SEBUAH rumah di Jalan Papandayan, Bandung kedatangan tamu tak diundang pada suatu hari di tahun 1942. Perempuan pemilik rumah membukakan pintu dan mempersilahkan tamunya masuk.
“Apa-apaan ini?” tanya perempuan itu kepada tamu tak diundang itu.
“Sudahlah, Mam, sudahlah,” kata pemuda yang pulang di waktu yang tak tepat itu.
Si perempuan itu lalu memanggil suaminya di kamar. Perempuan itu menghampiri pemuda itu lagi dan memberi peringatan kepada anak laki-laki satu-satunya itu.
“Kamu bisa ditembak mati kalau tertangkap lagi. Ayo kembali saja ke sana,” perintah ibu itu kepada anaknya supaya kembali ke kamp tawanan militer Jepang.
Namun pemuda itu malah mengambili pakaiannya dan memasukannya ke sebuah koper kecil. Lalu muncul suami perempuan tadi.
“Jangan! Jangan kembali! Maksudmu sekarang bagaimana?” tanya laki-laki yang sudah berumur 50-an itu.
“Mandi dulu, lantas ke famili Suryo di Jalan Lengkong dan besok ke Batavia dengan kereta api,” pungkas pemuda itu.
“Bagus. Cepat saja,” kata laki-laki tua tadi.
Perempuan yang dipanggil “Mam” tadi jadi tak karuan pikirannya. Dia rawan kehilangan apapun, termasuk anaknya.
Setelah pemuda itu terlihat siap, laki-laki tua tadi buka suara kepada pemuda yang dalam bahaya itu.
“Mau sekarang saja?” tanya laki-laki tua sambil menyalami lalu memeluk pemuda itu.
Sang ayah lalu memberi pemuda sejumlah uang. Tidak banyak, namun sangat berguna buat perjalanan yang akan penuh bahaya itu. “Selamat, selamat! Kalau ada jalan, beri tahu kami, di mana kamu berada,” ujar ayah melepas anaknya.
Pemuda bernama Alex Evert Kawilarang itu pun menghilang dari pandangan ayah dan ibunya.
Kakak Kelas Oerip Ditangkap
Setahun kemudian, Alexander, ayah pemuda tadi, ditahan tentara Jepang juga dan tak pernah kembali ke rumah. Lalu terbit kartu tawanan perang Jepang atas nama dirinya, Alexander Herman Hermanus. Dia disebutkan ditangkap di Jawa dan profesinya tentara berpangkat mayor yang bertugas di Bagian Urusan Sipil Departemen Peperangan. Disebutkan alamatnya Jan Fabritius Weg No. 1, yang belakangan menjadi Jalan Papandayan. Orang terdekatnya yang bisa dihubungi adalah Nelly Betsy Mogot, istrinya yang tinggal di alamat tersebut.
Berdasar studbook Nomor 187 atas nama dirinya, Alexander yang merupakan putra Jan Alexander Kawilarang dengan Amelia Lumanow ini lahir di Tondano, 4 Juni 1889. Dia masuk militer sejak 1908 lalu dilantik pada Oktober 1911 menjadi Letnan Dua Infanteri di tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL).
Alexander menjadi aspiran perwira dan dilantik bersama seorang Minahasa lain, yakni Benjamin Thomas Walangitang. Keduanya adalah produk kursus calon perwira pribumi di Sekolah Militer Jatinegara. Ketika keduanya lulus, sekolah militer itu baru saja menerima beberapa pemuda Jawa seperti Soegondo dan Oerip Soemohardjo.
Alexander terus berkarier sebagai perwira KNIL. Pernah di Jatinegara, Tarutung, Majene, Makassar, dan Manado. Setelah 22 tahun berdinas di KNIL, pada November 1933 Alexander naik pangkat menjadi mayor, seperti Walangitang. Kala itu belum banyak orang pribumi yang mencapai pangkat tersebut di dalam pasukan infanteri.
Menurut Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit, pada 1931 sudah ada seorang dokter naik pangkat sebagai Perwira Kesehatan Kelas Satu (setara letnan kolonel), yakni Jan Albertus Johannes Kawilarang (1880-1950). Ia tak lain kakak Alexander. Orangtua Jan Albertus dan Alexander adalah seorang kepala pemerintahan sipil Hukum Besar di Tondano.
