USAI membentangkan sebuah peta, kedua tangan Kolonel Pnb. (Purn.) Abd Aziz Muhammad melipatnya kembali. Lalu sambil merebahkan punggung ke kursi, ia mengenang penugasannya di Sulawesi saat menjemput jenazah Kahar Muzakkar, pemimpin kelompok pemberontakan Komando Gerilyawan Sulawesi Selatan (KGSS) yang berafiliasi dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII Sulawesi Selatan).
“Di sanalah (Sulawesi) saya mulai dapat banyak jam terbang operasional. Karena saat itu kan (pemberontakan) Kahar Muzakkar lagi ramai. Jadi saya kebagian (tugas) ke Sulawesi sampai Kahar Muzakkar ditembak,” ujar Aziz kepada Historia.
Aziz merupakan pilot helikopter Mil Mi-4 jebolan Operasi Cakra III (1961-1963) yang dikirim bersekolah ke Cekoslovakia untuk belajar pengoperasian alutsista udara Eropa Timur. Mi-4 adalah heli angkut buatan Rusia yang jadi pesaing heli sejenis kepunyaan Amerika Serikat (AS), Sikorsky H-19 Chickasaw.
Baca juga: Capung Besi Rusia
Mi-4 diperkenalkan pabrikan ML Milya Moskva mulai 1953. Heli angkut/intai yang diberi kode “Hound” oleh Barat itu mulai jadi alutsita angkatan udara Indonesia sejak Juni 1960. Diawaki 2-4 kru, Mi-4 bisa mengangkut 16 pasukan atau kargo berbobot maksimal 1.600 kilogram. Heli berdimensi panjang-tinggi 16,8 meter x 4,4 meter itu bisa ditambahi persenjataan senapan mesin kaliber 12,7 mm.
“Ya kadang (krunya) berempat kalau dia (pilot) selalu dengan kopilot di bagian (kokpit) atas, lalu engineer (teknisi) yang posisinya di belakang saya. Kalau gunner duduknya di bawah dengan senjata 12,7 (mm),” terang Aziz.
Untuk menggerakkan dua baling-balingnya, Mi-4 ditenagai mesin tunggal 14 silinder Shvetsov Ash-82V berpendingin air. Ia punya kecepatan terbang maksimal 100 knot (185 km/jam) dan mengudara dengan ketinggian maksimal 18 ribu kaki (5.500 meter).
“Untuk jenis dia, sudah cukup bagus. Di zaman kita enggak punya heli besar lain selain Mi-6 yang lebih besar. Jadi walau saya terbang di atas laut, saya enggak mikir akan engine failure. Mesinnya saya akui memang bandel sehingga saya merasa, Alhamdulillah, sejak saya bawa enggak pernah ada macam-macam. Mesinnya oke,” tutur Azis.
Aziz sudah menyandang pangkat kapten ketika turut dalam rombongan bantuan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI, kini TNI AU) dari satuan Skadron Udara 6, Wing Operasi 004 yang berbasis di Pangkalan Udara (Lanud) Semplak, Bogor (kini Lanud Atang Sendjaja). Dalam operasi memburu Kahar Muzakkar hingga ke Lasolo, Sulawesi Tenggara, Aziz bertugas mengantar-jemput pasukan Batalyon 330/Kujang Kodam Siliwangi pimpinan Kolonel GP Solihin ke beberapa pos militer, mulai dari Makassar hingga Lasolo.
Pada hari raya Idul Fitri, 3 Februari 1965, Aziz menerima panggilan tepat saat Peleton I Komp D Yon 330/Kujang I pimpinan Peltu Umar Sumarsana menyerbu persembunyian Kahar Muzakkar hingga menewaskannya dalam sebuah pertempuran. Menurut buku Siliwangi dari Masa ke Masa, nyawa Kahar melayang setelah tertembus peluru dari tembakan Kopral Dua Ili Sadeli. Azis bersama tiga krunya (kopilot, teknisi, gunner/penembak) di heli Mi-4 lalu menjemput jenazah Kahar dekat Sungai Lasolo.
“Saya ngambil (jenazah Kahar) di Lasolo, bawa pulang ke Pakue dulu. Dari Pakue baru ke Makassar. Jadi tugas saya cuma sampai di situ, sudah. Setelah di Makassar, saya enggak tahu dikemanakan (jenazah) Kahar Muzakkar,” lanjut Aziz yang kini menyibukkan diri sebagai sekretaris Dewan Pertimbangan Pusat Legiun Veteran Republik Indonesia (Wantimpus LVRI).
