NASIB kadang membawa seseorang pada tujuan dengan cara berliku yang tak pernah terpikirkan. Hal itulah yang dialami Poorwo Soedarmo, dokter di Hindia Belanda yang kelak menjadi “Bapak Gizi Indonesia”. Lantaran tak bisa berbuat banyak untuk membantu masyarakat di Jakarta karena situasi Perang Kemerdekaan tak memungkinkan kaum “Kiblik” bergerak bebas, Poorwo melamar pada sebuah perusahaan pelayaran. Lamarannya diterima. Petualangannya pun dimulai.
Poorwo merupakan dokter lulusan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) alias Sekolah Pendidikan Dokter Hindia. Koran De Locomotief 6 Desember 1927 memberitakan secara singkat kelulusannya.
Setelah menjadi dokter di beberapa kota di Jawa pasa-kelulusannya, Poorwo dipekerjakan di perusahaan timah di Bangka, Banka Tin Winning. Dirinya lalu kuliah lagi di sekolah tinggi kedokteran Geeneskundig Hogeschool (GHS) Batavia (kini Jakarta) agar bisa disamakan ilmunya dengan dokter-dokter Belanda. Ketika Jepang baru datang, dia baru dianggap lulus dari GHS yang sudah berganti menjadi Ika Dai Gakku.
Di zaman Jepang, dr. Poorwo Soedarmo ditugaskan ke Banten. Buku Orang-orang Indonesia Terkemoeka di Djawa menyebut dirinya pada 1944 sudah menjadi kepala Urusan Kesehatan Rakyat di Banten. Tugas itu amat berat lantaran di masa tersebut ketersediaan bahan pangan minim akibat politik perang militer Jepang. Rakyat Indonesia banyak yang menderita gizi buruk.
Banten sendiri termasuk daerah pengerahan romusha (pekerja paksa). Ada tiga proyek penting di sana yang melibatkan romusha: pertama, pembangunan Lapangan Udara Gorda di Serang; kedua, pembangunan jalur rel keretaapi Saketi-Malingping-Bayah di Banten Selatan; dan ketiga, pembangunan benteng pertahanan di Merak.
“Ribuan Romusha itu diperlakukan buruk sekali. Kebanyakan meninggal karena kelaparan. Kewajiban saya sebagai dokter keresidenan tak dapat dipenuhi, karena untuk ke luar kota harus mendapat izin,” kenang Poorwo Soedarmo dalam otobiografinya Gizi dan Saya.
Izin tersebut dibuat terkait kebijakan militer Jepang dalam rangka membendung mata-mata dan gerakan bawah tanah anti-Jepang. Kebijakan tersebut jelas menyulitkan dokter seperti Poorwo, yang sebagai kepala dirinya berkedudukan di Serang. Alhasil banyak orang yang tak bisa diselamatkan para dokter di keresidenan.
“Romusha umumnya kekurangan makanan, obat-obatan masih sedikit, dokter dan juru rawat cuma beberapa orang saja, dan perhatian terhadap orang sakit atau mati boleh dikatakan tak ada. Di jalan antara 5-6 km antara pulau Manuk dan Bayah, setiap hari dapat disaksikan romusha, yang menderita penyakit borok yang menarik-narik menuju pasar atau ke gedung kosong seperti bioskop buat bergelimpangan di sini menunggu ajalnya. Pun di kota-kota sepanjang jalan antara Saketi dan Jakarta, pasar dan pinggir-pinggir jalan atau halaman gedung sudah penuh dengan bangkai hidup yang menunggu maut ini,” kata Tan Malaka, yang saat itu berada di Banten Selatan sebagai pekerja dari sebuah perusahaan Jepang yang mempekerjakan romusha, dalam otobiografinya, Dari Penjara ke Penjara, Bagian Dua.
Derita romusha itu umumnya berakhir setelah kematian. Mereka yang beruntung bisa bertahan hingga setelah tentara Jepang kalah.
Poorwo Soedarmo sendiri setelah Jepang kalah menjadi pendukung Republik Indonesia. Dia masih tetap bertugas di Keresidenan Banten hingga pendudukan Serang oleh tentara Belanda pada 19 Desember 1948. Poorwo Soedarmo yang terusir memilih pergi ke Jakarta lalu jadi dokter kapal pada sebuah perusahaan pelayaran dengan trayek Jakarta-Amsterdam. Di Eropa, dia banyak membaca artikel dan jurnal tentang gizi hingga berdiskusi dengan beberapa ahli gizi hingga dia akhirnya memutuskan untuk menekuni gizi.
“Saya tercengang ketika membaca publikasi-publikasi itu dari melihat foto-fotonya. Kwashiorjor, busung lapar dan marasmus sering saya lihat di rumah sakit dan pinggir jalan pada romusha-romusha, korban kerja paksa di zaman pendudukan tentara Jepang,” kata Poorwo, yang lalu menangani persoalan gizi bangsa lewat Lembaga Makanan Rakyat yang dipimpinnya.