BERITA mengejutkan datang dari pisang cavendish (Musa acuminata Cavendish Subgroup) alias pisang ambon. Belum lama ini, jenis pisang yang paling banyak dikonsumsi manusia itu diramalkan bakal punah. Pasalnya, pisang ambon diserang infeksi jamur mematikan.
“Penemuan baru-baru ini mengungkapkan bahwa hampir separuh pisang di dunia terancam punah karena penyakit jamur. Pisang ini tengah diserang infeksi jamur ganas yang disebut penyakit panama ras tropis 4. Penyakit panama ini juga dikenal sebagai layu fusarium. Jamur ras tropis 4 atau TR4 ditemukan pertama kali di Taiwan pada 1989. Sejak tahun 2015, jamur ini menyebar ke Australia, India, Tiongkok, Timur Tengah, dan Afrika. Pada 2023, penyakit panama ini telah menyebar hingga Amerika Selatan,” demikian detik.com, 19 Juni 2024, memberitakan.
Di masa Hindia Belanda, Pulau Jawa merupakan salah satu penghasil pisang yang juga disebut dengan pisang meja itu. Sebutannya juga sudah pisang ambon. Pada 1913, pisang ambon sudah jadi komoditas ekspor Hindia Belanda. Koran Algemeen Handelsblad tanggal 2 Februari 1914 memberitakan bahwa April 1913 adalah ekspor perdana pisang ambon dan pisang raja ke Australia.
Jawa Timur menjadi daerah utama penghasil pisang tersebut. Ekspor perdana ke Australia itu sendiri dihasilkan dari perkebunan di Tulungagung, Keresidenan Kediri. Dari Tulungagung, pisang-pisang itu dikirim naik keretaapi selama dua hari ke Banyuwangi. Dari Pelabuhan Banyuwangi, pisang-pisang itu naik kapal ke Australia Barat, turun di Fremantle lalu naik keretaapi ke Perth.
Australia sendiri kala itu merupakan produsen pisang, yang dihasilkan di Queensland. Kebanyakan petaninya merupakan orang Tionghoa.
“Ketika industri gula merosot, petani Tionghoa mulai menanam tanaman komersial lain, terutama pisang. Ekspor pisang dari Cairns menjadi andalan komersial kota tersebut bagi warga Tionghoa dan Eropa. Pada 1886, konon Cairns akan bangkrut tanpa ekspor pisang. Pengaturan yang menjadi ciri khas penanaman pisang sangat disukai oleh petani Eropa. Dengan menyewakan tanah mereka kepada petani pisang Tionghoa, mereka memenuhi persyaratan Undang-Undang Pengasingan Tanah Kerajaan tahun 1860, dan memperoleh pendapatan yang wajar dari sewa,” tulis C. May dalam "Chinese in Queensland", termuat di The Australian People: An Encyclopedia of the Nation, Its People and Their Origins.
Namun, oleh orang Australia kualitas pisang Queensland dianggap masih kalah dari pisang asal Jawa. Selain itu, harga pisang dari Queensland juga kalah murah dari pisang asal Jawa.
Di Jawa Timur, Tulungagung bukan satu-satunya dareah penghasil pisang. Banyuwangi sendiri, tempat pisang asal Tulungagung diekspor ke Australia, juga penghasil pisang. Namun, produksi pisang ambon di Banyuwangi awalnya belum seperti Tulungagung. Koran De Telegraaf tanggal 15 Maret 1933 mencatat bahwa pada awal 1911 pemerintah kolonial sudah membagikan 1000 pucuk bibit pisang ambon kepada petani dari desa-desa Banyuwangi yang tanahnya cocok untuk pembudidayaan.
Dalam dua dekade, penanaman pisang di Banyuwangi terbilang sukses. Kedekatan dengan pelabuhan tentu membuat pisang-pisang dari Banyuwangi menyalip pisang-pisan dari Tulungagung. Antara tahun 1913 hingga 1925, berdasar data Departemen Pertanian Hindia Belanda, tren ekspor naik meski ada penurunan pada 1915 dan 1917. Pada 1928, pengiriman pisang ke Australia melampaui pengiriman ke daerah lain di Hindia Belanda yang melalui pelabuhan Surabaya. Di zaman ini, pisang raja dari Jambi juga diekspor ke Malaya melalui Pelabuhan Belawan.
Pemain pisang asal Australia adalah A. Hunter dari firma Mac. Corkill Ltd. De Indisch Courant tanggal 4 Februari 1922 menyebut Mac. Corkill Ltd. punya kantor di Surabaya.
Sebagai wakil Corkill, sebut De Indisch Courant tanggal 16 Juli 1926, Hunter berusaha memperluas pasar pisang di Australia. Ketika harga pisang 50 sen per tandan, dirinya menaikkan harga beli menjadi 60 sen agar tidak kehilangan pemasok.
Berbagai upaya untuk mempertahankan “cuan” dari bisnis pisang juga dilakukan. Pada 1930-an, percobaan menanam pisang ambon di Belanda dilakukan. Johan van Oldenbarnevelt yang membawa bibitnya dari Hindia Belanda ke Amsterdam.
Namun, Depresi Ekonomi Dunia (malaise) sejak 1929, yang disebut orang bumiputra sebagai “Zaman Meleset”, membuat ekspor pisang ke Australia menurun setelah 1930. Meski begitu, orang Australia tetap bisa makan pisang asal Jawa.
Bukan krisis ekonomi yang membuat orang Australia tak bisa makan pisang dari Jawa, melainkan perang. Setelah tentara Jepang menyerang Indonesia dan mendudukinya, pasokan pisang dari Jawa Timur ke Australia terhenti. Lebih dari enam tahun pisang dari Banyuwangi tak sampai ke mulut orang-orang Australia. Setelah tentara Jepang kalah pada 1945, ekspor pisang dari Banyuwangi tak segera kembali pulih. Perang Kemerdekaan Indonesia membuat ekonomi dan pertanian di Jawa terbengkalai.
Baru pada akhir 1948 pisang dari Banyuwangi bisa datang lagi ke Australia. Koran De Vrije Pers tanggal 9 Desember 1948 memberitakan, untuk pertama kalinya ekspor pisang ambon dari Banyuwangi ke Australia kembali terjadi setelah perang menghentikannya beberapa tahun. Jumlahnya kala itu 25.000 kg.
Setelah tentara Belanda pergi dari Indonesia, Australia masih butuh pisang dari Jawa Timur. Koran Het Nieuwsblad tanggal 26 Oktober 1953 menyebut WA Grant, importir Australia, menjadi salahu satu pemainnya. Dia mengontak para petani Banyuwangi.