PERANG terkadang mendatangkan keuntungan bagi sebagian orang. Soekardi dari Kediri, Hardjo Soedarmo dari Yogyakarta, Marta dari Banyumas, dan Soedijono dari Semarang yang semuanya berpendidikan rendah bisa jadi tentara. Kenyataan tersebut tak mungkin mereka capai jika Perang Dunia II tidak pecah. Namun, mereka tak berperang untuk mempertahankan tanah kelahiran mereka, Jawa.
Setelah Belanda terlibat dalam Perang Dunia II, nun jauh di Suriname, koloni Kerajaan Belanda di Benua Amerika, pencarian serdadu diadakan oleh militer Belanda. Orang keturunan Afrika, keturunan Belanda, juga keturunan Jawa di sana diterima masuk menjadi tentara.
Banyak orang mendaftarkan diri oleh karenanya. Di antara mereka yang mendaftar menjadi prajurit rendahan itu, ada yang belum lama tiba di Suriname. Umumnya mereka bekerja di perkebunan dan berpendidikan rendah, paling tinggi sekolah setingkat SD. Koran De West, 8 Maret 1943, memberitakan ada puluhan keturunan Jawa yang mendaftar ke komando teritorial Suriname dan sudah mendapat pangkat prajurit infanteri kelas satu.
Baca juga:
Asa Jawa-Suriname Buyar di Negeri Asal
Setelah setahun mendapat pelatihan, seperti disebut koran De West edisi 7 Juni 1944, para prajurit itu dikirim ke Australia untuk melawan tentara Jepang dalam Perang Pasifik. Sambil menunggu dikirim ke front, mereka dapat pelatihan lagi selama berada di Australia.
Di antara orang-orang Jawa tersebut, terdapat Prajurit infanteri Soekardi dari Kediri, Prajurit Hardjo Soedarmo dari Yogyakarta, Sersan Marta dari Banyumas, dan Kopral Soedijono dari Semarang.
Tanah tempat mereka dilahirkan kala itu sedang diduduki tentara Jepang. Ada bermacam motivasi dari para serdadu Jawa-Suriname itu kelak ketika bertemu serdadu Jepang. Ada yang ingin memotongnya menjadi beberapa bagian.
Hasrat tempur dengan bermacam motivasi itu akhirnya mendapatkan momentum juga. Perintah ke front datang menghampiri masing-masing personel.
“Mereka memberi tahu kami bahwa kami yang pertama menyerang Tarakan dan Balikpapan di Indonesia,” kata Anton Semmoh, salah satu prajurit asal Suriname, kepada Trouw edisi 2 Mei 1989.
Banyak prajurit terharu akan keberangkatan mereka. Bagi mereka yang masih muda, petualangan dimulai. Tak ada kata mundur. Menolak perintah adalah desersi dan hukumannya penjara.
Baca juga:
Suramnya Perbudakan Belanda di Suriname
Para prajurit Suriname itu, termasuk yang Jawa, dibagi dalam beberapa kompi. Kompi yang ke Tarakan dikomandani Letnan Nortier, orang Belanda yang baru saja kabur dari negerinya dan singgah di Suriname sebelum sampai ke Australia. De West (7 Mei 1945) dan Amigoe Curacao (15 Mei 1945) menyebut orang Jawa-Suriname bertempur di Tarakan.
Setelah ke Tarakan, ada kompi Suriname yang dikirim ke Balikpapan. Dua kota itu merupakan kota penting yang harus direbut terlabih dulu sebelum tentara Sekutu memasuki Jawa. Berbulan-bulan para prajurit Jawa-Suriname yang mewakili tentara Belanda itu bertempur di Kalimantan pada 1945. Kendati peran tentara Belanda sangat kecil dalam perebutan dua kota itu, hasilnya cukup membanggakan orang Suriname yang ikut Sekutu.
"Kami sangat senang ketika Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945. Tetapi kami tidak tahu bahwa orang Indonesia sedang berjuang untuk kemerdekaan. Mereka memisahkan kami,” aku Anton Semmoh.
Baca juga:
Anak Buah Westerling Bikin Kudeta di Suriname
Di Kalimantan itulah para serdadu Jawa-Suriname yang tersebar di kesatuan-kesatuan berbeda-beda dalam militer Belanda itu mendengar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Maka kemudian ada yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan tanah leluhur mereka dari Belanda menjadi harapan baru mereka. Ada serdadu Jawa-Suriname yang hendak menyeberang ke pihak Indonesia. Namun, seingat Anton Semmoh, kemudian ditembak oleh aparat Belanda.
Tapi ada pula seorang serdadu keturunan Afrika yang memilih tinggal dan berpihak kepada Indonesia. Namanya Esseboom.
Untuk mengatasi fenomena tersebut, sebagian pasukan dari Suriname dengan cepat dipulangkan ke Suriname. Tujuannya agar mengurangi masalah pihak Belanda dalam menduduki Indonesia.*