SEJAK sewa tanah digalakkan di zaman liberal Hindia Belanda, keluarga Leyssius sudah berkecimpung di dunia perkebunan. Florent Emile Leyssius (1817-1876) pernah menjadi administrator yang mengelola Perkebunan Kalangari di Karawang dan kemudian mengolah tanah di Yogyakarta. Anaknya, Leendert Cornelis van Nouhuys (1838-1910), pernah juga menjadi administrator di Onderneming Moedja-Moedjoe, Yogyakarta. Anak lainnya, George Antoine Florent Leyssius (1856-1918), pernah bekerja di pabrik gula Randoe Goenting, Yogyakarta. Anak lainnya lagi, Alexander Leyssius (1867-1913), pernah bekerja di pabrik gula Kali Redjo di Sumpiuh, Banyumas. Begitu yang tercatat dalam Nederland's Adelsboek tahun 1921.
Alexander Leyssius berhubungan dengan seorang perempuan pribumi bernama Riwen. Buku Nederland's Patriciaat Volume 55 mencatat bahwa dari hubungan itu lahirlah seorang anak laki-laki, Florent Alexander Leyssius, pada 15 Agustus 1898 di Pekalongan. Dia bergelut di bidang yang digeluti orangtuanya. Bisnis perkebunan menggeliat kuat di Hindia Belanda sejak dihapuskannya Tanam Paksa pada 1870 dan bertahan hingga pertengahan abad ke-20.
Baca juga:
Florent Alexander pada 1940 sudah berada di Sulawesi Selatan. Koran Bataviaasche Nieuwsblad tanggal 19 Januari 1940 memberitakan, Florent Alexander Leyssius bekerja untuk NV Celebes Landbouw Maatschappij. Menurut Ummy Ghoriibah dalam Pengaturan Hak Guna Usaha Atas Tanah Sebelum dan Sesudah UU Cipta Kerja, sejak 1918 perusahaan ini melalui John Stefan mulai mengajak orang Kajang beternak ayam dan kuda. Perusahaan ini juga membeli kulit kayu dari orang Kajang. Di Bolombessie, yang kini masuk Kabupaten Bulukumba dan dulu dianggap daerah Bantaeng, perusahaan itu membudidayakan karet.
“Beberapa waktu kemudian, fokus tanaman dengan kapuk dan serai diganti dengan tanaman karet dan perusahaan berganti nama menjadi NV Celebes Landbouw Maatschappij dengan ijin operasinya hak erfpacht berupa keputusan Gubernur Jenderal Nomor 43 tanggal 10 Juli 1919 dan Nomor 44 tanggal 18 Mei 1921,” tulis Ummy Ghariibah.
Florent Alexander Leyssius menjadi administrator onderneming di situ. Semua berjalan baik hingga Perang Dunia II. Ketika perang berkecamuk, bisnis di Bolombessie –dan juga perkebunan-perkebunan lain di berbagai tempat– berhenti operasi. Perkebunan-perkebunan itu baru bisa diambilalih lagi oleh orang Belanda setelah 1945. Pasca-1950 pun, di mana banyak orang Belanda hengkang ke tanah airnya, orang-orang Belanda di Indonesia masih ada yang menjalankan perkebunan-perkebunan itu.
Namun, pasca-1950 kegiatan bisnis perkebunan mendapat tantangan lebih berat. Gangguan dari gerombolan bersenjata acap menyasar perkebunan-perkebunan. Florent Alexander Leyssius pun mengalaminya.
Baca juga:
Susahnya Bisnis Karet di Zaman Gerombolan
Pada Senin 30 Desember 1952 malam, seperti diberitakan Java-Bode tanggal 2 Januari 1953, gerombolan yang diperkirakan adalah Tentara Keselamatan Rakjat (TKR) mendatangi Onderneming Bolombessie. Jumlahnya sekitar 50 orang. Mereka mengambil Leyssius sekalu pemimpin perkebunan, lalu pegawai bernama Heeren, dan empat orang lokal penjaga perkebunan.
Diputusnya kabel telepon oleh gerombolan mengakibatkan pihak korban tak bisa menelpon aparat keamanan di daerah Tanetta yang letaknya sekitar 3 km dari perkebunan. Selama perampokan itu, tak ada suara tembakan yang terdengar. Alhasil semua terlihat berjalan normal sehingga kabar penculikan itu baru diketahui pegawai lainnya pada Selasa pagi.
Diperkirakan, gerombolan itu menuntut uang dalam jumlah besar. Trouw tanggal 3 Januari 1953 menyebut Onderneming Bolombessie adalah perkebunan terbesar dari lima perkebunan milik NV Celebes Landbouw Maatschappij.
Kasus penculikan sendiri sering terjadi dalam pada akhir tahun 1952 itu di timur Bantaeng. Selain daerahnya sepi, patroli keamanan hampir tak menjangkaunya.
Baca juga:
Desa Bayu Lebih Seram dari Desa Penari
TKR yang menculik Leyssius dan lima anak buahnya itu tak ada kaitannya dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang didirikan pada 5 Oktober 1945 dengan Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo sebagai kepala staf umumnya. TKR yang melakukan penculikan ini dipimpin Usman Ballo dan Hamid Ali. Keduanya pernah dekat dengan Kahar Muzakkar yang kemudian menjadi pemimpin DI/TII Sulawesi Selatan. Para pemimpin TKR-penculik itu sendiri tinggal jauh di sisi utara Sulawesi Selatan, sementara daerah Bulukumba dan Bantaeng berada di sisi selatan Sulawesi Selatan.
Florent Alexander Leyssius dan yang terculik lalu dianggap hilang. Namun perkebunan karetnya masih ada. Hanya pengelolaan berganti. Ummy Ghoriibah menulis, dari NV Celebes Landbouw Matschappij pengelolaan kemudian berpindah ke PT PP Lonsum (singkatan dari London-Sumatra).*