PADA pengujung 1929, Kapten KNIL Johan Charles de Quant melakukan inspeksi menyusuri Sungai Barito dengan perahu motor selama dua pekan. Daerah demi daerah di tepi sungai yang menjadi wilayah tugasnya dia susuri bersama beberapa anak buahnya.
Namun di sekitar Desa Muara Untu (kini berada di Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah), dia mendengar ada permasalahan dari Haji Doerasit. Maka, Kapten Quant pun menemuinya pada 24 Desember 1929.
Haji Doerasit bukan orang sembarangan. Ia amat dihormati di Muara Untu. Koran Soerabaijasch Handelsblad tanggal 8 Januari 1930 menyebut Haji Doerasit merupakan bekas panglima dari salah satu pasukan tempur Gusti Muhamad Seman, keturunan Pangeran Antasari yang melanjutkan perlawanannya kepada tentara Belanda. Pada 1906, Haji Doerasit ikut melawan tentara Belanda di bawah komando Letnan Christoffel, veteran Perang Aceh yang terkenal kejam.
Muara Untu tempat asal Haji Doerasit sendiri merupakan penghasil buah tengkawang, buah yang berasal dari pohon sejenis meranti. Buah yang bisa dipanen beberapa tahun sekali ini bisa dijadikan minyak atau bahan kosmetik. Ketika pohonnya tua dan tak berbuah lagi, kayunya laku dijual.
Nilai ekonomis itulah yang membuat adat di sana selama ratusan tahun memiliki aturan tentang pohon tengkawang. Adat menyebut barang siapa menemukan batang pohon milik orang yang hilang mengapung, penemu akan mendapat hadiah separuh nilainya dari pemilik batang pohonnya. Jika pemiliknya tak diketahui, maka separuh nilainya diperuntukkan bagi negeri (atau pemerintah lokal setempat), begitulah adat.
Permasalahan soal kayu itulah yang dialami Haji Doerasit dan kemudian diketahui Kapten Quant. Suatu kali, dua batang kayu milik Haji Doerasit hanyut dan dia tidak menerima hasil penjualannya sama sekali. Maka Haji Doerasit marah besar kepada penguasa adat setempat.
Dalam keadaan marah itulah Haji Doerasit ditemui Kapten Quant pada 24 Desember 1929 di rakitnya. Menurut pihak Belanda, Haji Doerasit tak membawa senjata saat itu. Kepada kapten Quant, Haji Doerasit yang sudah sepuh tapi masih bernyali besar itu minta penjelasan soal dua batang kayu miliknya yang, bernilai 50 gulden, disita pemerintah.
Kapten Quant tentu memberi penjelasan sepengetahuannya. Namun penjelasan perwira KNIL itu tak memuaskan Haji Doerasid. Maka cekcok pun terjadi.
Tak dinyana, Haji Doerasit ternyata menyimpan senjata. Haji Doerasit yang naik darah itu kemudian menikam Kapten Quant dengan badik hingga tak berdaya.
“Tembak!” kata Kapten Quant yang roboh itu.
Orang hukuman (strapan) yang ikut sang kapten lalu menembak Haji Doerasit. Alhasil kedua orang yang terlibat cekcok soal batang kayu itu pun tewas pada hari itu juga.
Berita kematian Kapten Quant lalu dilaporkan ke Banjarmasin, tempat batalyon garnisun KNIL bermarkas. Bataviaasche Niuewsblad tanggal 27 Desember 1929 memberitakan bahwa setelah kejadian, Letnan Dom dan dua brigade tentara KNIL mendatangi tempat kejadian perkara itu. Desa Muara Untu yang lebih dari 20 tahun sudah tenang usai perlawanan Gusti Pangeran Seman –yang salah satu panglimanya adalah Haji Doerasit muda– dikalahkan, kembali memanas.