Masuk Daftar
My Getplus

Antiklimaks Belanda Usai Serbuan di Ibukota Republik

Serangan ke Yogyakarta berujung “backfire” di mata dunia internasional. Media massa menyamakannya dengan pendudukan pasukan Hitler di Belanda. 

Oleh: Randy Wirayudha | 20 Des 2024
Serdadu Belanda yang menguasai Yogyakarta dalam beberapa jam "Operatie Kraai" (NIMH/defensie.nl)

DI sebelah sebuah sepatu lars khas serdadu Nazi Jerman dengan angka tahun 1940 yang menginjak lantai bertuliskan “Holland”, sebuah klompen (sepatu khas Belanda) dengan angka tahun 1948 menginjak sesuatu bertuliskan “Indonesie”. Begitulah ilustrasi di Majalah Kroniek van de Week edisi Desember 1948 menggambarkan pendudukan Belanda atas Yogyakarta sebagai ibukota Republik Indonesia. Ilustrasi yang menyamakan keburukannya dengan pendudukan Nazi Jerman atas Belanda (1940-1944) dalam Perang Dunia II (1939-1945). 

Ilustrasi itu jadi satu dari sekian kritik tajam media massa mancanegara atas pendudukan Yogyakarta via Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948. Kritik mencolok lain dimuat suratkabar De Waarheid edisi 20 Desember 1948 yang menuliskan: “Sekali lagi kekerasan militer terjadi di Indonesia. Mereka menggunakan cara-cara (pemimpin Jerman Nazi, Adolf) Hitler dalam melakukan aksinya. Orang-orang tercengang, pada malam Minggu, pada malam Natal, pada saat semua sedang mengumandangkan doa tentang kedamaian di muka bumi. Ini adalah malam Natal berdarah dari ibukota kolonial!” 

Lalu, ada harian Het Vrije Volk edisi 23 Desember 1948 yang mengutip komentar Letkol (Purn.) William Roy Hodgson. Wakil delegasi Australia di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) itu bahkan ketus mengatakan, aksi Belanda lebih buruk dari Hitler. 

Advertising
Advertising

“Aksi tragis ini menimbulkan akibat yang tak terhitung, tidak hanya bagi Indonesia tapi bagi seluruh Asia dan bagi Belanda sendiri. Ia (Hodgson) menilai tuntutan Belanda terakhir yang disebut sebagai ultimatum dengan batas waktu hanya 18 jam, ‘lebih buruk dibandingkan apa yang dilakukan Hitler terhadap Belanda pada tahun 1940’,” tulis harian itu. 

Baca juga: Setelah Inggris Menjadikan Bekasi Lautan Api

Ilustrasi kritik tajam Agresi Militer II di majalah Kroniek van de Week (Collectie Gerard de Boer)

Hodgson merujuk pada ultimatum Belanda pada 18 Desember 1948 pukul 10 pagi. Menjadi kacau ketika Belanda menentukan tenggat waktunya lewat surat susulan kepada anggota delegasi RI dalam Komisi Tiga Negara (KTN) PBB Jusuf Ronodipuro pada pukul 9 malam. 

“Jusuf Ronodipuro pukul 21.00 tanggal 18 Desember menerima telepon dari Istana Rijswijk (kini Istana Merdeka Jakarta). Ia diminta datang mengambil sebuah surat yang dialamatkan kepada delegasi Indonesia. Segera surat itu dibawa ke rumah Mr. Soedjono, Sekjen Delegasi RI. Mereka sangat terkejut membaca isinya. Sebab di situ Belanda menyatakan ‘mulai pukul 00.00 tanggal 19 Desember 1948 tidak lagi terikat kepada ketentuan-ketentuan gencatan senjata’,” ungkap Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petit Histoire Indonesia: Jilid 3.  

Kepanikan segera melanda segenap delegasi RI. Pasalnya, Jusuf tak bisa langsung meneruskan kabar itu kepada Perdana Menteri (PM) merangkap Wakil Presiden Mohammad Hatta di Yogyakarta karena semua jalur komunikasi Jakarta-Yogyakarta diputus Belanda. Pun ketika ia bersama Merle Cochran, utusan Amerika Serikat di KTN, ingin terbang ke Yogyakarta, militer Belanda tak memberi izin terbang. 

“Republik telah diserang tanpa pemberitahuan,” ungkap Jusuf dikutip Rosihan. 

Baca juga: Menjelang Blitzkrieg di Ibukota Republik

Penerjunan (kiri) dan penguasaan Lanud Maguwo oleh KST (NIMH/defensie.nl)

Agresi Berujung Bumerang 

Belanda melancarkan agresi kilat ala Blitzkrieg Jerman di Eropa pada Perang Dunia II. Yogyakarta diserbu dari udara via pesawat-pesawat yang berangkat dari Pangkalan Udara (Lanud) Andir, Bandung dan pasukan darat dari Semarang. Dalam tempo enam jam, Yogyakarta pun jatuh ke tangan Belanda. 