Baca juga: Beberapa Kesaksian Tentang Kahar Muzakkar
Menurut Atmadji Sumarkidjo dalam Jenderal M. Jusuf: Panglima Para Prajurit, Pangdam Hasanuddin Brigjen M. Jusuf mempersilakan masyarakat menyaksikan jenazah Kahar Muzakkar sekaligus untuk memastikan itu adalah benar Kahar. Namun, beberapa pihak tetap menganggap Kahar belumlah tewas. Anggapan itu bertahan hingga 1980-an seiring ditangkapnya pengikut terakhir kelompok Kahar, Sanusi Daris, di pedalaman Enrekang. Namun pada medio 2000, seorang bernama Syamsuri muncul mengaku sebagai Kahar Muzakkar tapi dibantah keluarganya.
“Ternyata orang-orang Makassar (dan masyarakat Sulawesi, red.) mengatakan dia masih hidup. Saya bisa bilang, bahwa saya saksinya. Saya lihat jenazahnya di dalam pesawat (heli Mi-4, red) karena kan saya yang bawa ke Makassar,” tambah Aziz.
Bukan tanpa alasan rumor itu beredar. Pasalnya setelah Aziz membawanya ke Makassar pada awal Februari 1965, cerita tentang jenazah Kahar begitu misterius karena makamnya dirahasiakan.
“Begitu selesai Kahar Muzakkar, yang disebut Dwikora sudah menunggu. Saya akhirnya bawa pesawat (heli) lagi dari Semplak ke Tarakan. Kita melayani pasukan-pasukan yang ada di perbatasan (Kalimantan),” kenang Aziz.
Baca juga: Dari Pemberontakan ke Pemberontakan (Bagian I)
Kisah dari Tapal Batas
Peta seukuran bentangan tangan Aziz yang tadinya terlipat ia buka kembali. Ia mendekatkan pandangannya ke pulau Kalimantan. Untuk sesaat ia melirik ke sisi bawah peta sebelum kembali mengalihkan mata ke perbatasan utara Kalimantan.
“Ke Kalimantan beberapa kali transit dulu. Dari Semplak menuju ke Surabaya (bawa pasukan), menuju ke (kepulauan) Masalembo, isi bahan bakar. Pasukan didrop lagi ketika saya menuju Banjarmasin untuk isi bensin (lagi). Di Balikpapan juga isi bensin lagi, baru menuju Tarakan melayani pasukan-pasukan yang ada di perbatasan,” terang Aziz sembari merunutkan titik-titik di peta tadi dengan penanya.
Aziz turut serta dalam kampanye Dwikora yang dilancarkan Presiden Sukarno demi menentang pembentukan Malaysia (1963-1966). Operasionalnya dipimpin Komando Mandala Siaga (Koga) pimpinan Menteri/Panglima Angkatan Udara (Menpangau) Laksamana Madya Omar Dhani pada 1964 dan mulai Februari 1965 direorganisasi menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga).
Buku Tandjungpura Berdjuang: Sedjarah Kodam XII/Tandjungpura, Kalimantan Barat menerangkan, Kolaga menyebar kekuatan tiga matranya: Darat di daerah-daerah Kodam I-IV serta daerah-daerah Kodam IX-XII, Laut di daerah-daerah Komando Daerah Maritim I dan II di Sumatera dan Kalimantan, dan Udara di daerah Komando Regional Udara (Korud) I (Sumatera) dan II (Kalimantan).
Baca juga: Petaka Menimpa Marinir di Perairan Nongsa
Dari sejumlah operasi di Korud II, menurut buku Sejarah TNI Angkatan Udara: 1960-1969, setidaknya tiga heli Mi-4 turut dalam Operasi Antasari IV (April 1964) dengan menerjunkan perbekalan, logistik, hingga pasukan tambahan di Kalimantan Utara. Selain Mi-4, beberapa kali heli angkut raksasa nan legendaris, Mi-6, juga diterjunkan.
“Tapi dia (Mi-6) tidak banyak beropeasi. Seingat saya pernah sekali-dua kali di daerah Balikpapan karena dia dengan (dimensi) pesawat yang besar tidak bisa mendarat di mana-mana. Hutan-hutan harus dibabat karena besar sekali. Lalu tiba-tiba terjadi G30S (Peristiwa 30 September 1965), mereka tidak bisa terbang lagi,” kenang Aziz.
Seingatnya, dalam beberapa bulan bertugas mengantar-jemput pasukan dan logistik di Kalimantan Utara, Azis sudah 5-6 kali menjalani misi terbang di tapal batas sekitar Tarakan, Malinau, Long Bawang, hingga Lumbis. Setiap sebulan di Kalimantan, berikutnya ia mendapat cuti dua minggu lalu kembali ke Lanud Semplak untuk dirotasi dengan kru lain.
