangkat, Pemimpin Besar mengundang kami untuk bertemu. Ia memeluk kami dengan erat dan berkata: ‘Eropa dan Amerika Selatan mendominasi sepakbola internasional. Sebagai wakil Asia, sebagai bangsa berkulit warna, saya meminta kalian setidaknya menang satu atau dua pertandingan,” kata bek Korut Ring Jung-sun mengenang, dikutip BBC, 19 Juni 2002.
Setelah itu, Korut baru menyapa lagi penikmat Piala Dunia pada 2010 di Afrika Selatan. Tergabung di Grup G, Jong Tae-se dkk. babak belur ditekuk Brasil 1-2, digilas Portugal 0-7, dan digebuk Pantai Gading 0-3.
Rumor Kim Jong-un geram dan menghukum pelatih dan segenap pemain Korut jadi pekerja paksa pun muncul tak lama kemudian. Kabar itu tak bisa dikonfirmasi oleh FIFA karena tim investigasi mereka tak diberi izin terjun ke Korut. Korut masih menutup diri dan keadaannya yang misterius terus lestari.
Baca juga: Berguru Tenis Meja hingga ke Korea Utara