Presiden Sukarno sendiri sempat memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara. Mandat itu berisi pemberian kuasa untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera. 

Seperti yang disebutkan Jusuf, Belanda seakan tak “menyatakan perang”. Mirip dengan pembokongan Pangkalan Angkatan Laut Amerika di Pearl Harbor oleh Jepang (7 Desember 1941) yang dianggap Amerika serangan tanpa pernyataan perang. 

Baca juga: Operasi Pelikaan Ditolak, Gagak Bertindak di Ibukota Republik

Meski begitu, delegasi RI di KTN masih bisa menotifikasi perwakilan RI di India. Sangat memungkinkan dunia internasional mengetahui serbuan Belanda ke Yogyakarta itu via siaran radio dari India. 

“Waktu lewat tengah malam (dini hari 19 Desember, red.) Prof. Supomo dan Jusuf pergi ke rumah Mr. Soedjono. Mereka menyusun isi telegram dan laporan mengenai kejadian-kejadian untuk dikirimkan kepada Dr. Sudarsono dan Mr. Alex Maramis di New Delhi, India. Telegram dan laporan dikirimkan pagi hari melalui Konsul Jenderal India di Jakarta,” sambung Rosihan. 

Para pemimpin Republik yang ditawan Belanda (NIMH/defensie.nl)

Hal serupa juga dilakukan PM Hatta sebelum tertawan. Ia memberi pernyataannya kepada Sudarsono, Maramis, dan LN. Palar di India agar selanjutnya berhubungan dengan PDRI di Sumatera di bawah Sjafruddin. Juga dimintanya menyiapkan pemerintahan pengasingan sebagai antisipasi akhir. 

“Jika ikhtiar Sjafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera tidak berhasil, kepada saudara-saudara dikuasakan untuk membentuk exile-government Republik Indonesia di India. Harap dalam hal ini berhubungan dengan Sjafrudin di Sumatera. Jika hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya,” ujar Bung Hatta, dikutip Album Perjuangan Kemerdekaan, 1945-1950: Dari Negara Kesatuan ke Negara Kesatuan. 

Dari kabar yang tersiar itulah agresi Belanda ke Yogyakarta menjadi backfire atau bumerang. Dunia internasional bereaksi dan mengecam Belanda. DK PBB sampai menggelar sidang darurat di New York pada 20 Desember 1948 dan di Paris pada 22 Desember 1948. 

Baca juga: Respons Sekutu Usai Proklamasi

Atas usul sidang DK PBB pertama di New York, Cochran mengirimkan laporannya, “Report of the Committee of Good Offices on the Indonesian Question in Reply to the Council’s Request of 20 December 1948”. Laporannya berisi bahwa Belanda tak menyatakan pemberitahuan terkait pembatalan gencatan senjata (Perjanjian Renville, Januari 1948), surat wakil ketua delegasi Belanda di KTN tidak dapat diteruskan ke pemerintahan di Yogyakarta karena diputusnya hubungan komunikasi Jakarta-Yogyakarta, penangkapan sekjen dan anggota delegasi RI di KTN, dan penyitaan dokumen-dokumen KTN di kantor delegasi RI.

“KTN menyerukan kepada Dewan Keamanan, dengan dasar yang mendesak, untuk memandang meletusnya permusuhan di Indonesia sebagai perkosaan terhadap persetujuan gencatan senjata Renville yang ditandatangani pemerintah Belanda dan RI pada tanggal 17 Januari 1948,” tukas Cochran mengakhiri laporannya. 

Dari dua sidang DK PBB itu akhirnya ditelurkan dua resolusi penghentian baku tembak. PBB juga “memaksa” Belanda untuk kembali ke meja perundingan. 

“Pemerintah Belanda tampaknya tak menduga reaksi keras dari dunia internasional dan dari dalam negeri. Akhirnya diputuskan PM Drees harus segera ke Jakarta untuk memantau situasi serta berunding dengan berbagai pihak di Indonesia,” tandas Wawan. 

Baca juga: Protes Sukarno soal Kemelut Surabaya Diabaikan Presiden Amerika

TAG

belanda operasi gagak agresi militer belanda ii agresi militer belanda agresi militer agresi belanda yogyakarta

ARTIKEL TERKAIT

Operasi Pelikaan Ditolak, Gagak Bertindak di Ibukota Republik Menjelang Blitzkrieg di Ibukota Republik Arsip Merekam Anak Yatim Zaman Kolonial Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian II – Habis) Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian I) Bohl Tuan Tanah Senayan dan Matraman Riwayat NEC Nijmegen yang Menembus Imej Semenjana Desa Bayu Lebih Seram dari Desa Penari Menyingkap yang Tabu Tempo Dulu Komandan Belanda Tewas di Korea