Alexander sejak 14 Agustus 1914 adalah suami dari Nelly Betsy Mogot. Pasangan itu dikaruniai empat anak: Norma (16 Agustus 1915), Alexandrina (14 Januari 1917), Amelia (21 Juli 1918), dan Alex Evert (23 Februari 1920). Si bungsu lalu mengikuti jejak Alexander sebagai perwira KNIL.
Ketika Alex menjadi taruna di Akademi Militer Bandung sejak 1940, Alexander yang sudah pensiun sejak 1935 pun diaktifkan kembali sebagai perwira KNIL karena Perang Dunia II berkecamuk di Eropa. Jadi pada awal 1942 ayah dan anak itu sama-sama perwira KNIL. Namun Alex kemudian tertawan di sekitar Bandung ketika Jepang memasuki Jawa.
Ikut Junyo Maru ke Samudera Hindia
Gunseikan yang berkuasa di Jawa merilis buku berjudul Orang Indonesia Terkemoeka di Djawa pada 1944. Di dalamnya terdapat nama Benjamin Thomas Walangitang, yang juga bekas mayor KNIL. Ia kelahiran Kakaskasen, 11 November 1890. Selain aktif di gereja protestan Minahasa, dia disebutkan aktif di Perserikatan Bekas Pendekar. Namun ketika buku itu terbit pada 1944, Walangitang sudah jadi tawanan perang Jepang sejak pertengahan 1943 juga, sama seperti Alexander.
Anak sulung Mayor Walangitang, yakni Willem Lucas Walangitang, tak masuk akademi militer. Pria kelahiran Palembang, 6 September 1920 itu disebut studbook atas nama dirinya adalah montir pesawat di Jawatan Penerbangan KNIL di Andir, Bandung. Willem pada September 1941 dimiliterkan sebagai kopral montir udara. Dia pernah ditempatkan di Kalijati dan Yogyakarta. Pada 25 Februari 1942, Willem naik pangkat jadi sersan, namun dua minggu kemudian, yakni 8 Maret 1942, dia jadi tawanan perang Jepang di Cilacap. Ketika Mayor Walangitang dan Mayor Alexander Kawilarang jadi tawanan perang pada pertengahan 1943, Willem sedang berada di Flores, juga sebagai tawanan perang.
Alex sendiri sedang dalam pelariannya sebagai orang sipil yang ketakutan jika bertemu aparat Jepang. Alex sempat menghilang ke Bogor lalu Lampung dan Palembang. Dia sempat bekerja di Plaju sebelum kabur ke Lampug. Ketika di Lampung, Alex pernah disiksa oleh aparat Kempeitai di sebuah kantor polisi.
Tawanan perang seperti Alexander kemudian disamakan juga seperti para pekerja paksa yang disebut romusha. Kebanyakan mereka “diberdayakan” militer Jepang, seperti dibawa ke Sumatra untuk membangun jalur keretaapi di Sumatra Tengah. Alexander dan Benjamin termasuk yang hendak dikirim ke sana. Mereka dikumpulkan di Pelabuhan Tanjung Priok.
Benjamin dan Alexander lalu dinaikkan ke kapal laut Junyo Maru pada 14 September 1944, bersama tawanan yang bekas serdadu asal Ambon dan Minahasa serta para romusha lain yang malang. Rencananya kapal itu bertolak ke Padang dengan melintasi Selat Sunda lalu menyusuri pantai barat Sumatra.
Ketika berada di sekitar Muko-muko, Bengkulu, pada 18 September 1944, sebuah kapal selam Sekutu melihat Junyo Maru. Sebuah torpedo langsung ditembakkan ke Junyo Maru hingga kapal itu pun karam. Banyak yang tewas tenggelam, termasuk Benjamin dan Alexander. Mereka yang diselamatkan Jepang kemudian tetap dijadikan pekerja paksa untuk proyek militer Jepang.
Nelly dan Alex tak segera tahu kabar Alexander. Setelah perang berakhir barulah Alex tahu soal kematian ayahnya. Alex sendiri mulai menapaki kehidupan barunya di dalam sejarah sedang bergulir di Jawa. Sebagai perwira tentara Indonesia, dia terlibat dalam revolusi kemerdekaan negerinya di samping organisasi kemiliteran baru tempatnya bernaung. Perwira muda yang menjadi makin akrab dengan Oerip Sumohardjo –kepala staf tentara Republik Indonesia, adik kelas ayahnya– itu kelak mendirikan pasukan elite yang kini bernama Kopassus.