SURINAME memang jadi negeri bekas jajahan Belanda dengan orang Jawa, yang bermigrasi di masa kolonial, terbanyak. Namun bukan berarti Patrick Kluivert, pelatih anyar Timnas Indonesia, yang berdarah Suriname juga keturunan Jawa.
Kendati sumber mengenai asal-usul Patrick Kluivert minim, yang pasti ia merupakan anak ketiga dari pasangan Kenneth Ramon Kluivert dan Lidwina. Kenneth kelahiran Suriname sedangkan Lidwina berdarah Curaçao, negeri yang timnas sepakbolanya ditukangi Patrick Kluivert pada 2015-2016 dan 2021.
Darah sepakbola mengalir deras dalam diri Patrick Kluivert lantaran ayahnya juga pesepakbola. Bahkan disebutkan, Kenneth lebih jago ketimbang Patrick ketika Kenneth masih berkarier di klub top Suriname SV Robinhood pada era 1960-an serta timnas Suriname. Hanya saja, karier sang ayah berkutat di persepakbolaan Suriname yang masih amatir dan tidak semaju Belanda.
“Kesuksesan Suriname terletak pada para pendahulunya. Contohnya, ayah (Patrick) Kluivert adalah bintang sepakbola. Menurut cerita ibu saya, ia pesepakbola yang jauh lebih baik daripada Patrick,” ujar Mitchell Piqué, eks-pemain Ajax Amsterdam yang juga keturunan Suriname, dikutip , 20 Maret 2017.
Patrick Kluivert meski anak ketiga tapi jadi putra pertama Kenneth Kluivert yang lahir di Belanda. Ia lahir pada 1 Juli 1976 usai keluarganya bermigrasi ke Amsterdam sejak 1970. Oleh karenanya, Patrick Kluivert tak pernah menyaksikan sendiri ayahnya merumput.
Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Patrick Kluivert
Siapa Kenneth Kluivert?
Dari minimnya sumber yang bisa menyibak pohon keturunan Kenneth “Bossa” Kluivert diketahui, ia lahir di Distrik Marowijne, Moengo, sebuah kota penghasil bauksit di Suriname, pada 26 Agustus 1941. Ayahnya juga pesepakbola amatir yang punya kharisma dan skill menggocek jempolan.
“Saya anak yang pendiam seperti ayah saya. Ayah bekerja sebagai operator alat berat dan juga seorang pesepakbola. Jadi sepakbola sudah ada dalam DNA saya. Saudara-saudara kandung saya juga jago bermain bola tapi mereka tidak menseriusinya seperti saya,” kenang Bossa di laman resmi SVB, federasi sepakbola Suriname, 28 Februari 2021.
Laman tersebut juga menyingkap semasa kecil Bossa meniti kariernya di klub yunior di ibukota Paramaribo, JC Bronsplein. Perlahan tapi pasti kemudian ia merumput bersama klub amatir Victoria, Be Quick, dan Sport Vereniging (SV) Robinhood. Di klub terakhir inilah Bossa memasuki era keemasannya di lapangan hijau.
Baca juga: Kakak dan Adik Beda Timnas di Sepakbola Dunia
SV Robinhood pun hingga kini masih jadi salah satu tim terbaik di Suriname. Menilik De eerste Surinaamse sportencyclopedia (1893-1988) karya Ricky W. Stutgard, klub yang didirikan Anton Blijd dan J. Nelom pada 6 Februari 1945 itu mulanya dijadikan wadah aktivitas rekreasi para pemuda miskin di pusat kota Paramaribo. Bossa menjadi bagian dari tim ini yang mencapai masa jaya pada 1960-an.
Julukan “Bossa” yang didapat Kenneth sendiri berasal dari kegetolanya berdansa bossa nova –aliran musik percampuran antara irama samba dan jazz, baik di luar maupun di dalam lapangan usai merayakan kemenangan. Bossa Kluivert yang dikenal ‘gacor’ bermain di sayap kiri mulai berseragam SV Robinhood pada 1961. Statusnya amatir karena dia tetap bekerja sebagai pegawai kantor pos di Paramaribo. Ketika itu SV Robinhood sudah berada di level teratas sepakbola domestik Suriname, SVB Hoofdklasse (kini SVB Eerste Divisie).
Sepanjang kariernya di SV Robinhood (1961-1970), Bossa Kluivert acap jadi pemain kunci. Utamanya setiap duel klasik kontra rival abadi SV Transvaal yang notabene selalu jadi momen heboh penggila bola Suriname.
“Pernah kami sempat tertinggal 1-4 lawan Transvaal (tahun 1963). Para penonton sudah meninggalkan stadion. Namun kami mampu melawan hingga skor akhirnya imbang dan saya mencetak dua gol,” sambung Bossa.
Ia juga tercatat jadi punggawa kunci ketika SV Robinson meraih dua kali titel juara liga SVB Hoofdklasse. Musim 1961 maupun 1964.
