Masuk Daftar
My Getplus

Cerita dari Stadion Hoegeng di Pekalongan

Stadion ikonik dari Kota Batik yang bertahan melintasi zaman. Disempurnakan monumen Jenderal Polisi Hoegeng yang jadi panutan fair play dan kejujuran. 

Oleh: Randy Wirayudha | 15 Jan 2025
Stadion Hoegeng dari tampak luar (Randy Wirayudha/Historia.ID)

KOTA Pekalongan tak hanya dikenal sebagai “Kota Batik” dan kota kelahiran tokoh polisi jujur, Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso. Di masa lalu, Pekalongan juga dikenal akan sepakbolanya. Ketiga julukan itu diwakilkan sebuah stadion tua yang masih berdiri kokoh: Stadion Hoegeng. 

Siang itu dengan mendung menaungi kawasan Jalan Perintis Kemerdekaan, Kraton Kidul, Pekalongan, stadion Hoegeng jauh dari keriuhan. Beberapa pedagang minuman di sekitarnya juga tampak lesu karena situasi kawasan tengah sepi. 

Bangunan Stadion Hoegeng masih kokoh meski jauh dari kata modern. Dari muka, tribun utamanya yang berlantai tiga tampak masih megah. Tepat di depannya terdapat sebuah monumen dengan patung Hoegeng setinggi 9 meter berikut umpaknya tiga meter. Sosoknya berdiri gagah dengan kepala menengok ke kiri sembari menghormat dan tangan kiri serta tangan kanan mendekap tongkat komando. 

Advertising
Advertising

“Itu patungnya baru kemarin. Diresmikan 2023 oleh Pak (Jenderal Polisi Ahmad) Luthfi, Kapolda Jawa Tengah,” terang Arief Dirhamzah, penggiat sejarah dan co-founder Pekalongan Heritage, kepada Historia.ID 

Baca juga: Lebih Dekat Mengenal Batik dari Kota Batik (Bagian I)

Namun disayangkan, stadion yang bernaung di bawah Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Kepemudaan, dan Olahraga Kota Pekalongan itu tampak kurang terawat. Deretan tempat duduk beton di tribun utamanya berselimut debu. Deretan tempat duduk di tiga tribun lain yang tak beratap disesaki rerumputan. Rumput lapangannya memang masih tampak baik. Tetapi trek atletik di tepi lapangan seperti sudah tak berfungsi karena ditumbuhi rerumputan. Maklum, venue ini terbilang gaek karena sudah eksis sejak 1930-an. 

“Kita memang belum menemukan data ya, tentang kaitannya kapan stadion itu didirikan dan difungsikan zaman Belanda. Tapi tahun 1930-an sudah ada catatan sebuah pertandingan amal yang dilakukan THH, klub Tionghoa Pekalongan dengan kesebelasan dari Tiongkok, Nan Hwa,” imbuhnya. 

Sisi dalam Stadion Hoegeng (Randy Wirayudha/Historia.ID)

Di era Perserikatan, Persip yang mewakili sepakbola Pekalongan juga acap dilirik para pelatih Timnas Indonesia. Jauh sebelum Muhammad Ridho yang masuk timnas senior (2018-2019), sudah ada beberapa pemain asal Pekalongan yang masuk timnas pada 1960-an di era pelatih Antun “Toni” Pogačnik. Salah satunya Mubarak Kelip. 

“Persija Jakarta setelah juara 1950-an (Perserikatan Musim 1953-1954) pernah main di Pekalongan. UNI Bandung di masa keemasannya juga cari lawan tanding di Pekalongan. Toni Pogačnik kalau (timnas) PSSI mau ke luar negeri, salah satu ujicobanya dengan Persip karena di Persip ketika itu ada 7-8 pemain yang masih tim inti PON Jawa Tengah,” lanjut Dirham. 

Tapi itu dulu. Gairah sepakbola di Pekalongan menukik seiring laju zaman. Kini Stadion Hoegeng hanya jadi saksi bisu klub kebanggaan kota itu, Persip Pekalongan, yang masih berkubang di kasta Liga 4 Jawa Tengah. 