“Saya biasa mengantar pasukan dari Tarakan ke Long Bawang. Setelah itu saya ke Malinau untuk transit karena pasukan di Malinau sudah mulai bergerak. Jadi sekitar Parage di perbatasan, kita terbang masuk ke (garis perbatasan) sini karena sering ditembaki pihak Malaysia. Dan saya selalu ingat, kalau terbang di atas (menuju) pegunungan, saya harus terbang di atas sungai. Biar kalau ada apa-apa, bisa dicari. Kalau saya (terbang) ke hutan, dicarinya nanti susah. Syukur-syukur kalau ada lapangan di pinggir sungai. Kalau weather berkabut, saya harus ambil decision walau pasukan (darat) kelaparan, saya balik. Ini yang membuat saya sering selamat, sebab ada kawan-kawan yang tidak (selamat) karena mencoba,” Azis menjelaskan.
Seingat Aziz, pernah juga ada insiden pesawat angkut Hercules C-130 yang jatuh di Long Bawang pada 16 September 1965. Setidaknya saat itu salah satu rekannya sesama pilot, Kapten Erwin Santoso, masih bisa selamat.
“Di masa (Dwikora) itu ada satu Hercules kita ditembak di sini,” kata Aziz sambil menunjuk titik di peta tempat Long Bawang berada. “Friendly fire (ditembak pasukan sendiri). Karena setiap hari ada pesawat yang lewat ternyata pesawat kita. Pasukannya untung dilempar keluar cepat-cepat. (Hercules) hancur terbakar tapi pilotnya, Pak Erwin, selamat.”
Heli yang dipiloti Kapten Aziz juga pernah ditembaki. Namun kapan tepatnya kejadian itu, Azis sudah tak dapat mengingatnya.
“Jadi di sini ada namanya daerah Lumbis,” ujar Aziz sambil menunjuk titik di peta. “Karena saya pulang dari antar pasukan (menuju Tarakan) minggir ke perbatasan terus, saya dari (Lumbis) sini melalui sungai ke Malinau. Di situlah saya ditembak (pasukan) Gurkha-nya daripada Malaysia,” Aziz bercerita.
Baca juga: Ngeri-Ngeri Sedap di Long Bawang
Azis awalnya tak menyadari helinya ditembaki. Begitu menyadarinya, keadaan menjadi dramatis.
“Awalnya saya tidak merasa tapi (saat terbang), tahu-tahu lihat dari jauh seperti ada nyala (tembakan) peluru. Saya langsung menukik ke sungai. Saya merasa pesawat (heli) saya baik. Tapi begitu mendarat di Malinau, ketika dilihat pantatnya heli belakang ini ternyata kena tembak. Ada dua peluru. Kalau (pelurunya) ke atas sedikit, propeller saya yang ada di (belakang) sini kena dan putus, mungkin saya hancur karena propeller ini yang mengontrol arah,” terang Azis.
Selepas Dwikora, Aziz meneruskan pengabdian di Skadron 6 lalu kembali ke “bangku sekolah” dengan masuk Sekolah Staf dan Komando Angkatan Udara (Seskoau) Lembang pada 1973. Namun pendidikannya harus tertunda karena Operasi Seroja (1975-1976) memanggilnya. Aziz tak lagi memiloti Mi-4 karena seluruh alutsita Eropa Timur berangsur-angsur disingkirkan sejak permulaan Orde Baru.
“Saya ganti heli karena juga harus pakai pakaian sipil, (sebagai) sukarelawan. Mi-4 sudah enggak terbang lagi. Saya (memiloti) heli kecil, Bell Ranger (Bell 206 JetRanger) yang bisa memuat lima orang. Jadi saya harus pakai pakaian sipil dan pesawatnya pun tidak boleh dicat militer supaya dianggap sukarelawan zaman itu,” aku Aziz.
Baca juga: Naik Heli Cukup Bayar Pakai Kambing
Aziz memilih tak membongkar semua pengalamannya tentang Operasi Seroja itu. Ia hanya mau menguraikan bahwa pasca-Timor Timur ia melanjutkan pendidikannya di Seskoau dan sesudah lulus dipindah tugas ke Lanud Polonia (kini Lanud Soewondo) di Medan.
“Karier saya lalu bolak-balik saja. Balik lagi ke Jakarta sebagai staf bagian operasi (Mabes TNI AU), kemudian ditunjuk sebagai perwira penuntun di Seskoau, kemudian dikirim ke Surabaya di komando pendidikan (Pusat Pendidikan Pertahanan Udara Nasional/Pusdik Hanudnas) sebagai salah satu direktur pendidikan,” ujar Azis sembari merebahkan punggung ke kursinya lagi.
“Saya sempat balik lagi ke Jakarta (mabes) pada 1994 tapi di situlah cukup di tentara (TNI AU). Saya sudah cukup berjuang. Apalagi yang saya tunggu? Untuk memperoleh posisi bintang saat itu masih sedikit tempat. Ya sudah selesai sampai di sini saja. Tidak menunggu masa habis pensiun, saya pensiun duluan tahun 1994 itu,” tandasnya.
Baca juga: Purnatugas Heli Puma