KABAR duka datang dari Negeri Belanda. Sabtu, 15 Februari 2025 lalu, Emilia Augustina Ratulangi wafat di usia yang telah melampaui 102 tahun. Profeser ahli jiwa dan syaraf berdarah campuran Eropa-Minahasa yang sudah lebih dari tujuh dekade di Negeri Belanda ini pernah tinggal di Amerika Serikat dan sebelumnya, ketika Perang Dunia II berkecamuk, tinggal di Indonesia.
Usianya masih 23 tahun pada Mei 1945 ketika dia sebagai mahasiswa sekolah tinggi kedokteran (Ika Daigakku) mendengar diadakannya kongres mahasiswa oleh Sendenbu (jawatan propaganda Jepang) yang dipimpin oleh Shimizu. Meski tak diundang oleh pejabat Jepang terkait, mahasiswa Ika Daigakku tetap mengirim delegasinya. Bahkan, saat pesta tape diadakan dalam sebuah kongres di Villa Isola, Bandung yang juga dihadiri Shimizu.
“Kalau Nona Ratulangi ada di sini, saya pasti kalah,” kata Shimizu kepada Emilia sebagaimana diingat perempuan yang biasa disapa Zus Ratulangi itu dalam buku Aku Ingat.
Nona Ratulangi yang dimaksud Shimizu adalah Emilia, yang karib disapa Zus Ratulangi. Zus Ratulangi merupakan putri Sam Ratulangi –pria asal Minahasa yang sejak muda aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sebagai wakil Sulawesi dan menjadi gubernur Sulawesi pertama setelah Indonesia merdeka– dari istrinya yang berdarah Eropa, Emilie Suzanne Houtman (1890-1951).
Seperti ayahnya, Zus Ratulangi aktif dalam gerakan politik sejak masih belia. Kiprahnya dimulai saat dirinya menjadi mahasiswa Ika Daigakku. Namun dia tak ingin “mengekor” pada ayahnya dan lebih memilih jalannya sendiri. Bersama kawan-kawannya di sekolah calon dokter itu, seperti Jo Abdurachman (keponakan Ahmad Subardjo), Janisa Anwar, Soetidja, dan Zuleika Jasin, Zus Ratulangi aktif terlibat dalam usaha perawatan kesehatan bagi romusha (pekerja paksa Jepang) di Bayah, Banten Selatan. Mereka jelas mengalami kesulitan luar biasa lantaran yang mereka punya hanya ilmu merawat, tapi tidak dengan obat dan peralatan-peralatan untuk perawatan yang saat itu langka.
Lantaran ingin ikut memerdekakan negerinya sekaligus tak mempercayai Jepang sebagai kolonialis, Zus Ratulangi sukses menghindarkan Gerakan Pemuda Minahasa (Maesa) dari mendukung Perang Asia Timur Raya yang dilancarkan militer Jepang. Alhasil apa yang diharapkan Jepang, yakni dukungan para mahasiswa kepada Jepang dalam Perang Asia Timur Raya, pun tak bergaung.
Di Ika Daigakku, upaya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia pada Zus Ratulangi dan kawan-kawannya makin besar. Setelah kongres di Villa Isola, mahasiswa Ika Daigakku kian satu suara. Yang ada hanyalah tuntutan kemerdekaan Indonesia.
Begitu Jepang di ujung tanduk hingga akhirnya menyerah, para politisi yang duduk di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) maraton menyusun segela “tetek bengek” yang akan digunakan untuk menjalankan negara kelak ketika Indonesia sudah diproklamasikan. Dalam periode inilah orang-orang Kristen dari Indonesia bagian timur cemas oleh bunyi sila pertama Pancasila: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Kecemasan itu mendorong Oscar Engelen selaku ketua mahasiswa Kristen mendatangi Zus Ratulangi. Oscar minta kepada Zus Ratulangi untuk dipertemukan dengan ayah Zus, Sam Ratulangi.
“Ayahku tinggal di Hotel Des Indes, sama seperti utusan lain dari daerah Aceh. Ayahku mendengarkan segala yang kami ceritakan padanya tentang masalah ini,” Zus menjawab keinginan Oscar.
Beberapa hari kemudian, kabar gembira menghampiri para penganut Kristiani, khususnya dari Indonesia Timur. Kecemasan mereka soal bunyi sila pertama Pancasila sirna seiring perubahan bunyi sila tersebut yang menjadi: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketika kesempatan untuk memproklamasikan kemerdekaan kian terbuka, gerakan kemerdekaan Indonesia justru terbagi antara golongan tua yang dipimpin Sukarno-Hatta dan golongan muda yang dimotori Sukarni-Chairul Saleh-Wikana dkk. Golongan muda menginginkan agar Bung Karno selekasnya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, sementara yang diminta memproklamasikan justru menolak. Dalam konteks itulah Zus Ratulangi ikut ambil bagian sebagai perwakilan pemuda , dengan ikut menentukan komposisi perwakilan Sulawesi dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan –penerus BPUPK– di Jakarta.
“Ternyata di Jakarta, wakil Sulawesi yang dipilih hanya dua orang, yaitu Dr. Ratulangi dan Andi Pangerang Petta Rani. Sesampainya di Jakarta, ketiga utusan ‘diculik’ oleh mahasiswa yang dipimpin oleh Zus Ratulangi, puteri Dr. Ratulangi sendiri, dibawa ke markas mahasiswa di Jl. Prapatan 10. Mereka diminta agar ikut mendesak Bung Karno segera memproklamasikan kemerdekaan,” tulis Maulwi Saelan dalam Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa.
Setelah Indonesia merdeka, Zus Ratulangi terlibat dalam mengembangkan Palang Merah Indonesia (PMI). Organisasi ini sudah diikuti Zus Ratulangi sejak masih dirintis semasa Perang Kemerdekaan.
“Sementara itu saya melibatkan diri dalam pembentukan Palang Merah indonesia. Saya mengumpulkan mahasiswa-mahasiswa yang telah saya latih dalam PPPK dan membentuk suatu Pasukan Gerak Cepat Penolong Korban Pertempuran. Setelah PMI bermarkas di Hotel Du Pavillion di Jalan Majapahit maka kami menempati deretan kamar sebelah kiri depan gedung utama dan dari situ kami bergerak siang dan malam. Banyak mahasiswa tidur di markas PMI antara lain Yusuf, Husin Odon, Djaka Sutadiwiria, Rohtiatmo, Hendroyuwono, Sularto, dan mahasiswa wanita Mini Suselo, Zus Ratulangi, Karlini Mulia kemudian ditambah dengan Kartini, Fice Senduk, Dalima, ketiga-tiganya bukan murid saya, tetapi sukarelawati yang bersemangat tinggi,” kenang Profesor Dr. Satrio dalam Perjuangan dan Pengabdian: Mosaik Kenangan Prof. Dr. Satrio, 1916-1986.
Di bidang politik, Zus Ratulangi aktif dalam Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Dia kemudian menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP; kini Dewan Perwakilan Rakyat). Zus Ratulangi termasuk yang termuda dalam parlemen itu. Setelah 1949, Zus Ratulangi kuliah lagi ke Amerika Serikat sebelum akhirnya pindah ke Belanda hingga akhir hayatnya. Selamat jalan, puspa bangsa!