Baca juga: Lebih Dekat Mengenal Batik dari Kota Batik (Bagian II – Habis)

Silih Berganti Nama Stadion 

Pekalongan berkembang pesat sejak awal abad ke-20 berkat kerajinan batiknya. Klub-klub sepakbola kalangan Eropa, Indo-Eropa, Tionghoa, dan bumiputera pun bermunculan pada 1920-an hingga 1940-an. Selain THH, di antaranya terdapat juga klub Al-Hilaal, Atnathon, Wiener Sport Club, dan Roekoen Setia. 

“Sebelum ada stadion itu, pertandingan-pertandingan sebelumnya ada kalau pas digelarnya pasar malam di Alun-Alun Pekalongan. Jadi di alun-alun yang sekarang di Jalan Nusantara di depan Masjid Kauman. Itu alun-alun sejak tata kota era (Kesultanan) Mataram. Kalau alun-alun baru di kawasan Jetayu yang jadi ibukota karesidenan dekat kantor pos, pengadilan, dan rumah residen,” sambung Dirham. 

Hal itu berkelindan dari sebuah pemberitaan di harian De Locomotief edisi 29 Juni 1929. “Di hadapan banyak penonton,” tulis harian tersebut, “sebuah pertandingan antara kesebelasan Kraaienelftal dari Batavia dan Bondselftal dari Pekalongan pada Jumat petang di alun-alun. Pertandingannya berakhir 3-1 untuk kemenangan tim tamu.” 

Baca juga: Cerita dari Stadion Diponegoro (Bagian I)

Sebagaimana di kota-kota lain, berkembangnya Pekalongan juga membutuhkan sarana rekreasi dan aktivitas olahraga. Dari beberapa suratkabar era kolonial, ditemukan fakta bahwa stadion itu sudah berdiri sejak tahun 1933 atau empat tahun pasca-Pekalongan memiliki status sebagai gemeente (kotapraja). 

Salah satu catatan datang dari harian De Locomotief edisi 27 Oktober 1933. Dalam artikel “Opening Sportveld” disebutkan stadion itu dibangun pemerintah kota di kawasan olahraga Kratonstraat. Namun siapa arsiteknya, kapasitas, dan biaya pembangunannya masih gelap. 

“Pekalongan Sportpark akan resmi difungsikan pada Sabtu 28 Oktober dengan tiga lapangan yang akan jadi lapangan latihan (olahraga lain, red.). Klub Tionghoa THH kan bermain saat pembukaan dan diharapkan para penonton yang biasanya menyaksikan (sepakbola) di alun-alun akan datang ke lapangan baru yang sudah dinanti Pekalongan sejak lama,” tulis harian itu. 

Serdadu Belanda melakoni "fun football" medio Mei 1948 di Stadion Pekalongan (nationaalarchief.nl)

Menurut De Locomotief edisi 30 Oktober 1933, stadion itu dibuka secara resmi oleh Burgemeester (walikota) Pekalongan J. Leewis pada 28 Oktober 1933 sekitar pukul 3 petang. Setelah berpidato, dua pertandingan dilangsungkan, yakni antara THH vs. Gymnastiek en Sportvereeniging Tiong Hoa dari Surabaya pada 28 Oktober dan antara Kesebelasan Kombinasi (THH, Roekoen Setia, dan Al-Hilaal) melawan tim tamu yang sama pada 29 Oktober. 

“Tuan Leewis, walikota Pekalongan turut memberi pidato pembukaan. Hadir pula residen dan Ketua THH, Tuan Touw. Walikota lalu menyerahkan panggung (arena lapangan) kepada para pemain dengan harapan para penonton dapat menjadi saksi pertandingan yang fair play di lapangan,” tulis suratkabar tersebut. 

Di artikel tersebut, stadionnya masih disebut Sportterrein Pekalongan. Tetapi harian Algemeen handeslblad voor Nederlandsch-Indië edisi 16 Juli 1936 menyebut venue itu Gemeentelijk sportterrein. 