“Kami juga menjadi juara nasional tak terkalahkan pada 1964 dan saya juga ingat kami pernah bertanding melawan Botafogo (asal Brasil di Turnamen Quadrangular do Suriname). Kami kalah 2-1 padahal mestinya kami bisa menang,” lanjutnya.
Kecemerlangannya membuatnya dipanggil untuk memperkuat Timnas Suriname sejak 1963. Saat itu, Suriname tengah menghadapi kualifikasi Olimpiade 1964 Zona Concacaf (Amerika Utara, Karibia, dan Amerika Tengah). Bossa Kluivert sudah tercatat dalam skuad Suriname menjelang laga kualifikasi babak pertama kontra Netherlands Antilles (kini Curaçao).
“Di babak awal kualifikasi menuju (Olimpiade) Tokyo 1964, Nederlandse Antillen akan menjamu Suriname di Stadion Rif Rif Stadium pada 4 Agustus dan pada September. Tim Suriname yang sudah datang diperkuat Henk Schotsborg, Ronald Tjong A Jong dan Cornelis van Dorpel (kiper), Leo Schipper dan Stanley Krenten (stopper), Johan Collin dan Alex Hasselbaink (tengah), Emile Esajas, George Kortram, Kenneth Kluivert, Humbert Boerleider, André Fernandez, Johan Strok, Siegrfied Haltman, Johan Karsters, Arnold Brammerlo, August Watson, Wong Swie Sang, Griffith, Van Bossé, Blikslager dan Slijngaard. Pelatih adalah Tuan (André) Kamperveen ditemani manajer Tuan G. Gersie,” tulis harian Amigoe di Curacao edisi 1 Agustus 1963.
Baca juga: Sebelas Ayah dan Anak di Piala Eropa (Bagian I)
Pada duel dua leg itu, Suriname menang 2-1 di laga tandang pada 4 Agustus 1963 dan menang telak 3-0 di kandang sendiri pada 12 Oktober 1963. Suriname pun lolos ke putara final kualifikasi yang dihelat di Meksiko, 14-20 Maret 1964.
Suriname tergabung dalam satu grup dengan tuan rumah Meksiko, Amerika Serikat, dan Panama. Di partai perdana kontra Amerika Serikat, gol tunggal Bossa Kluivert jadi penentu kemenangan 1-0 meski Suriname kemudian dua kali dibantai: 0-6 oleh Meksiko dan 1-6 oleh Panama. Suriname pun gagal lolos ke Olimpiade Tokyo 1964.
“Sayangnya kami tampil kurang baik di Meksiko. Kami terkendala beradaptasi dengan perbedaan ketinggian. Anda butuh paru-paru yang istimewa untuk bermain sepakbola di ketinggian 2.240 meter di atas laut. Berjalan saja melelahkan apalagi berlari mengejar bola. Beberapa pemain bahkan sampai mengalami masalah kesehatan,” kenang Bossa.
Bossa tetap jadi andalan Suriname ketika menyongsong kualifikasi Piala Dunia 1966. Di babak pertama kualifikasi zona Concacaf, Bossa dkk. tergabung di Grup 3 bersama Kosta Rika serta Trinidad dan Tobago.
Pada partai terakhir Grup 3 itulah Bossa mencetak gol kedua sekaligus gol terakhirnya untuk timnas. Ia turut menyumbangkan sebutir gol dalam kemenangan 6-1 Suriname atas Trinidad dan Tobago pada 14 Maret 1965. Namun, gol Bossa dan kemenangan telak itu belum cukup mengantarkan Suriname lolos ke babak kedua kualifikasi.
Bossa memang hanya mencatatkan total 3 caps dengan 2 gol di timnas sepanjang 1964-1965. Namun sebelum gantung sepatu, ia punya catatan gemilang 345 penampilan dan 366 gol di pentas domestik untuk SV Robinhood sebelum akhirnya pensiun pada 1970.
Baca juga: Pengungsi Basque yang Memetik Bintang di Negeri Tirai Besi
Pada Oktober 1970, Bossa membawa keluarganya merantau ke Amsterdam, Belanda. Ia menafkahi keluarganya dengan menjadi pegawai di perusahaan perkapalan Nederlandsche Dok en Scheepsbouw Maatschappij dan menjelang usia senja kembali jadi pegawai kantor pos.
Namun hingga ketika usianya sudah gaek, ia nyaris tak pernah jauh dari sepakobola. Sedikitnya ia masih merumput untuk sekadar “fun football” dengan klub amatir Real Sranang yang berisi para imigran dari Suriname.
“Kadang ketika bertemu orang-orang Suriname yang lebih tua di Amsterdam mereka bilang, ‘hei, kau anaknya Bossa. Itu julukan ayah saya. Pada masa muda mereka, Bossa seorang legenda. Dua tahun lalu Anda masih bisa melihat buktinya saat ia memberi umpan dan melakukan tendangan bebas di lapangan bersama Real Sranang di Amsterdam. Tendangan bebas ayah saya mematikan,” tandas Patrick Kluivert kepada de Volksrant, 31 Mei 2008.
Baca juga: Sebelas Ayah dan Anak di Piala Eropa (Bagian II – Habis)