WAKTU heboh kisah KKN Desa Penari beberapa tahun silam, Desa Bayu Songgon disebut-sebut sebagai lokasi KKN. Namun, warga membantahnya meski pernah ada belasan mahasiswa dari Surabaya survey ke sana.
Dua di antara mahasiswa itu terpisah dan dianggap melakukan hal tidak senonoh. Konon keduanya seteah kembali ke Surabaya sakit keras dan meninggal dunia. Selain itu, di sana ada empat kampung yang ditinggalkan penduduknya, yang disebut kampung hilang.
Desa Bayu, berada 40 km luar kota Banyuwangi, adalah daerah Perkebunan Bayu Lor di lereng Gunung Raung. Perkebunan ini sudah ada dari zaman Hindia Belanda. Di masa itu, kawasan ini adalah bagian dari Keresidenan Besuki.
Setelah Tanam Paksa dihapuskan, zaman liberal Hindia Belanda memunculkan banyak onderneming atau perkebunan. Onderneming Bajoe Lor salah satunya. Dengan serat abaka, kopi, cengkeh, dan karet sebagai bisnisnya, Bajoe Lor terus bertumbuh.
Salah tembak pernah terjadi di sana. Namun pelakunya bukan tentara atau polisi, tapi pegawai Bajoe Lor. Menurut De Indisch Courant tanggal 22 November 1926, karyawan Bajoe Lor bernama AO van Hemert melepaskan tembakan dalam kegelapan karena ketakutan. Dia mengira yang ditembaknya adalah rusa, tapi ternyata adalah manusia. Korban tembakannya yang seorang penduduk bumiputra itu tewas. Hemert pun kebingungan sehingga tak segera melaporkan kejadiannya. Pengadilan kolonial lalu menganggapnya sebuah kecelakaan dan bukan kelalaian.
Pada 1936, Perkebunan Bajoe Lor mengalami pergantian pemilik. Seperti diberitakan De Indisch Courant tanggal 10 Agustus 1936, perusahaan kopi Bajoe-Lor telah diakuisisi oleh Nederlandsch Indisch Rubber en Koffie-Cultuur Maatschappij. Pihak pengakuisisi kala itu diwakili Antonius van Wel.
Sebelum jual-beli perusahaan itu, Antonius van Wel bekerja sebagai administrator juga di Perkebunan Selokaton, Kendal, Jawa Tengah. Pria kelahiran Apeldoorn, 25 November 1895 itu lalu menikah dengan putri dari keluarga Vries Reilingh yang cukup terpandang di sana. Setelah akuisisi itu, Antonius van Wel lalu dijadikan administrateur yang memimpin pengelolaan perkebunan kopi tersebut.
Nederlandsch Indisch Rubber en Koffie-Cultuur Maatschappij sendiri punya kantor di Surabaya namun pusatnya di Amsterdam. Anak perusahaan perkebunan kopinya itu, diberitakan De Locomotief tanggal 11 Agustus 1936, dinamai NV Cultuur Maatschappij Bajoe Lor. Serah-terimanya diadakan pada 1 Oktober 1936 sementara jual belinya terjadi di Surabaya pada 31 Juli 1936.
Namun Bajoe Lor tidak lama dikelola Antonius van Wel. Bukan karena ketidakcakapannya, melainkan karena perang meletus di Eropa lalu juga di Asia. Eropa adalah pasar penting produk mereka. Perang mengacaukan ekonomi di perkebunan. Antonius van Wel dan istrinya pun tak bisa tinggal lama di Bajoe Lor. Dia dan keluarganya lalu naik keretaapi ke Malang lalu tinggal di Widodarenstraat Nomor 16 (Kini Jalan Widodaren) Malang.
Kendati tak muda lagi, perang membuat Antonius harus jadi serdadu. Namun karena Hindia Belanda kalah oleh Jepang, dia pun ditawan. Kartu tawanan perangnya menyebut dia sebagai soldaat (serdadu) dengan nomor stamboek 58495 di Landstorm III Malang.
Setelah Perang Dunia II dan perang Indonesia-Belanda selesai, Antonius van Wel memboyong keluarganya kembali ke Bajoe Lor. Namun kala itu daerah Jember dan Banyuwangi sudah tidak aman lantaran menjadi daerah operasi gerombolan yang acap mengacau keamanan. Perkebunan Bajoe Lor pun sasaran empuk gerombolan.
Kendati orang Belanda masih diperbolehkan meneruskan usaha perkebunan mereka, Antonius van Wel dan istrinya datang di Bajoe Lor di waktu yang salah. Koran Trouw tanggal 19 Januari 1951 memberitakan, Antonius dan istrinya dibunuh di Bajoe Lor oleh gerombolan tak dikenal.*