Baca juga: Cerita dari Stadion Diponegoro (Bagian II – Habis)

 

Di masa revolusi kemerdekaan, suratkabar De Locomotief edisi 9 Januari 1948 memberitakan sebuah pertandingan antara sesama tentara Belanda di arena yang disebutkan dengan Pekalongan Terrein Stadion itu. Pasca-revolusi, stadion itu disebut Stadion Keraton. 

“Zaman Persija dan pelatih timnas (Pogačnik) pernah ke sini nama stadionnya sudah Stadion Keraton. Keraton di sini nama desa yang dijadikan nama stadion, jadi bukan keraton sebagai tempat tinggal raja. Dahulu kawasan stadionnya itu kawasan Desa Keraton,” kata Dirham. 

Beberapa bagian dalam tribun Stadion Hoegeng (Randy Wirayudha/Historia.ID)

Dirham yang juga mantan media officer Persip kurun 2005-2013 menguraikan, stadion tersebut sudah mengalami beberapa kali renovasi hingga menjadikannya seperti sekarang. Antara lain pada 1986 dan 2006-2007. 

“Bangunan saat ini itu (rehabilitasi) eranya Pak Walikota Samsudiat sampai Pak Basyir (Muhammad Basyir Ahmad Syawie) yang sempat mengangkat Persip sampai ke Divisi Utama (kini Liga 2),” kenangnya. 

Baca juga: Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian I)

 

Dari Stadion Keraton, namanya berubah lagi menjadi Stadion Kota Batik pada 2011 atau tiga tahun pasca-batik diresmikan UNESCO menjadi Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi asal Indonesia. Pada 2017, nama stadion berubah lagi, menjadi Stadion Hoegeng menyusul pengajuan sang polisi jujur yang kelahiran Pekalongan –pada 14 Oktober 1921– itu untuk menjadi pahlawan nasional. 

“Saya masih ingat, 21 April pas Hari Kartini karena saya yang menggandeng Eyang Meri Hoegeng (istri Jenderal Hoegeng). Karena dulu awalnya saya juga mengantar para tokoh masyarakat Pekalongan menemui Eyang Meri dan keluarga untuk minta persetujuan. Saya kira tadinya mau dijadikan nama jalan tapi ternyata sama Pak Alex (Achmad Alf Arslan Djunaid, walikota 2016-2017) dinamakan untuk stadion. Karena dia (Hoegeng) dianggap sebagai contoh panutan masyarakat Pekalongan dalam hal fair play, tentang kejujuran,” tukas Dirham. 

Monumen dan Patung Jenderal Hoegeng (Randy Wirayudha/Historia.ID)

Pada akhirnya, tahun 2023 Stadion Hoegeng disempurnakan dengan patungnya. Mengutip laman resmi Pemerintah Kota Pekalongan, 27 September 2023, pemrakarsa monumen dan patungnya datang dari pihak Polda Jawa Tengah dengan alasan untuk mengenang jasa dan sikap teladan Jenderal Hoegeng. Peresmiannya dilakukan pada 11 November 2023 dengan dihadiri Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono yang turut menandatangani tetenger monumennya. 

“Kalau orang ingat Kota Pekalongan sebagai Kota Batik tapi juga ingat Pak Hoegeng. Kalau ingat Pak Hoegeng ingat ke polisi. Polisi ingat yang jujur, yang sederhana, yang punya integritas, yang berani, dan ini menjadi tonggak sejarah yang patut diapresiasi bersama,” tandas Kapolda.

Baca juga: Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian II – Habis)

 

TAG

pekalongan sepakbola stadion

ARTIKEL TERKAIT

Ayah Patrick Kluivert Legenda Sepakbola Suriname Kiprah Toni Pogacnik, Pelatih Timnas Indonesia asal Kroasia Cerita dari Stadion Diponegoro (Bagian II – Habis) Mengenal Lebih Dekat Patrick Kluivert Cerita dari Stadion Diponegoro (Bagian I) Serba Pertama dari Goodison Park Gemuruh Sejarah Panser Biru Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian II – Habis) Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian I) Lebih Dekat Mengenal Batik dari Kota Batik (Bagian II – Habis)